Mohon tunggu...
FARAH RIFA
FARAH RIFA Mohon Tunggu... Human Resoures

Menulis bukan karena tahu segalanya. Justru karena ingin tahu lebih dari yang terlihat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gratis Tapi Tak Setara: Paradoks Pendidikan di Negeri Sendiri

28 Mei 2025   08:00 Diperbarui: 28 Mei 2025   12:42 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Ketimpangan dalam dunia pendidikan Indonesia masih menjadi persoalan besar yang tak kunjung tuntas. Akar utamanya adalah kemiskinan struktural yang membuat jutaan anak kehilangan hak untuk duduk di bangku sekolah. Banyak di antara mereka terpaksa membantu orang tua mencari nafkah atau sekadar tidak mampu membayar biaya pendidikan. Dalam situasi ini, pemerintah meluncurkan program Sekolah Rakyat dengan anggaran fantastis sebesar Rp25 triliun, bersamaan dengan pembangunan Sekolah Garuda Unggulan yang diperuntukkan bagi kalangan mampu.

Sekilas, program ini tampak menjanjikan. Namun, muncul pertanyaan tajam dari publik: apakah ini solusi jangka panjang, atau hanya proyek populis berbiaya tinggi? Guru Besar Sosiologi dari Universitas Airlangga, Prof. Tuti Budirahayu, turut mengkritisi program ini. Ia mempertanyakan apakah Sekolah Rakyat akan memperkuat sistem pendidikan atau malah menyaingi sekolah-sekolah formal yang sudah ada. Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa pendidikan tidak seharusnya membangun dinding pemisah antar kelas sosial, tetapi justru menyatukan seluruh lapisan masyarakat dalam satu sistem yang berkualitas dan adil.

Skema yang membedakan sekolah untuk si miskin dan si kaya ini sesungguhnya menegaskan adanya pemisahan kelas dalam dunia pendidikan nasional. Selama ini intervensi negara seperti BOS, KIP, dan beasiswa hanya menjadi penyangga jangka pendek, bukan solusi fundamental. Ketika pendidikan masih dianggap sebagai layanan berbayar, bukan hak dasar yang wajib dijamin negara, maka kesenjangan akan terus berulang dengan wajah yang berbeda.

Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Berdasarkan data Kemendikdasmen, lebih dari 25% anak tidak sekolah (ATS) disebabkan oleh faktor ekonomi, dan 21% lainnya karena harus bekerja membantu orang tua. Fakta ini menegaskan bahwa persoalan pendidikan tak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang sistemik. Maka pertanyaannya: apakah anggaran triliunan rupiah benar-benar digunakan untuk memutus akar persoalan, atau hanya menjadi etalase politik sesaat? Jika negara tidak mengubah cara pandang bahwa pendidikan adalah hak mutlak setiap anak, maka program sebesar apa pun hanya akan menjadi catatan anggaran bukan jalan keluar dari kemiskinan. 

Pendidikan Islam, Role Model Pendidikan Terbaik

Pendidikan adalah hal penting dalam kehidupan. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh sebuah negara pun tidak kalah penting karena dari sistem pendidikanlah ditentukan sebuah proses dan output dari pendidikan tersebut.

Namun, sistem pendidikan di bawah naungan kapitalisme dan sekularisme telah lama menelantarkan peran negara dalam menjamin hak rakyat atas pendidikan. Biaya sekolah mahal, akses terbatas, dan kurikulum yang terputus dari nilai-nilai agama membuat pendidikan seolah hanya hak segelintir orang. Padahal dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan mendasar yang harus dijamin langsung oleh negara, tanpa diskriminasi.

Dalam sistem Islam yang menyeluruh, negara tidak boleh menyerahkan urusan pendidikan kepada mekanisme pasar. Seluruh pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab penuh negara dan diambil dari Baitul Maal, yakni dari pos fai, kharaj, serta kepemilikan umum, bukan dari kantong rakyat. Dengan demikian, anak dari keluarga miskin di desa terpencil pun akan mendapat hak pendidikan yang sama dengan anak orang kaya di kota besar. Tanpa biaya, tanpa perbedaan fasilitas.

Tujuan pendidikan dalam Islam bukan sekadar mencetak lulusan. Ia tidak berhenti pada target agar terserap pasar kerja. Pendidikan Islam membentuk pribadi Muslim (syakhshiyah Islamiyah) yang beriman, berpikir kritis, menguasai tsaqafah Islam, sains, dan teknologi, serta siap melanjutkan dakwah dan jihad membawa risalah Islam ke seluruh dunia.

Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu kehidupan. Semua diajarkan dalam satu kesatuan kurikulum berbasis akidah Islam, sejak jenjang paling dasar hingga pendidikan tinggi.

Negara pun bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana pendidikan secara merata---mulai dari sekolah, laboratorium, buku, teknologi, hingga balai riset. Semua disiapkan agar kegiatan belajar berjalan optimal. Guru-guru harus dipilih dari kalangan profesional dan diberi upah layak, sebagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra. menggaji guru anak-anak di Madinah sebesar 15 dinar (setara Rp57 juta jika diasumsikan harga 1 gram emas sebesar Rp900.000) tiap bulan, yang diambil dari Baitul Maal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun