Mohon tunggu...
Rika Nurmalasari
Rika Nurmalasari Mohon Tunggu... Jurnalis - @rikanrmlsr30

Salurkan imajinasimu dengan tulisan yang bermakna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hiporia

5 Maret 2020   23:32 Diperbarui: 6 Maret 2020   00:20 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
soundonsoundfest.com


Secercah cahaya mulai menembus jendela kayu kamar gadis itu. Mentari mulai terbit menghangatkan bumi, bersiap untuk menemani paginya. Gadis itu masih tertidur pulas diranjang usangnya, berselimut dengan kain tipis.

Suara dari arah pintu semakin mendekat, kemudian usapan lembut mengenai pucuk kepala gadis itu.

"Sandraaa bangun, Nak"

Gadis itu tidak menyahut, masih saja pulas tertidur. Beberapa kali ia dibangunkan namun hanya menggeliat saja. Sampai akhirnya wanita itu berjalan menjauhi ranjang, menuju pintu. Namun sambil terus memanggil nama gadis itu dan memintanya untuk segera bangun.

"Bangun, Nak. Katanyaa pengen berangkat pagi nihh di awal kamu sekolah", ucap wanita itu dengan sengaja agak keras.

Seketika suara itu mengejutkan Sandra dan ia segera terduduk.

"Hahh ? Sekolah ? Aku kesiangan ? Ya ampunnnn buuu kenapa ibu ga bangunin akuu, ini kan hari yang aku tunggu-tunggu"

"Yehhh kamu kemana aja, daritadi udah dibangunin juga. Engga telat kok, masih ada waktu buat siap-siap"

Sandra setengah berlari menuju kamar mandi, melewati ibunya yang berada di pintu.

"Heyy heyy jangan lupa bawa handuk, Nak!"
"Ehh iya", ucap Sandra kembali berbalik untuk mengambilnya.

Sekitar sepuluh menit berlalu, Sandra sudah siap, baju putih abunya yang baru, sepatunya, tasnya, dan alat-alat tulisnya yang baru menambah semangat pagi hari ini. Sekian lama ia menabung untuk membantu orang tuanya memenuhi keperluan sekolahnya. Hingga hari ini, ia sangat senang bisa menuju ke sekolah favorit impiannya.

Sandra siap untuk pergi ke sekolah. Ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu sekian lama. Sejak lama Sandra memimpikan untuk bisa bersekolah di SMA Damba Nusa, salah satu sekolah terfavorit di daerahnya. Sekolah itu memang terkesan elit, banyak orang bilang kalau yang bersekolah disana hanya anak-anak kalangan menengah ke atas saja, tidak seperti Sandra yang dari keluarga serba pas-pasan. Tapi bukan sosok Sandra namanya kalau mudah menyerah dan putus asa, Sandra yakin akan mematahkan pandangan orang-orang itu dan sekarang waktunya.

"Lohh Bu, dagangan buat dibawa Sandra mana ? Yang ini ?" Sandra memegang benda itu sembari memperlihatkannya pada ibunya. Bu Rumi, ibu Sandra yang tengah berada di dapur menyahut dengan segera.

"Bukan, San. Itu dagangan buat ibu titip di warung. Hari ini ibu ga bikin gorengan banyak, ini kan hari pertama kamu sekolah jadi ibu pikir kamu ga usah dagang dulu"

"Yahh ibuu.. justru itu aku mau nyoba tawarin ke orang-orang di sekolah Bu. Nah, kalau aku libur baru dehhh aku jualannya di lampu merah lagi sambil nemenin bapak" ucap Sandra bersemangat.

Bu Rumi dan Pak Yono memang memiliki penghasilan yang pas-pasan. Keduanya bekerja keras demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Bu Rumi seorang asisten rumah tangga, ia juga berjualan gorengan sebagai penghasilan tambahan. Gorengan yang dibuatnya sendiri akan ia titipkan ke warung tetangga, sebagian lagi ia jajakan dengan berkeliling sambil menuju tempat kerjanya. Namun, di hari libur biasanya Sandra yang bertugas menjualnya di persimpangan jalan raya.

Lain halnya dengan Pak Yono. Ia seorang pengamen jalanan, bernyanyi dengan menggunakan kostum badut di persimpangan jalan. Mengais rezeki dari pagi hingga petang. Di tempat ini juga biasanya Sandra menjual gorengannya. Menawarkan kepada pengendara yang sedang berhenti di lampu merah.
Sandra Maharani, ia tak pernah merasa malu dengan itu semua. Ia rasa sudah sepatutnya ia membantu ayah ibunya mencari rezeki, terutama untuk biaya sekolahnya.

"Ya udah Bu, gimana kalau ini aku jual di sekolah aja ya.." Bu Rumi tersenyum, merasa bangga dengan puterinya.

"Ya sudah, sana berangkat nanti telat!"

Sandra mencium punggung tangan ibunya sembari tersenyum manis.

"Okee dehh aku berangkat yaa Bu. Do'ain semoga aku lancar belajarnya terus gorengannya juga laris"

"Iyaa sayang"

***

Sandra mulai pegal menunggu angkutan umum yang datang. Ia makin was was takut datang terlambat. Angkutan umum itu belum saja lewat sejak tadi. Hari Senin memang padat kendaraan, jalanan juga macet, ini adalah hari dimana orang-orang memulai aktivitasnya. Sandra terpaksa jalan kaki terlebih dahulu.

"Gapapa deh capek dikit daripada diem terus nanti kesiangan", pikirnya.

Sekitar sepuluh menit Sandra berjalan. Ia sesekali melirik ke belakang mencari angkutan umum itu. Sandra berhenti, lalu melambaikan tangannya. Dari kejauhan angkutan umum itu hendak menepi. Sandra sedikit lega karena akhirnya angkutan umum itu datang juga.

Mata Sandra menyipit. Ia melihat pengendara motor yang menyalip ke sebelah kiri angkot itu

Tiiiiiiiiiiiidddddddddd......  Sontak sopir angkot membunyikan klakson.

"WOIIII bocahhh bawa motor yang bener dong!!" ucap sopir angkot kesal.

Motor itu tetap melaju dengan cepat dan tidak menghiraukan kekesalan si sopir angkot. Sandra yang bengong seketika lalu tersadarkan dan buru-buru naik, mengingat hari sudah semakin siang. Sepanjang perjalanan Sandra terus memikirkan kejadian tadi, terlintas jelas apa yang ia lihat, pengendara motor itu berseragam sama dengannya.

***

06.45

Sandra berlari-lari menuju ke arah gerbang sekolah yang hendak ditutup. Beruntung ia masih sempat masuk, kalau tidak bisa-bisa ia kena masalah di hari pertamanya sekolah. Dengan nafas terengah-engah Sandra masuk ke ruang kelasnya dan bersegera pergi ke lapangan untuk berbaris.

Koridor sekolah lengang. Hampir semua siswa SMA Damba Nusa sudah berada di lapangan. Sandra berjalan tergesa-gesa. Ia melewati koridor ruangan kelas XII yang letaknya menuju arah lapangan.

Sandra terkejut, ada seseorang yang menarik lengannya dan membawanya menuju ujung koridor.

"Heyy apa apaan ini? Lepasin! Kenapa kakak bawa aku kesini" tanya Sandra pada cowok itu.

Sandra mulai merasa takut, namun ia tahu kalau yang dihadapannya ini pernah ia lihat sebelumnya.

"Kamu cewek yang tadi di jalan kan, yang bikin motorku hampir keserempet sama angkot!"  ucap cowok itu dengan suara lantang. Seisi koridor yang lengang dibuat menggema oleh suara cowok itu.

Sandra berpikir dengan cepat, segera tahu apa yang dimaksud cowok dihadapannya itu. Tentu saja ia cowok yang tadi kebut-kebutan di jalan dan diomeli sopir angkot.

"Ohhh jadi kamu orang yang tadi kebut-kebutan! Siapa suruh ngebut terus nyalip lewat kiri, ya iyalah sopir angkotnya jadi kesel" cerocos Sandra pada cowok itu.

Cowok itu diam, menatap dengan tajam. Seolah tak terima dengan omelan cewek dihadapannya. Ia tahu kalau orang ini orang baru di lingkungan sekolahnya, hanya sekedar adik kelasnya.

Tangan cowok itu mengepal, kakinya melangkah perlahan, membuat Sandra mundur sampai membentur dinding. Sandra memejamkan mata, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sandra merasa cowok ini tidak menyukainya dan akan segera mendaratkan pukulan padanya. Namun, beberapa saat kemudian kepalan tangan itu mendarat di dinding dan tidak mengenai Sandra.

Cowok itu mundur, mengatur deru nafasnya yang tak beraturan. Sandra merasa lega.

"Urusan kita belum selesai!! Kamu masih anak baru disini, jangan seenaknya sama kakak kelas! Ini masih tahun pertama kamu, jangan bikin masalah!!" ucap cowok itu dengan tegas.
Cowok itu pergi meninggalkan Sandra. Sandra yang sudah bisa mengontrol dirinya pun segera bergegas menuju lapangan.

***

Sandra melewati hari-harinya dengan bersemangat. Waktu begitu tak terasa lamanya, hampir tengah semester Sandra bersekolah. Teman-temannya sangat menyenangkan, mereka memang dari berbagai kalangan, jadi wajar saja kalau ada perbedaan sikap diantara mereka. Sandra mempunyai sahabat baru, Jihan dan Lia namanya. Keduanya berasal dari keluarga berada tapi tidak pernah merendahkan Sandra, bahkan Jihan dan Lia  suka membantu Sandra menawarkan gorengan dagangannya.

Ketiganya berkeliling sekolah untuk menjajakan dagangan Sandra. Banyak siswa-siswi yang membeli. Katanya sih gorengan buatan ibu Sandra beda rasanya dengan yang di kantin, lebih enak.

"De, aku beli gorengannya ya tiga ribu" pinta seorang kakak kelas cowok pada Sandra.

"Ohh iya kak"

Saat itu ada seseorang yang mendekat. Orang itu dengan tanpa bersalah langsung mengambil gorengan dan memakannya lalu pergi begitu saja.

"Ehh eh kak, kok ga bayar sih!"

Semua pandangan tertuju pada orang itu. Seseorang itu berbalik badan. Tampilannya berantakan layaknya anak yang nakal. Dia orang yang tak asing untuk Sandra. Dia Ardan. Ardani Mahendra, kakak kelas cowok yang menjadi persoalan di awal Sandra sekolah.

"Terserah aku lah. Ini tuh gak seberapa dengan ocehan kamu di hari itu!. Ngomong-ngomong gorengannya enak juga, thanks ya" ucap cowok itu dengan santainya lalu kembali berjalan.

Sandra hanya bisa menghela nafas. Sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu lagi dengan cowok itu. Ia pikir masalahnya akan selesai setelah kejadian di koridor itu. Nyatanya cowok itu datang kembali dengan tiba-tiba, mengganggu kehidupan Sandra. Memang belum berakhir, dan mungkin ini baru dimulai.

"San, itu siapa sih? Kok iseng banget kayak gitu" ucap Jihan.

"Iya nih, dasar aneh. Kamu kenal San ? Kok bisa sih kayaknya dia kelas XII deh bukan seangkatan kita" lanjut Lia.

"Ga penting, udah biarin aja" jawab Sandra dengan singkat.

"Maaf ya de, itu temen sekelas kakak. Dia emang kayak gitu, iseng orangnya, agak nakal juga, tapi aslinya baik kok, terus lumayan lah otaknya encer hehe" Kakak kelas yang menjadi pelanggan Sandra berkata begitu, ternyata dia kenal dengan cowok tadi.

"Eh iya gapapa kak"

"Ohh iya de kenalin nama kakak Panji, tapi lebih akrab disapa Aji" ucap kakak kelas itu sambil menatap ke arah mereka bertiga.

"Salam kenal kak, namaku Sandra, ini kedua temenku, Jihan dan Lia"

"Oke, seneng kenal kalian. Sampai nanti ya, kakak ke kelas dulu"

***

Sandra bersekolah selalu dengan semangat, nilai-nilainya juga begitu baik.  Ia tahu bahwa ia harus menjadi kebanggaan orang tuanya. Di sisi lain ia juga tidak boleh mengecewakan majikan ibunya, karena ia bersekolah disini tidaklah gratis, toh ini kan SMA favorit yang terbilang elit.
Siswa-siswi di sekolahnya memang didominasi oleh anak orang-orang kaya. Dan bisa dibilang tidak semua bersikap ramah terhadap orang-orang yang dari keluarga sederhana seperti Sandra.

"Heh kamu!"

Sandra celingukan mencari arah suara yang tiba-tiba itu.

"Woyy tukang gorengan, sini!"
"Iyaa sini dong"
"Butuh duit ga?"

Sandra menengok ke atas, ternyata suara-suara itu berasal dari kelas atas yang merupakan bagian dari ruang kelas XII.

"Ehh iya maaf kak, aku kira yang manggil bukan dari arah atas. Kakak-kakak mau pada beli?" tanya Sandra.

Hari itu Sandra memang sendirian, tidak ditemani oleh dua orang sahabatnya karena mereka sedang di perpustakaan mengerjakan tugas yang belum usai. Setiap jam istirahat Sandra pasti berkeliling untuk berdagang, tak apalah jika ia sendirian hari itu.

"Iya makanya sini dong" ucap siswa-siswi yang memanggil Sandra tadi.

Sandra menaiki tangga menuju kelas itu, melewati banyak siswa-siswi yang berlalu lalang di waktu istirahat, dan itu merupakan tantangan baginya, menghiraukan rasa malu dari tatapan aneh kakak kelasnya.

"Silakan kak, kakak mau beli berapa?" tanya Sandra pada siswa-siswi itu.

"Kamu jangan cari perhatian deh!" ucap salah seorangnya.

"Maksudnya apa kak ? Kakak tetep mau beli gorengan aku ga?" tanya Sandra sekali lagi.

Sungguh ia tak mengerti dengan kata-kata yang tiba-tiba diucapkan orang-orang dihadapannya itu.

"Kamu tuh ya, polos banget. Iya sih kan masih anak kelas X hahahaha.." Semuanya tiba-tiba tertawa.

"Kamu tuh masih adik kelas udah cari perhatian aja. Tiap hari jualan gorengan keliling, mau cari perhatian sama orang-orang ya biar banyak yang iba sama kamu, terus kamu banyak yang kagum gitu?!"

Sandra hanya diam. Menatap tidak percaya. Jadi, hari ini ia dikerjain kakak kelasnya dengan cara begini. Sandra menahan emosi, ia tahu mana mungkin ia melawan, toh ia sendiri, sedangkan yang mencaci maki lebih dari satu.

"Jadi kalian semua manggil aku kesini buat ngomong itu doang? Buat ejek aku? Kalian jebak aku supaya aku disini dan kalian permalukan di depan banyak orang, keterlaluan kalian!" ucap Sandra kecewa.

"Lagian sih ngapain orang miskin sekolah disini, udah tahu biaya sekolahnya mahal. Bener ga temen-temen ?" ucap salah seorang lagi.

Semuanya menjadi ricuh mengolok-olok Sandra.
Sandra malu. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia tak tahan dipertontonkan seperti ini.

"Aku tahu kalian semua anak-anak orang kaya. Tapi aku gak kayak kalian yang bisanya cuman nyusahin orang tua!" ucap Sandra sambil menerobos dan hendak kembali ke kelasnya.

"Ehh mau kemana kamu ? Berani juga ngelawan kita" ucap salah seorangnya lagi.

"Maaf, aku harus ke kelas. Hampir bel masuk" lanjut Sandra.

Siswa-siswi itu menahan Sandra pergi. Mereka tetap saja mengolok-olok Sandra sebagai tukang gorengan dan mengejeknya orang miskin. Mereka bilang hanya anak-anak orang kaya saja yang berhak sekolah disana.

Sandra tak bisa apa-apa. Ia bingung harus bagaimana. Ia tak bisa keluar dari koridor kelas XII atas itu.

"Apa apaan ini ?"

Dua orang cowok tiba-tiba datang menghampiri. Siswa-siswi itu langsung terdiam, seperti segan dan ketakutan.

"Gila kalian semua!!"

Semuanya diam tak ada yang melawan saat salah satu cowok itu berbicara. Cowok itu menarik lengan Sandra dan membawanya keluar dari kerumunan siswa-siswi itu, diikuti oleh teman si cowok yang tadi datang bersamanya.

Ardan dan Aji yang tidak sengaja sedang berada di kelas atas melihat kejadian tadi segera menghampiri dan menyelamatkan Sandra. Beruntung ada mereka, jika tidak, entah seperti apa lagi harga diri Sandra diinjak-injak.

"Kamu gapapa de?" tanya Aji memulai pembicaraan.

"Gapapa kak" jawab Sandra dengan lemas. Sandra tak habis pikir dengan kelakuan kakak-kakak kelasnya tadi, mereka jahat sekali.

"Jangan pernah deket-deket mereka lagi" ucap Ardan tiba-tiba.
"Pulang sekolah ditunggu di parkiran motor" lanjutnya.

Sandra merasa keheranan, namun tak menghiraukan Ardan dan tetap menatap kosong masih shock dengan kejadian tadi.

Sandra diantar sampai kelas, ia mengucapkan terimakasih lalu masuk tanpa basa-basi lagi. Kedua sahabatnya sempat bertanya-tanya tapi Sandra tak ingin dulu bercerita.

Bel pulang pun berbunyi. Sandra berjalan gontai menuju gerbang, tetap melamun dan memikirkan caci maki itu. Sakit sekali rasanya.
Suara motor mendekat, memecah lamunan Sandra.

"Kenapa ga nunggu di parkiran?" ucap cowok itu.
"Lupa kak" jawab Sandra dengan dingin.
"Cepet naik!"
"Hah ?"
"Naik buruan. Aku anter pulang"

Sandra awalnya menolak, tapi akhirnya ia pun diantar pulang oleh Ardan.

***

Waktu terus berlalu, gosip-gosip mengenai Sandra dan Ardan mulai terdengar. Banyak yang iri kepada Sandra karena ia bisa dekat dengan Ardan. Tak jarang teman-teman Sandra banyak yang menanyakan perihal hubungan mereka berdua tapi Sandra menganggap itu tak penting. Kehidupan dirinya dan keluarganya lebih penting dari itu.

"San, kamu pacar Kak Ardan ?" tanya Lia tiba-tiba saat mereka bertiga duduk di kursi depan kelas di jam istirahat.

"Apa sih ah bikin pusing aja!" jawab Sandra.

"Ihh kan kepo pengen tahu aja, lagian banyak yang gosipin kalian tuh" lanjut Lia.

"Engga, itu gakan mungkin. Kak Ardan cuma bantu aja lindungin aku dari temen-temen seangkatannya yang ga punya hati itu"

"Jangan-jangan sihhh Kak Ardan suka sama kamu San.." celetuk Jihan.

"Jangan ngasal kamu!!" tukas Sandra.

Aneh memang, Ardan yang sempat bersikap seperti tak suka dengan Sandra tiba-tiba jadi rela selalu menolong Sandra. Tapi Sandra tak ambil pusing, selama orang lain baik padanya ia selalu berharap orang itu memang benar-benar tulus membantunya. Lagipula kehidupannya lebih penting sekarang. Sandra ingin ia hidup dengan kesempatan yang sama dengan anak-anak orang kaya itu, bisa menikmati kehidupan yang serba ada.

***

Sejak kejadian memalukan itu Sandra mulai berubah. Ia sering marah-marah pada orang tuanya. Ia sering meminta uang bekal lebih, meminta dibelikan benda-benda mewah, sering meminta uang untuk bermain, dan lainnya. Berminggu-minggu juga ia tidak jualan gorengan lagi sejak ia dimarahi pemilik kantin sekolah. Ia dimarahi karena banyak anak yang lebih suka gorengan Sandra daripada yang dijual di kantin.

"Pak, aku minta uang dong" pinta Sandra.

"Buat apa lagi San ? Kamu itu akhir-akhir ini sering banget minta uang, padahal ibu udah kasih uang jatah kamu kayak biasa. Ibu sampe ngutang nak sama majikan ibu, harusnya kamu bersyukur majikan ibu udah biayai kamu sekolah, tugas kamu hanya rajin belajar" Bu Rumi datang menghampiri anak dan suaminya. Ia memang merasa kalau Sandra banyak berubah.

"Ibu kok sekarang jadi banyak omelin aku sih! Lagian aku kan lagi minta uang sama bapak" jawab Sandra.

"Ga gitu nak, ibu hanya heran aja kamu minta terus uang buat apa?"

"Suka suka aku lah aku mau ngapain"

"Astaghfirullahaladzim, kok jadi ribut begini. San, bapak lagi gak punya uang, bapak ga bisa kasih kamu uang sekarang" ucap Pak Yono.

"Emang bener ya apa kata orang-orang di sekolah kalo Sandra tuh emang susah, gak punya apa-apa, gak dimanjain kayak mereka!"

"Maksud kamu apa, Nak?

"Iya aku pengen juga Pak, Bu, kayak mereka. Handphone-nya bagus, uang jajannya lebih, pulang sekolah tuh bisa main dulu ke mall, belanja lah, beli ini, beli itu. Sandra tuh pengen. Sekarang mana, Sandra minta uang!"

"Gak ada San"

"Ihh mana Pak ? Mana uang hasil bapak ngamen hari ini ? Biasanya kan kalau rame lumayan"

"Sandraaa, bapak kamu tuh baru pulang, masih capek, ini malah maksa minta-minta uang" ucap ibunya kesal.

"Oke, kalau gitu aku minta ke ibu. Mana Bu? Ibu pasti punya uang simpenan kan? Sini uangnya buat aku, kalau banyak aku pengen beli handphone baru"

"Gak ada. Uang simpenan ibu buat keperluan sehari-hari, juga buat jaga-jaga kalau kita sakit dan perlu berobat"

"Ibu sama bapak sama-sama pelit ke anaknya!" Sandra pergi meninggalkan kedua orangtuanya, ia masuk ke dalam rumah. Bu Rumi dan Pak Yono hanya bisa bersabar, mereka kecewa dengan perubahan sikap anaknya itu.

Tak lama setelah Sandra masuk ke dalam, terdengar ada sesuatu yang pecah.

"Yaa ampun Bu, itu suara apa?" ucap Pak Yono.
"Ibu juga gatau Pak"
"Ayo lebih baik kita lihat, bapak takut Sandra kenapa-kenapa"

Keduanya buru-buru menyusul masuk ke dalam rumah. Mereka khawatir takut Sandra terluka. Dan yang mereka lihat sangat mengejutkan. Ternyata yang pecah adalah celengen milik Bu Rumi yang ia simpan di meja kamarnya, ia menabung setiap hari menyisihkan hasil kerja kerasnya, dan hari itu Sandra memecahkannya dan ia ambil uang-uang itu.

"Sandraaa, apa-apaan kamu? Itu uang ibu"

"Ibu sih pelit sama aku. Sekarang aku mau pergi jalan-jalan sama temen-temen aku. Minggir!" ucap Sandra melewati kedua orangtuanya. Ia pergi begitu saja dengan membawa uang milik ibunya. Ibunya hanya bisa menangis dan bapak berusaha menenangkannya.

"Udah, Bu. Kita harus sabar. Mungkin kita sedang diuji dengan cara ini" ucap bapak.

"Dia anak gatau diri, Pak. Ibu cape tiap hari jadi beradu mulut terus. Biasanya dia anak yang penurut, ramah, sopan sama orang tua. Tapi ini balasan dia selama kita membesarkannya?" Bu Rumi tak bisa menahan air matanya, ia menangis sambil merapikan pecahan celengan itu.

***

Sandra sering melamun di kelas, ia sering dihukum karena ketahuan melamun saat jam pelajaran. Kakak kelas itu memang tidak memperlakukan Sandra seperti kejadian itu, tapi tetap saja jika berpapasan dengan mereka Sandra dikata-katai lagi. 

Apalagi setelah kejadian itu ia sering bersama dengan Ardan, cowok tampan yang pintar itu tapi terkenal nakal dan disegani. Siswa-siswi itu masih mengganggu Sandra, kecuali jika Sandra sedang bersama Ardan. Banyak yang iri dengan mereka, padahal awalnya mereka tak akur jika ketemu, tapi karena Ardan sering menolong Sandra akhirnya mereka berteman baik.

Ardan tahu semua yang terjadi, ia juga tahu apa yang menyebabkan Sandra berubah. Sandra jadi jutek, dingin, tidak seceria yang dulu. Ardan juga tahu sikap Sandra juga berubah pada orangtuanya, setiap mengantarnya pulang sekolah Ardan melihat kelakuan Sandra yang berbeda terhadap orangtuanya. Gara-gara itulah Ardan ingin Sandra kembali seperti dulu, menjadi orang yang baik. Di sisi lain Ardan juga harus segera menyelesaikan persoalannya yang berhubungan dengan Sandra.

Hari terus berlalu, Sandra masih saja belum berubah. Bahkan siang ini majikan Bu Rumi datang marah-marah ke rumah, ia bilang kalau Sandra mengambil uang miliknya sewaktu Sandra mampir ke rumah menanyakan Bu Rumi. Awalnya Bu Rumi tak percaya, terkadang Sandra memang mampir ke rumah tempat Bu Rumi bekerja tapi hanya untuk membantu ataupun meminta uang, tidak mencuri. Sandra benar-benar kelewatan kali ini.

Sepulang sekolah Sandra datang diantar Ardan lagi, orang tua Sandra juga tahu tentang Ardan karena sebelumnya Sandra pernah cerita.
Sandra langsung dimarahi orang tuanya, Bu Rumi yang sejak tadi menunggunya merasa gemas ingin menceramahi anaknya itu. Sedangkan Pak Yono yang baru pulang dari persimpangan jalan hanya bisa menyabarkan istrinya agar tidak memarahi Sandra terus.

"Keterlaluan kamu Sandra, kelewatan kamu!" ucap Bu Rumi saat Sandra baru menginjakkan kakinya di teras.

"Apa lagi sih Bu?" tanya Sandra.

"Bu, sudah Bu biarkan saja. Dia mungkin terpaksa kayak gitu karena kita ga mampu memenuhi apa yang ia mau" ucap bapaknya membela.

"Udahlah pak, bapak ga usah belain lagi anak ini. Anak ini gatau diuntung, bisanya cuma nyusahin terus bikin malu!" Bu Rumi tak bisa lagi menahan emosinya.

"Maksud ibu apa sih? Ohhhh pasti ibu sama bapak tau aku ngambil uang majikan ibu itu kan? Gimana lagi dong, aku kan terpaksa soalnya pengen beli apa yang aku mau. Waktu itu aku liat uang banyak di meja ruang tamu majikan ibu ya terus aku ambil deh"

"Cukup Sandra, kamu kelewatan! Ibu gak tahan lagi ngurus kamu, kamu gak tau balas budi. Kalau aja kamu tahu sejak dulu kamu itu bukan anak kandung kami mungkin kamu gaakan bersikap seperti ini pada kami!!" Bu Rumi mengatakan hal sesungguhnya, ia memang keceplosan, tapi gara-gara tak tahan lagi dengan ulah Sandra yang berkali-kali memusingkan kepalanya.

"Bu, kenapa ibu bilang itu?" ucap Pak Yono kepada istrinya. Ia takut kalau hal ini sampai terjadi, dan faktanya hari ini terjadi, terdengar jelas di telinga Sandra.

Bu Rumi diam, Sandra diam. Hanya bapak yang berusaha membujuk Sandra kalau itu tidak benar. Ardan yang masih berada di halaman rumah Sandra melihat semuanya, dan ia juga mendengar semuanya. Mungkin ini juga sebuah jawaban untuk Ardan.

Sandra masih diam, matanya berkaca-kaca. Apalagi Bu Rumi yang sejak tadi tak tahan menahan tangisnya pecah sudah sekarang. Sandra masuk ke dalam rumah sambil menangis. Ia datang kembali membawa wadah berisi air. Ia berlutut pada ibu dan bapaknya, menangis tersedu-sedu sambil mengucapkan beribu kata maaf.

"Aku minta maaf sama ibu, sama bapak, maafin aku, aku emang anak yang gatau diuntung. Aku gak nyangka kalau aku bukan anak kalian, aku cuma anak angkat yang gatau diri. Aku bisanya cuma nyusahin kalian. Sekarang aku sadar diri Bu, Pak, kalau kalian benar-benar berarti buat aku. Maafin aku karena aku ga bisa ngatur diri aku sendiri, aku ga bisa nahan egoku, aku jadi kasar sama kalian. Harusnya aku ga usah peduli dengan ejekan orang lain, harusnya aku bersyukur." Sandra tak henti-hentinya meminta maaf sambil menangis. Kedua orangtuanya pun menangis sambil memeluk Sandra.

"Sekarang izinkan Sandra mencuci kaki bapak dan ibu, Sandra minta maaf atas kesalahan Sandra"

"Maafin bapa sama ibu juga, Nak. Maaf kalau kamu tahu semua ini dengan cara seperti ini"

"Gapapa Pak, Bu, ini semua udah terjadi. Ini tamparan keras buat aku biar aku sadar diri. Makasih buat semua pengorbanan bapak dan ibu. Sekali lagi aku minta maaf" ucap Sandra dengan sangat menyesal.

"Kami memaafkan kamu Sandra. Kamu harus tetap disini, bagi kami kamu adalah anak kami"
Ardan yang ikut menyaksikan kejadian sejak awal entah sedari kapan perginya. Ia sudah tidak ada di halaman rumah Sandra lagi. Mungkin ia pergi ke suatu tempat, dimana ia bisa menemukan bukti agar misinya selesai.

***

Kehidupan Sandra memang berubah, tapi bukan berarti Ardan membawa pengaruh buruk padanya. Bahkan, Ardan yang selalu menyemangati Sandra dan meminta agar ia kembali ke sikapnya yang dulu. Setiap malam Ardan selalu mengajak Sandra pergi ke sebuah tempat. Dengan ini Ardan harap ia bisa menghibur Sandra. Ardan memang cuek, tak peduli dengan hal sekitarnya. Tapi ini beda, ia ingin menggali sesuatu dari Sandra, ia harus menyelesaikan misinya.

"Ngapain sih kak tiap hari kesini?" tanya Sandra. 

Sandra merasa heran karena Ardan membawanya terus ke sebuah event seni yang dikenal dengan "Hiporia Festival"

"Hiporia Festival ini event yang jarang, cuma ada setahun sekali, terus hanya berlangsung tiga bulan aja" jawab Ardan

"Ya terus apa ?"
"Gapapa, semoga aja kamu bisa terhibur disini"
"Ya udah makasih" ucap Sandra ketus.

"Aku mau kamu berubah de, jadi kamu yang dulu. Kasihan orang tua kamu, jadi sedih gara-gara sikap kamu yang kayak gitu. Aku tahu kamu berusaha untuk merubah kembali sikap kamu, aku akan selalu dukung kamu. Kamu gak perlu merubah hidup kamu menjadi serba mewah, menjadi serba trend. Itu ga perlu San, buat apa coba"

Sandra terdiam, merenungi ucapan Ardan.

"Coba deh kakak pikir, mana ada orang yang tahan tiap hari diejek orang lain, dikatain miskin, dikatain anak pembantu, dikatain anak pengamen, dikatain ga pantes ada di sekolah itu. Dan buruknya lagi aku bukan anak kandung mereka, aku gatau orang tua aku dimana. Katanya aku culun, gak pernah sekeren penampilan mereka yang serba mahal itu. Aku tuh cuma penjual gorengan, ga pantes ada di sekolah itu bareng anak-anak orang kaya"

Sandra terus berbicara, mengeluarkan isi hatinya. Ia mengatakan semua hal yang membuatnya sakit hati. Dalam hatinya ia memang merasa bersalah karena melampiaskan kekesalannya di sekolah pada kedua orang tuanya.

"Udahlah, gak penting. Lagian ngapain kakak urusin aku, kakak bukan siapa-siapa aku. Ngapain kakak juga masih mau barengan aku kalau kakak bilang sikapku berubah sekarang" lanjut Sandra.

Sekarang Ardan yang terdiam. Sambil menatap langit malam ditemani suasana konser musik di Hiporia Festival. Ia seperti memikirkan sesuatu.
Ardan mengembuskan nafas perlahan.

"Mungkin ini adalah saatnya" ucap Ardan dalam hati.

"Yakin kamu pengen tahu sekarang, San?" tanya Ardan.

"Emang sepenting apa alasan kakak sampe kakak nanya kayak gitu ke aku?"

"Ini penting, San. Ini rahasia yang mungkin udah saatnya aku ceritakan. Kamu mungkin gakan percaya, tapi semoga aja aku bisa membuktikan kebenarannya"

Suasana berubah menjadi semakin serius. Suara ramai dari konser musik terasa kosong bagi Sandra dan Ardan sekarang.

"San.." Ardan menggantungkan ucapannya. Ia kembali menghembuskan nafas perlahan, seakan membuang perlahan beban di hidupnya.

"Sebenarnya ya kamu ituuu.."

"Apa sih kak?" tanya Sandra penasaran.

"Kamu itu..."

"Iya apaa!"

"Sebenernya ya kamu itu adikku" ucap Ardan.

Sandra terdiam, seakan tak percaya dengan kata-kata Ardan. Hah? Adiknya? Mana mungkin bisa? Sandra masih terdiam, benar-benar tak percaya dengan semua itu. Keduanya terdiam, berada dalam lamunannya masing-masing.

"Jangan becanda, sumpah ini gak lucu!. Kakak boleh hibur aku, tapi gak gini caranya. Kakak itu cuma kakak kelas aku, ga mungkin kalau kita saudara. Kakak boleh nasehatin aku buat rubah sikap aku, tapi gak lewat cara ini" ucap Sandra dengan nada meninggi. Ia benar-benar kacau. Ia berdiri dari kursi, berniat meninggalkan Ardan.

"Tunggu, San. Aku serius. Kamu beneran adik aku" ucap Ardan yang menyusul berdiri, menahan Sandra agar tidak pergi.

Sandra tak tahan lagi, matanya yang mulai berkaca-kaca tak bisa terbendung lagi. Sandra menangis tersedu-sedu. Ia rasa Ardan main-main dengan ucapannya. Sandra meluapkan emosinya, memarahi Ardan dengan suara tercekat karena menangis.

"Harusnya kakak ngerti perasaan aku! Aku tahu aku bukan anak kandung orang tuaku, aku tahu aku cuma anak angkat mereka, aku juga sedang berusaha menjadi aku yang dulu, tapi bukan berarti kakak becanda bilang kalau aku adik kandung kakak"

"Aku ga becanda, San. Aku serius. Kamu beneran adik aku. Aku bisa buktiin kalau kamu mau"

"Terserah" ucap Sandra sambil pergi meninggalkan Ardan.

***

Hiporia Festival, tempat biasanya Sandra dan Ardan menikmati penghujung hari. Disana biasanya mereka menghabiskan waktu dengan menonton konser musik, drama musikal, jalan-jalan, jelajah kuliner, dan lain-lain. Di tempat ini juga tempat dimana Ardan mengatakan rahasianya pada Sandra, rahasia bahwa Sandra adalah adiknya. Namun, hingga sekarang Sandra masih belum percaya.

"San"
"Ngapain lagi sih kesini?" jawab Sandra dengan ketus.
"Beri aku kesempatan buat jelasin"

Sandra menghela nafas, seakan sudah lelah dengan semua yang terjadi. Tentang kehidupannya di sekolah, tentang ayah ibu yang ternyata bukan orang tua kandungnya, dan sekarang tentang Ardan yang mengaku kakaknya. Kali ini Ardan datang ke rumah Sandra, berusaha ingin menjelaskan semuanya.

"Ya udah, mau jelasin darimana?" ucap Sandra mengalah.

"Dengerin dulu, aku bener kakak kamu. Oke, aku emang ga pernah cerita tentang keluarga aku, tapi aku sengaja karena ga sembarang orang harus tahu. Bertahun-tahun yang lalu ayah ibuku memutuskan untuk pisah, dengan alasan karena saat itu ibu punya penyakit parah dan ngotot tidak ingin menyusahkan ayah karena perusahaan ayah bangkrut dan Ibu butuh biaya yang cukup mahal untuk berobat. Dengan terpaksa ayah melepas ibu"

"Terus?" tanya Sandra penasaran.

"Saat itu aku dan kamu masih kecil, aku bersama ayah dan kamu bersama ibu. Kita gak pernah ketemu lagi. Sampai akhirnya terdengar kabar kalau ibu meninggal, dan kamu entah berada dimana"

Ardan terus menjelaskan sampai detail.

"Masih ga percaya?" tanya Ardan.

Sandra diam dengan tatapan kosong.

"Tanda lahir warna coklat di lengan kanan kamu cukup menjadi bukti kalau kamu adikku, San. Aku awalnya tidak peduli dengan kamu, tapi kamu benar-benar mirip dengan semua hal yang ayah ceritakan tentang kamu"

"Serumit itu hidupku ya" ucap Sandra sambil tertawa hambar. Tatapannya masih lurus ke arah depan.

"Kamu pikir hidupku ga hancur ? Sejak hari-hari ibu pergi dari rumah aku tak pernah ada yang mempedulikan. Ayah terus bekerja keras karena dulu hidup kami tidak seenak sekarang. Aku melampiaskan semua kekosongan hidupku di dunia luar, makanya aku dikenal sebagai anak yang nakal, tapi yaa aku masih bisa mengendalikan diri"

"Sekarang ayah dimana?" tanya Sandra.

"Ada, di rumah, ia sudah sakit-sakitan. Ia menunggu kamu Sandra, kamu anak kandungnya. Ia ingin bertemu kamu"

Sandra terdiam, mencoba menerka semuanya.

Sekarang ia paham dengan semua ini.

"Besok kita ke Hiporia Festival lagi ya" ajak Ardan.

"Kenapa?"

"Karena kata ayah tempat itu adalah tempat kesukaan ibu. Aku sering datang kesana, dan itulah sebabnya aku sering mengajak kamu kesana juga. Tempat itu menjadi saksi bahwa kamu mendengar semua kebenaran tentang hidupmu"

"Oke, aku mau. Aku percaya, kamu kakakku. Dan ajak aku bertemu dengan ayah. Satu lagi, jangan pernah larang aku bertemu dengan orang tua angkatku karena mereka sangat berarti" Kata-kata itu akhirnya keluar dari mulut Sandra. Ardan merasa lega, semuanya sudah jelas.

Sekarang Ardan merasa lega.

Misinya selesai.

Kini ia menemukan kembali apa yang hilang.

Hiporia Festival akan selalu menjadi tempat berkesan di hidup keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun