ANBK juga menekankan numerasi kemampuan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, banyak siswa SD Negeri 1 Sidomulyo justru kesulitan memahami soal cerita yang memadukan bahasa dan angka.
"Kalau ditanya langsung 25 + 37, mereka bisa. Tapi kalau pakai cerita, misalnya Ani membeli 25 apel lalu ditambah 37 apel, mereka bingung," jelas guru matematika di sekolah itu.
Menurut laporan Balitbang Kemendikbud (2021), hampir 47 persen siswa SD di Indonesia belum mampu menyelesaikan soal numerasi berbasis konteks. Hal ini menegaskan bahwa kelemahan siswa bukan pada berhitung, melainkan pada menghubungkan teks dengan perhitungan matematis.
Gagap Teknologi di Tengah Digitalisasi
Selain literasi dan numerasi, ada tantangan tambahan: teknologi. Karena ANBK berbasis komputer, siswa harus terbiasa dengan perangkat digital. Namun, di sekolah pinggiran seperti SD Negeri 1 Sidomulyo, keterbatasan perangkat dan pengalaman membuat anak-anak kewalahan.
Sebagian besar siswa baru pertama kali menggunakan komputer saat simulasi ANBK. Mereka masih harus belajar dasar-dasar sederhana: menggerakkan mouse, menggulir layar, hingga mengetik jawaban. Waktu pengerjaan banyak habis hanya untuk teknis, bukan memahami soal.
Data Kemendikbudristek (2021) menunjukkan sekitar 40 persen siswa di sekolah pinggiran masih minim pengalaman dengan komputer. Guru proktor di SD Negeri 1 Sidomulyo membenarkan, "Banyak anak bukan tidak bisa menjawab, tapi waktunya habis karena mencari tombol."
Kota vs Desa: Jurang Kesenjangan Hasil ANBK
Jika di Sidomulyo menghadapi kesulitan berlapis, sekolah-sekolah di perkotaan memperlihatkan situasi berbeda. Di SD unggulan Kota Bandar Lampung misalnya, laboratorium komputer lengkap, akses internet lancar, dan siswa sudah terbiasa membaca teks digital.
Menurut Kemendikbudristek (2022), rata-rata hasil ANBK sekolah perkotaan lebih tinggi sekitar 15-20 poin dibanding sekolah pedesaan, terutama dalam literasi dan numerasi. Penyebabnya beragam: fasilitas lebih baik, budaya baca lebih terbangun, dukungan orang tua lebih kuat, dan anak-anak kota sejak dini terbiasa dengan gawai.
Sebaliknya, di desa keterbatasan sarana membuat ANBK terasa berat. "Kalau di kota anak-anak bisa belajar lewat aplikasi interaktif, di sini anak baru pegang mouse saat ANBK. Jelas berbeda," keluh seorang guru di SD Negeri 1 Sidomulyo.