Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemanggul Buku

21 Agustus 2019   23:03 Diperbarui: 22 Agustus 2019   00:10 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Dari ujung jalan, lelaki berwajah fajar itu datang. Senyumnya cerah membuat segala kembang merekah, kumbang pun betah menabur serbuk sari ke tangkai putik. Seluruh semesta berdendang. Anak-anak mengelu-elu ke langit. Berharap awan lembut mewarnai, semoga tak menjelma hujan, menghapus ceria yang terbetik di pipi. 

Saya adalah seorang kekanak di antara mereka. Seorang yang merasa kemunculan lelaki itu seumpama fajar. Dia membawa beberapa buku bau tangan. Sebagian lecek, sebagian koyak. Anak-anak berebut buku itu. Ibarat orang  kehausan di gurun, melihat setitik air sebagai pereda dahaga.

"Jangan berebut, ya! Bukunya cuma tiga, orang yang mau baca tiga puluh tiga kepala. Baiklah abang bacakan dulu, agar semua mendengar."

Maka kekanak bergegas membentuk lingkaran. Ada yang bersila, ada yang tengkurap sambil bertopang dagu. Sebagain menatap langit seakan ingin melihat kata-kata keluar dari mulut abang itu, terbang bebas menuju angkasa.

"Abu Nawas! Malin Kundang! Sampuraga! Si Kancil!" Begitu mulut-mulut kecil  menuntut keinginan masing-masing. Si abang duduk di batu. Menyuruh pendengar diam. Angin berbisik agar dia memulai cerita. Semua tenang juga alam. Kata-kata melata di atas tanah. Kata-kata merangkak, berjalan, dan terbang searah angin. 

Anak-anak seperti berada di taman penuh bunga. Lagi, dan lagi ingin si abang bercerita. Tapi, dia akhirnya menyerah pada hujan setetes demi setetes. Buku dipinjamkan kepada kami. Bergiliran di antara tiga puluh tiga anak. 

Hingga huruf bertanggalan. Hingga kertas berterbangan. Namun, si abang tersenyum ketika menagih kembali buku. Tak ada lagi semua itu. Sementara di pelupuk  mata kami, telah tumbuh beragam cerita, tak hilang sampai kapan pun.

Besoknya lagi, dan besoknya lagi, dia membawa buku baru, kumal. Kami lahap seumpama santapan paling sedap sedunia. Segala buku tersimpan di kepala. Kami pandai bercerita, kepada awan, dan segala tumbuhan. Kami seakan memiliki peternakan kata-kata. Pin pembaca ulung menghiasi dada.

***

Angin mati. Lolong anjing mengabarkan rindu pada sang kekasih. Sekarang puluhan tahun terlampaui, lelaki itu selalu muncul ketika matahari sudah tinggi. Mengharap semua kekanak sudah terbebas dari lapik dan mimpi-mimpi.  Marilah bercerita, marilah membaca. Abang ada tiga puluh tiga buku, bebas membaca tanpa mengantri.

Tapi, selalu dia tak menemukan anak-anak. Dia meneriakkan, "Buku-buku, siapa yang mau membeli?" Tak ada yang menjawab selain burung nazar terbang rendah. Berharap buku menjadi bangkai, bisa dimakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun