Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humor

Simfoni dalam Persepsi (Bukan Pengalaman Pribadi)

29 Oktober 2012   13:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:15 325 1
Seumur hidupku sebagai anak kampung, baru kali ini saya memasuki sebuah ruangan restoran yang begitu mewah. Padahal sih bukan restoran aneh-aneh, cuman sebuah kedai kopi. Tapi kok kedai ini terlihat sangat jauh bedanya dengan warung kopi Mang Uned di kampung. Lagi pula, rasa kopinya itu pun beda. Makanya bagi saya yang tidak begitu suka kopi, kopi di kedai ini cukup diterima di lidah, karena tidak terlalu terasa kopinya. Coba kita sebut satu demi satu. Ada capuccino, latte, frapucino dan cino-cino lainnya.

Sejak mengenal kedai kopi terkenal yang berjudul apa tuh, saya merasa menjadi “orang”. Gimana tidak, coba? Yang masuk ke kedai itu bukan orang-orang biasa, kan? Orang-orang biasa mah tidak bisa masuk ke kedai seperti itu, kecuali mereka-mereka yang berkantong tebal. Bayangkan, sekali minum segelas kopi saja harus mengeluarkan tiga puluh rebu perak lebih. Siapa yang kuat mengeluarkan duit segitu jika bukan mereka yang banyak uang, atau bagi mereka yang benar-benar butuh dengan gengsi. Nah, itulah yang terjadi, saat saya punya dua-duanya: kebetulan lagi banyak duit warisan dan saya butuh menjaga gengsi. Punya badan dan wajah yang minimalis seperti begini mah, gengsi bisa menjadi nilai tambah, kan?

Sudah ada tiga minggunya saya datang ke kedai kopi ini. Pegawainya bahkan sudah cukup hapal dengan kebiasaan saya, soalnya sebelum saya sempet ngomong, dia langsung bertanya: “'Capucino Pak?'. Deuh, sampai hapal menu kesukaan. Tambah geer nih, saya begitu dilayani. Bahkan pintu saja dibukain (ups, itu mah bukan dibukain, pintu otomatis katrok ….).

Lalu saya duduk di kursi biasa, di tengah ruangan. Kursinya dimundurin loh sebelum saya duduk. Lalu pelayan muda datang membawa kopi Capucino pesanan, ditambah satu dua kue. 'Selamat menikmati Pak' katanya. Saya yang sedang di awang-awang karena dilayani, mendengar kalimat itu sebagai: “Silakan Bos, diminum”. Ah, ternyata saya ngalamin juga jadi Bos.

Saat itu terdengar musik khas anak muda, R&B, disuarakan oleh wanita dengan suara yang indah.

Sruut, saya seruput kopi itu seteguk. Nikmat sekali. Saya lalu keluarkan laptop (begini-begini juga, saya tidak gaptek sodara). Saya manfaatkan Wifi gratis, hingga asyik berkeliaran di dunia maya. Saya itu perasaan saya begitu Bangga menggelora. Meski wajah kayak wayang berwajah merah – Cepot, tapi dengan minum kopi dan ngenet di kedai kopi ini, saya kok merasa jadi seperti Elo (itu loh, Elo penyanyi. Awas, depannya jangan ditambahin huruf “g” – Gelo = Gila)

Saking asyiknya berkelana di alam ghaib ('dunia maya' maksudnyah), saya sudah tidak bisa menghitung lagi gelas kopi ke berapa yang datang itu. Sekarang mah jenis kopi latte yang disajikan.

Musik di ruangan lalu berganti menjadi irama Melayu. Rasanya saya senang sekali dengan warung ini (ups salah, restoran atau kedai atau kafe maksudnya), ternyata masih memiliki idealisme tinggi dan mempunyai rasa bangga atas musik negeri sendiri. Dengan diantar indahnya musik negeri sendiri, rasanya saya lebih menikmati berkeliaran di internet.

Menginjak lagu selanjutnya, perutku terasa penuh. Entahlah ada reaksi kimia apaan, cuman rasanya ada balon-balon kecil yang meletus di perutku. Waduh. Walah, jangan-jangan saya sakit perut. Jangan-jangan perutku sedang memproduksi calon kentut. Ah, masa sih cuman minum kopi saja bisa memproduksi gelembung gas? Kan saya tidak sedang minum soda? Tapi, bisa jadi ya kalau kopi yang diminumnya beberapa gelas. Ups, baru sadar. Bukankah tadi pagi saya makan ubi jalar yang dibawa Paman dari Sumedang? Mana dimakan mentah lagi. Wah, bahaya nih.

Satu lagu lagi berjalan lewat. Perut tambah terasa berat menahan gas yang terus menekan ingin keluar. Tengok kiri-kanan, ternyata kedai kopi sudah penuh. Gimana dong. Toilet letaknya di luar. Cukup jauh lagi. Kalau dibiarin kentut sekaligus, kebayang dong gegernya restoran kopi itu. Tidak sopan banget. Lagian, mau dikemanain harga diriku jika kentutku terdengar orang lain.

Lagu yang diputar sekarang bergenre dangdut. Yang bernyanyi seorang laki-laki bersuara berat. Langsung terbayang seorang cowok cukup tinggi besar, berewok, memakai jubbah putih sedang memainkan gitarnya naik turun. Iya, betul. Dialah Bang Oma Irama.

Mendengar lagu dangdut yang sedang dinyanyikan itu, ditambah dengan musiknya yang kencang dan cukup menggedor telinga, saya serasa mendapatkan durian runtuh. Wah, ada kesempatan buat kentut nih. Kenapa saya tidak manfaatkan saja kencangnya lagu dan musik itu untuk kentut sedikit demi sedikit. Nah, ini ada cengkokan sedikit: “Dut…dut….”

Saya tengok sekeliling. Yang sedang duduk di sekitar tetap tidak bergeming, asyik dengan urusan masing-masing.

“Wah, untung nih. Tidak ada yang ngedengerin kentutku. Tidak ada satupun yang sadar nih, kalo saya sedang kentut”.

Memang sih, ada satu dua yang menoleh, namun sepertinya dia tidak peduli. Itu berarti kentut ku tidak terdengar. Jangankan didengar orang lain, telinga sendiri saja tidak bisa denger saking kencangnya musik dangdut.

Saya lalu sedikit menarik nafas hanya sekedar memastikan bahwa kentutku tidak berbau.Untung sekali, asap rokok tiga batang yang tadi dihisap masih jelas tercium baunya. Wah, tenang nih. Calon-calon kentut ternyata bisa dikeluarkan meskipun dengan cara dicicil.

Bang Haji sekarang sedang menyanyikan lagu yang lain.

“Oke lah, kita iringi cengkoknya dengan kentutku. Anggaplah paduan suara yang lain dari yang lain”.
'Begadang jangan begadang' begitu suara Bang Haji terdengar, yang disahut kentutku 'dut...dut...'
'Walau tiada artinya... dut...duuut'
'Begadang boleh saja ... duuuut...'
Begitu terus sampai tamat. Saya sampai tidak habis pikir, kok persediaan kentutku ternyata begitu banyak hingga habis tepat pada saati lagu Begadangna Bang Haji beres.

Lagu Bang Haji selesai, perut terasa lega sekali. Mataku yang dari tadi merem – untuk menghayati dan merasakan nikmat serta indahnya komposisi kentut dan lagu dangdut, lalu terbuka. Beriringan dengan meleknya mataku, sekonyong-konyong terdengar suara ibu-ibu pangajian menyanyikan lagu qasidahan.

“Wah, masa sih kedai kopi keran ini mengumandangkan lagu Qasidahan. Kalo dangdut sih Okelah. Tapi Qasidahan?”. Dahiku berkerut keras.

Syair-syair lagu itu lalu terdengar cukup jelas, dan rasanya akrab ditelingar.

'Perdamaian, perdamaian...'
'Ada yang cinta damai, tapi perang makin ramai...'

Lalu di kepalaku terbayang kaset qasidah Nasida Ria kepunyaan Ibuku.

Badanku seketika itu juga lemas selemas-lemasnya. Semua kekuatan persendian seperti disedot.

“Kalau kedai kopi ini tidak mungkin menyetel lagu qasidahan, berarti lagu Bang Haji Rhoma Irama tadi tidak mungkin muncul dari speakernya restoran”. Jantungku langsung berdetak kencang, persis detak jantungku saat menjuarai marathon tujuhbelasan, juara dengan posisi buncit.

“Kaset ibuku kan dulu saya rekam. Qasidah, lagu Malayu, Bang Haji Oma, R&B. Semuanya kan saya rekam dan dimasukkan ke iPhone baruku. Jangan-jangan …….

Seketika wajahku memerah. Darah terasa terdorong ke atas sampai saya merasakan aliran darah itu dan memerahnya wajah. Aku tertunduk dalam-dalam. Saat tertunduk, kulihat ada yang menjulur di dada.

Kabel!!

Kabel iPhone.

Badanku tambah lemas. Tanganku yang gemetar sangat, lalu menelusuri kabel itu. Dimulai dari dada, terus ke atas, ke atas lagi, lagi dan lagi. Sedikit demi sedikit, sampai berujung di telinga. Ehm, benar ini kabel iPhone.

Sejenak kucabut kabel itu dari kupingku. Suara ibu-ibu Qasidah itu lalu berhenti. Di luaran sepi. Tidak ada lagu yang terdengar dari speaker. Kekhawatiranku lalu terbukti. Semua yang didengar itu, R&B, Dangdut, Bang Oma sampai Qasidahan itu nyata didengar dari iPhone. Berarti, kentutku …… kentutku …… Ternyata kentutku tidak terdengar HANYA olehku saja…. Berarti, kentutku …..kentutku ternyata hanya mengiringi lagu dari iPhone saja, bukan dari speaker restoran. Berarti …berarti dari tadi, semua orang mendengarkan dengan jelas kentutku. Berarti…paduan suara kentut dan dangdut itu hanyalah simfoni dalam persepsiku saja. Berarti …..berarti …..

Tubuh makin bertambah lemas. Wajah makin memerah. Lengan makin bergetar. Dada berdebar kencang. Dan ….telinga sekarang mendengar bisik-bisik orang sekitar yang terasa kencang dan menusuk.

'Ya Tuhan.... Lebih bagus saya mati, daripada kayak begini. Maluuuu. Mau dikemakanakn wajahku ini?”

Aku sudah tidak kuasa menegakan kepalaku yang terkulai layu. Terlihat dari sudut mata, orang-orang yang duduk di sekelilingku memelototiku. Sebagian dari mereka bahkan menutup hidungnya.

Tak kuat lagi saya berdiam diri di kursi empuk ini. Kedai kopu indah ini sekarang ibarat neraka jahanam. Sorot mata semua orang seperti menelanjangiku. Mengulitiku.

Tidak kuat lagi kumenyandang malu, lalu kukeluarkan uang seharga kopi yang saya minum. Mana berani saya memanggil pelayan atau berjalan ke kasir. Uang itu beserta kelebihannya saya taruh di meja.

Dengan wajah yang tetap tertunduk, aku berdiri memburu pintu, diiringi orang-orang yang tertawa dan sebagian lagi malah meneriaki. Kepergianku pun diiringi tatap mata seorang wanita yang duduk di sudut, Neng Andri, yang sebenarnya adalah bunga desa yang sedang saya dekati.

Hari itu pupuslah sudah harapan mendekati bunga impian. Hari itu adalah hari terakhir kedatanganku ke kedai kopi itu.

Dan sejak saat itu, saya muak dengan kopi.

Cag, 24 February 2010 – diterjemahkan ke Bahasa Indonesia 29 Oktober 2012

Pembaca. Cerita di atas bolehlah dijadikan cermin. Apa-apa yang ada di dalam pikiran kita belum tentu itulah yang benar. Simfoni indah kentut dan dangdut dalam cerita di atas sebenarnya hanya ada dalam pikiran saja. Itu mungkin yang disebut persepsi. Hati-hati, kita biasanya atau mungkin akan terbiasa terlalu memperhatikan persepsi yang belum tentu benarnya, dan mengabaikan realita. Sehingga terkadang yang belum tentu benar, lalu dianggap sebuah kebenaran. Terkadang sebuah persepsi kemudian akan menjurus kepada prasangka buruk.

Persepsi mungkin bisa dianggap sebagai salah satu factor yang menutupi hati nurani, suara hati atau fitrah. Karenanya, mari sedikit demi sedikit kita meluruskan persepsi dengan berpikir yang positif. Mulailah menyingkirkan persepsi negatif itu dengan tidak berpikir cerita di atas adalah pengalaman pribadi saya. Bukan sama sekali 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun