Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Darah

20 Juli 2019   12:26 Diperbarui: 22 Juli 2019   18:29 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

"Tidak, Bu! Mungkin ibu hanya mengira-ngira saja aku pendiam. Sebetulnya tidak." Aku mencoba tersenyum, tapi kutahu ibu melihat senyumanku bagai ringisan.

"Mungkin karena dia sudah akil-baliq." Ayah yang menjawab. Darahku berdesir. Telapak tanganku seketika dingin.

Ibu mengerutkan kening. Dia seolah perempuan yang kehilangan perhiasan mahal di sebuah pesta besar, karena terlalu fokus berbincang dengan teman-temannya. Bagaimana mungkin seorang ayah lebih mengetahui hal-hal renik putrinya ketimbang ibu! Memalukan, bukan? Tapi aku mafhum. Ibu terlalu sibuk dengan barang jualannya di pasar. Terlalu sibuk ketika pulang menjelang maghrib harus menghitung lembaran kucel yang tersimpan di dalam tasnya. Selalu saja dia tersenyum cerah. Keuntungannya bertambah-tambah. Dia menjanjikan tentang sepeda impian kepadaku, berumbai-rumbai di ujung stang. Berwarna pink dengan tempelan Mini Mouse di bagian keranjang yang serupa jaring. Tapi janji itu telah hambur. Tak dapat kugapai.

Lagi-lagi aku mafhum. Ibu sibuk. Ibu sampai lupa bahwa anaknya sudah siap dibuahi lelaki. Kubayangkan Mbak Ririn, tetangga berjarak seratus rumah dari rumahku. Dia hamil oleh kebejadan ayahnya. Mestikah aku mendapat getah yang serupa dari ayahku? Ah, tak mungkin! Kuingat saat handuk itu melorot. Kuingat kemaluan ayah. Mustahil ayah berbuat nekad. Lagipula tak mungkin aku..., sudahlah!

Wajah ibu kembali tenang. Ada nada kecewa di situ. Tapi dia sanggup menutupinya, sama seperti menutupi kekecawaan terhadap sikap ayah. Ayah yang seniman lukis, hanyalah seniman pemalas. Kalau tak lagi enak di hati, dia tahan tak berkarya berbulan. Dia lebih senang berpangkutangan di rumah. Berbas-bus merokok. Atau mengajakku jalan-jalan mengitari kota dengan sepeda motor bututnya. Tapi itu dulu. Sekali lagi, sekarang kami renggang.

"Kenapa kalian menyembunyikan ini dariku?" gerutu ibu. "Pantaslah kau mulai pendiam dan kelihatan asing. Tabiat perempuan yang baru akil-baliq memang begitu." Dia mengambil sebatang rokok. Sama seperti ayah, dia juga senang berbas-bus dengan kepul yang menghalimun.

Lanjutnya, "Berarti mulai sekarang kau harus mulai menjaga jarak dengan lelaki. Kau harus bisa menjaga diri. Juga penampilanmu. Dadamu mesti disangga. Nanti kau kubelikan kutang." Hanya itu. Lalu dia diam. Dia merapikan kembali meja makan, dan sibuk dengan kegiatannya. Ibu memang begitu, tak banyak bicara. Tak suka beramah-tamah. Berbeda dengan ayah, banyak bicara, suka senyum, dan senang bertanya yang macam-macam. Tapi tidak sekarang setelah aku melihat sesuatu di balik handuknya yang melorot itu. Ah!

* * *

"Lumayan lambat kau haid, Arini!" kata Mien. Kami, seperti biasa, saling mencurahkan perasan saat istirahat sekolah di bawah pohon akasia yang menjadi peneduh lapangan berumput. "Padahal umurmu sudah tigabelas tahun. Sekarang kita telah duduk di bangku kelas satu esempe. Kalau aku, haid yang pertama terjadi saat aku masih kelas lima esde."

"Bagaimana perasaanmu kala itu?" kejarku.

"Biasa saja. Jauh-jauh hari aku telah tahu tentang haid dan permasalahannya. Kau tahu kan, mantan ayahku bajingan! Dia menyimpan belasan kaset porno dan satu dus buku tentang perempuan dan seks di kamarnya. Aku sekali-sekali membaca bukunya, bahkan sekali-dua mengintip kala dia sedang memutar kaset porno itu, meski aku mual. Ya, beruntunglah aku terbebas oleh kebejadannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun