Mohon tunggu...
Rijaalun Jamaal
Rijaalun Jamaal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Optimalisasi Liquified Natural Gas (LNG) sebagai Bahan Bakar Rendah Karbon di Era Transisi Energi

30 November 2021   10:00 Diperbarui: 10 Februari 2022   19:52 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Dalam beberapa tahun terakhir, sektor energi dunia mengalami disrupsi besar yang belum pernah terjadi sebelumnya, hal ini salah satunya disebabkan oleh naiknya permintaan energi di berbagai sektor yang sejalan dengan semakin banyaknya penggunaan sumber energi padat emisi seperti batu bara dan minyak yang perannya mulai digantikan oleh sumber energi baru terbarukan (EBT) seperti angin, air, dan panas matahari. Transisi energi yang sedang berjalan ini memang sudah direncanakan oleh PBB melalui program Sustainable Development Goals (SDGs) yang rilis pada tahun 2015 guna mewujudkan bauran energi yang bersih dan ramah lingkungan. 

Di wilayah Asia Pasifik, permintaan energi terutama listrik diperkirakan akan terus tumbuh. Hal tersebut dikarenakan masifnya pertumbuhan kegiatan industrialisasi dan urbanisasi terkhususnya di negara-negara maju dan berkembang yang padat penduduk dan didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke atas. 

Saat ini sebagian besar pembangkit listrik di kawasan Asia Pasifik masih mengandalkan batubara yang merupakan penyumbang CO2 dan emisi karbon terbesar di dunia. Lebih dari 60% dari pembangkit listrik di China berasal dari batu bara. Di Indonesia sendiri, lebih dari 50% sumber listrik dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar batu bara. Oleh karena itu dibutuhkan solusi yang tepat guna memastikan ketersediaan energi yang lebih rendah emisi di masa transisi energi seperti saat ini.

Dalam rangka menyokong pemenuhan kebutuhan energi sekaligus peningkatan bauran energi bersih dan rendah emisi di masa transisi energi seperti saat ini, gas alam memiliki peran yang sangat penting. Saat ini, gas alam merupakan bahan bakar fosil dengan pertumbuhan pasar paling cepat dan menyumbang 23% dari total permintaan energi global, gas alam juga berkontribusi pada hampir seperempat dari total pertumbuhan permintaan energi di sektor pembangkit listrik. Sementara itu, di tahun 2040, Asia Pasifik diperkirakan akan mendominasi permintaan gas dunia. Indonesia sendiri menargetkan produksi gas bumi mencapai 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030. 

Saat ini cadangan gas bumi Indonesia mencapai 62,4 triliun kaki kubik (TCF) dengan cadangan terbukti 43,6 triliun kaki kubik (TCF). Jika dibandingkan dengan batu bara dan minyak bumi, gas alam merupakan bahan bakar yang paling bersih dengan emisi gas rumah kaca yang paling rendah. 

Dalam rangka usaha dekarbonisasi, pemanfaatan gas alam harus dimaksimalkan karena gas alam sangat cocok digunakan sebagai perantara menuju pemanfaatan energi terbarukan secara menyeluruh. Dengan masalah intermitensi daya pada pembangkit listrik energi terbarukan, gas alam berperan sebagai komplemen pembangkit listrik energi terbarukan guna memenuhi base load dan kebutuhan ketika dalam kondisi beban puncak. 

Base load adalah jumlah permintaan minimum yang harus dipenuhi oleh suatu sistem tenaga listrik dalam jangka waktu tertentu. Gas alam dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). Nantinya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah lama eksis akan dikonversi menjadi PLTG dalam rangka mengurangi penggunaan batubara di sektor pembangkitan listrik sekaligus menekan tingkat emisi karbon secara signifikan.

Sebelum membahas hal ini lebih lanjut, akan dijabarkan lebih dalam definisi terkait gas alam. Gas alam merupakan campuran dari senyawa hidrokarbon sederhana yang terdiri dari metana (dengan persentase terbesar), etana, butana, propana, dan senyawa kimia lainnya. 

Gas alam terbentuk dari sisa-sisa fosil mahluk hidup yang terkubur sejak 300-400 tahun yang lalu. Gas alam diproduksi dari sumur-sumur produksi yang dibor, gas yang keluar lalu diarahkan menuju pipa yang akan membawanya menuju pusat penyimpanan dan pengolahan. 

Di pusat pengolahan, hidrokarbon akan dipisahkan, merkuri dan pengotor (impuritas) akan dihilangkan, lalu gas akan dikeringkan untuk mengurangi kadar airnya.

Gas lalu didistribusikan menggunakan jaringan pipa (pipeline) ke pusat pengolahan (refinery). Setelah tiba di pusat pengolahan, gas akan diberi bau (odor) agar lebih mudah dideteksi jika suatu ketika terjadi kebocoran. Setelah itu gas akan didistribusikan dengan moda pipa ataupun nonpipa kepada konsumen yang membutuhkan. Produk yang dapat dihasilkan dari pengolahan gas alam diantaranya yaitu liquefied petroleum gas (LPG), compressed natural gas (CNG), liquefied natural gas (LNG), dan coal bed methane (CBM). 

Selain digunakan sebagai bahan bakar, gas alam juga merupakan bahan baku yang dibutuhkan oleh berbagai sektor industri, mulai dari industri pupuk, petrokimia, manufaktur, metanol, cat, plastik, farmasi, dan industri-industri lainnya. Gas alam juga dimanfaatkan sebagai salah satu komoditas ekspor.

Dalam mendorong penggunaan gas alam di era transisi energi ini, masih ada beberapa masalah yang harus dituntaskan. Salah satu masalah dihadapi oleh negara kepulauan di Asia Pasifik semisal Indonesia adalah sulitnya pembangunan infrastruktur jaringan pipa untuk proses distribusi gas alam. 

Perlu diketahui bahwa cadangan gas bumi Indonesia paling banyak terletak di wilayah Timur sedangkan konsumen terbesarnya berada di wilayah Indonesia Barat. Jauhnya jarak antara produsen dan konsumen, kontur wilayah yang beragam serta banyaknya jumlah pulau juga akan berdampak pada semakin tingginya biaya distribusi. Maka dari itu diperlukan skema logistik yang tepat guna menyediakan gas bumi dengan moda jaringan pipa ataupun non pipa. 

Gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) merupakan solusi yang sangat tepat untuk masalah tersebut karena dalam kondisi cair, gas alam lebih mudah untuk disimpan dan didistribusikan tanpa menggunakan jaringan pipa. 

LNG dibentuk dari gas alam yang didinginkan dengan menggunakan liquefaction plant hingga suhunya mencapai -260 derajat Fahrenheit atau setara dengan -162,2 derajat Celcius. Selama proses pendinginan volume gas akan tereduksi hingga 600 kali lipat dari volume awalnya lalu gas akan berubah fasa menjadi cair. Setelah itu, LNG akan disimpan di dalam tangki penyimpanan untuk selanjutnya didistribusikan dengan menggunakan LNG carriers berupa kapal ataupun truk khusus. Setelah sampai di tujuan selanjutnya, LNG akan diubah kembali ke dalam fasa gas lewat proses regasifikasi menggunakan regasification plant. Kemudian gas akan disalurkan kepada konsumen melalui jaringan pipa.

Saat ini LNG menjadi faktor kunci bagi tumbuhnya pasar gas alam dunia, pada tahun 2019, permintaan global terhadap LNG tumbuh sebesar 12,5% menjadi 359 juta ton. Bahkan pada tahun 2040, permintaan LNG diproyeksikan akan naik dua kali lipat menjadi 700 juta ton. Untuk permintaan di wilayah Asia dan Asia Tenggara sendiri diproyeksikan tumbuh hingga 185 juta ton pada 2040. 

Hal ini diantaranya didukung oleh harga yang lebih murah dan kompetitif serta faktor meningkatnya security supply dimana kebutuhan akan energi yang mudah disimpan dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain juga semakin meningkat. Penggunaan LNG sebagai bahan bakar pembangkit listrik dapat membantu mendorong transisi penggunaan batu bara ke gas sebagai bahan bakar di sektor pembangkit listrik. Konversi PLTU batu bara ke PLTG akan membantu mengurangi emisi karbon. 

Di sektor transportasi, LNG juga dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan. Dengan harga LNG yang lebih murah dibandingkan harga solar non subsidi, maka akan berdampak pada turunnya biaya operasional kendaraan.  

Saat ini harga LNG berkisar di 6,6-7 USD/MMBTU (Million British Thermal Unit), sedangkan solar non subsidi sekitar Rp 9.000-10.000/liter atau setara dengan 18-20 USD/MMBTU. LNG sangat cocok digunakan sebagai bahan bakar kendaraan berukuran besar yang jarak operasionalnya relatif jauh seperti bus, truk, kapal, dan kereta api. Pada kendaraan tersebut nantinya akan dipasang converter kit yang mengubah mesin berbahan bakar solar menjadi mesin berbahan bakar gas.

Saat ini pasokan LNG di Indonesia dalam kondisi surplus, jumlah produksinya tak seimbang dengan penyerapannya. Untuk itu diperlukan komitmen pemerintah dalam menggunakan LNG untuk kepentingan dalam negeri. 

Pemerintah juga diharapkan dapat mendorong pemangku kebijakan terkait untuk menyusun langkah-langkah konkrit guna meningkatkan konsumsi gas alam cair dalam negeri. Diantaranya yaitu dengan menyusun kebijakan yang terintegrasi, menyusun insentif yang lebih menarik minat investor, melakukan fiksasi harga jual gas, serta mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung bagi produsen dan calon konsumen LNG berupa jaringan pipa, converter kit, regasification plant, dan terminal LNG. 

Dengan cadangan yag melimpah, harga yang murah, permintaan pasar yang tinggi, tingkat emisi yang lebih rendah dari bahan bakar fosil lainnya, serta kemudahan untuk disimpan dan didistribusikan menjadikan produk gas alam berupa LNG sebagai bahan bakar tepat guna yang harus terus didorong pemanfaatannya di era transisi menuju masa depan energi terbarukan yang lebih bersih dan rendah emisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun