Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik
Salah satu kegiatan kolaborasi dengan 2T: Thamrin Dahlan & Thamrin Sonata | Foto: Rifki Feriandi
Dalam perjalanannya, Buku Cara Narsis Bisa Nulis bisa dikatakan sebuah lompatan bagi saya. Bagaimana tidak, jika suatu saat ujug-ujug saya diajak Pak Thamrin Sonata berkunjung ke SMAN 1 Majalengka, memenuhi undangan dari Kompasianer Didik Sedyadi. Saya diminta untuk memberi inspirasi menulis di hadapan 300 anak-anak SMA. DI acara Bulan Bahasa itu, saya lalu merasakan sensasi pertama sebagai seorang guru, berdiri di depan para siswa. Dan tidak bisa dipungkiri aksi itu bukan saja menjadi sebuah kenangan. Kegiatan itu menjadi tonggak sejarah seorang RIfki Feriandi untuk lebih banyak berbagi di depan anak-anak sekolah. Kegiatan pertama di SMAN 1 Majalengka yang selalu diingat dengan kasus lucu dan mendebarkan mati listrik sebelum presentasi itu lalu merembet ke sharing session lainnya - baik bertopik kepenulisan ataupun topik profesi - di semua jenjang sekolah: Perguruan TInggi, SMA, SMP, SD bahkan anak TK.
Buku Cara Narsis Bisa Nulis ternyata membawa banyak berkah. Meski dijual secara personal lewat facebook, buku ini boleh dibilang laris - menurut penulisnya yang narsis. Dengan memakai ukuran yang dibuatnya sendiri, tiga ratus buku bisa terjual kurang dari enam bulan itu disebut laris. Namun bukan hanya datangnya materi sebagai berkah, melainkan sebuah kesempatan buku-buku itu menyebar seantero Nusantara. Dengan diniatkan sebagai hibah, buku itu Alhamdulillah mengisi berbagai perpustakaan di pelosok. Sebut saja di kota Putussibau, Muara Enim, Kepulauan Manipa, Lombok, Ambon, Makassar selain tentunya di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan kota lainnya. Umumnya, berpindahnya buku ke perpustakaan-perpustakaan atau taman-baca itu mengikuti acara sharing session yang dilakukan saya sendiri. Jadi, berbagi buku sambil bertemu. Dan itu yang menjadi berkah terbesarnya : memiliki banyak saudara baru di berbagai tempat.
Kemana-mana bawa buku Narsis. Bersama Santri Pesantren Baabussalam asuhan Kyai Muchtar Adam, ayahanda Kompasianer Bunda Intan Rosmadewi dan Fajrudin Muchtar, dan kakek Kompasianer Dzulfikar Al 'Ala dan Fawwaz Ibrahim | Foto: Rifki Feriandi
Entahlah. Berapa banyak kenangan yang saya dapat di Kompasiana. Tidaklah perlu lah dibatasi sembilan kenangan. Dan tidaklah juga perlu dibatasi dengan sembilan tahunnya Kompasiana. Tidaklah perlu dihitung, karena jika kita tulus untuk sharing, connecting beyond blogging, berkah-berkah dan kebahagiaan akan menghampiri.
it is not about tulisan. tetapi impact dari tulisan itu.
it is not about komentar, tetapi impact dari komenar itu
it is not about action, tetapi impact dari action itu