Aku sudah tidak kuasa menegakan kepalaku yang terkulai layu. Terlihat dari sudut mata, orang-orang yang duduk di sekelilingku memelototiku. Sebagian dari mereka bahkan menutup hidungnya.
Tak kuat lagi saya berdiam diri di kursi empuk ini. Kedai kopu indah ini sekarang ibarat neraka jahanam. Sorot mata semua orang seperti menelanjangiku. Mengulitiku.
Tidak kuat lagi kumenyandang malu, lalu kukeluarkan uang seharga kopi yang saya minum. Mana berani saya memanggil pelayan atau berjalan ke kasir. Uang itu beserta kelebihannya saya taruh di meja.
Dengan wajah yang tetap tertunduk, aku berdiri memburu pintu, diiringi orang-orang yang tertawa dan sebagian lagi malah meneriaki. Kepergianku pun diiringi tatap mata seorang wanita yang duduk di sudut, Neng Andri, yang sebenarnya adalah bunga desa yang sedang saya dekati.
Hari itu pupuslah sudah harapan mendekati bunga impian. Hari itu adalah hari terakhir kedatanganku ke kedai kopi itu.
Dan sejak saat itu, saya muak dengan kopi.
Cag, 24 February 2010 – diterjemahkan ke Bahasa Indonesia 29 Oktober 2012
Pembaca. Cerita di atas bolehlah dijadikan cermin. Apa-apa yang ada di dalam pikiran kita belum tentu itulah yang benar. Simfoni indah kentut dan dangdut dalam cerita di atas sebenarnya hanya ada dalam pikiran saja. Itu mungkin yang disebut persepsi. Hati-hati, kita biasanya atau mungkin akan terbiasa terlalu memperhatikan persepsi yang belum tentu benarnya, dan mengabaikan realita. Sehingga terkadang yang belum tentu benar, lalu dianggap sebuah kebenaran. Terkadang sebuah persepsi kemudian akan menjurus kepada prasangka buruk.
Persepsi mungkin bisa dianggap sebagai salah satu factor yang menutupi hati nurani, suara hati atau fitrah. Karenanya, mari sedikit demi sedikit kita meluruskan persepsi dengan berpikir yang positif. Mulailah menyingkirkan persepsi negatif itu dengan tidak berpikir cerita di atas adalah pengalaman pribadi saya. Bukan sama sekali