Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Darah

20 Juli 2019   12:26 Diperbarui: 22 Juli 2019   18:29 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

Aku menjerit ketakutan saat darah merembes dari liang kemaluan dan menjalar di pangkal pahaku. Kusangka aku akan mati. Kuingat si Belang, kucingku, ditabrak mobil seminggu lalu, mati karena kehabisan darah.

Ayah tiba-tiba menyeretku ke kamar mandi. Katanya, darah itu pertanda aku sudah menjadi perempuan dewasa. Kala dia hendak membersihkan jalaran darah di pahaku, kejadian menakutkan itu pun terjadi. Ayah hanya mengenakan kaos oblong dan pinggangnya dibebat handuk. Tak sadar handuknya melorot. Kulihat sesuatu yang tak boleh terlihat. Aku bingung. Aku merasa wajah ini panas. Ayah meminta maaf dan menyuruhku menutup mulut atas kejadian itu. 

Kemudian hubunganku dengan ayah menjadi renggang. Kami saling membisu ketika bertemu. Sewaktu ibu ke pasar berjualan sayur, dan kami hanya berdua di rumah, aku lebih baik minggat ke rumah Aisah, tetanggaku. Begitu pula bila liburan sekolah tiba, aku lebih senang ikut ibu berjualan di pasar. Tapi ibu selalu memaksaku di rumah saja. Menemani ayah sekalian membantunya bila butuh apa-apa, seperti dibuatkan kopi. Ayah seorang seniman lukis. Jadi wajar dia tak seperti orang-orang yang memiliki kantor. Ayah berkantor di rumah.

Kejadian melorotnya handuk ayah, selalu terbawa-bawa dalam pikiranku. Bahkan aku sampai termimpi-mimpi. Apakah ayah-ayah temanku memiliki kemaluan seperti miliknya? Apakah hanya dia yang memiliki yang demikian? Aku menyesal kenapa sampai melihat kemaluannya, sehinga saat bersirobok mata sesudahnya, seolah mata ayah tetap mengancam; jangan memberitahu siapa-siapa!

* * *

"Kenapa beberapa hari belakangan ini kau kelihatan menjadi pendiam, Arini?' tanya ibu. Kami tengah menikmati santap malam yang menurutku menyakitkan. Aku merasa seluruh yang ada di meja, kesat dan mengganjal tenggorokan. Jus pokat tanpa es, pun bagai lumpur menerjang rongga tubuhku.

Tak seperti biasa, jus itu kini bersisa. Padahal sebelum-sebelumnya, jangankan jus pokatku, jus pokat jatah ibu selalu kuambil-alih karena kemaniakanku terhadap buah yang satu itu. Tentulah kondisi demikian ada penyebabnya. Tak lain tak bukan, disebabkan ayah duduk berhadap-hadapan denganku walaupun dibatasi meja. Setiap tatapannya seolah memerangkap. Membawaku ke liang gelap. Mengikat tangan-kakiku. Menutup mulutku dengan saputangan. Lalu ancaman-ancaman mengalir sedemikian deras dari mulutnya. Duh, adakah perilaku ayah orang lain sama dengan ayahku?

Aku ingat Mien, teman sebangkuku di esde '45, bercerita tentang ayah tirinya yang pemarah. Mien dianggap babu. Dianggap mesin yang harus melayani seorang ayah apabila Mien sudah pulang sekolah. Lalu semuanya berakhir di titik jenuh, ketika si ayah mencoba memerkosanya.

Beruntung kejadian memalukan itu termentahkan. Tetangga sebelah rumah mengetahui kebejadan ayah tiri Mien. Akhirnya lelaki itu dibulan-bulani massa. Tubuhnya dijejalkan ke penjara hingga sekarang. Mien bersyukur telah kehilangan seorang ayah tiri.

"Arini!" Ibu memegang keningku. "Kau sakit?"

"Tidak, Bu! Mungkin ibu hanya mengira-ngira saja aku pendiam. Sebetulnya tidak." Aku mencoba tersenyum, tapi kutahu ibu melihat senyumanku bagai ringisan.

"Mungkin karena dia sudah akil-baliq." Ayah yang menjawab. Darahku berdesir. Telapak tanganku seketika dingin.

Ibu mengerutkan kening. Dia seolah perempuan yang kehilangan perhiasan mahal di sebuah pesta besar, karena terlalu fokus berbincang dengan teman-temannya. Bagaimana mungkin seorang ayah lebih mengetahui hal-hal renik putrinya ketimbang ibu! Memalukan, bukan? Tapi aku mafhum. Ibu terlalu sibuk dengan barang jualannya di pasar. Terlalu sibuk ketika pulang menjelang maghrib harus menghitung lembaran kucel yang tersimpan di dalam tasnya. Selalu saja dia tersenyum cerah. Keuntungannya bertambah-tambah. Dia menjanjikan tentang sepeda impian kepadaku, berumbai-rumbai di ujung stang. Berwarna pink dengan tempelan Mini Mouse di bagian keranjang yang serupa jaring. Tapi janji itu telah hambur. Tak dapat kugapai.

Lagi-lagi aku mafhum. Ibu sibuk. Ibu sampai lupa bahwa anaknya sudah siap dibuahi lelaki. Kubayangkan Mbak Ririn, tetangga berjarak seratus rumah dari rumahku. Dia hamil oleh kebejadan ayahnya. Mestikah aku mendapat getah yang serupa dari ayahku? Ah, tak mungkin! Kuingat saat handuk itu melorot. Kuingat kemaluan ayah. Mustahil ayah berbuat nekad. Lagipula tak mungkin aku..., sudahlah!

Wajah ibu kembali tenang. Ada nada kecewa di situ. Tapi dia sanggup menutupinya, sama seperti menutupi kekecawaan terhadap sikap ayah. Ayah yang seniman lukis, hanyalah seniman pemalas. Kalau tak lagi enak di hati, dia tahan tak berkarya berbulan. Dia lebih senang berpangkutangan di rumah. Berbas-bus merokok. Atau mengajakku jalan-jalan mengitari kota dengan sepeda motor bututnya. Tapi itu dulu. Sekali lagi, sekarang kami renggang.

"Kenapa kalian menyembunyikan ini dariku?" gerutu ibu. "Pantaslah kau mulai pendiam dan kelihatan asing. Tabiat perempuan yang baru akil-baliq memang begitu." Dia mengambil sebatang rokok. Sama seperti ayah, dia juga senang berbas-bus dengan kepul yang menghalimun.

Lanjutnya, "Berarti mulai sekarang kau harus mulai menjaga jarak dengan lelaki. Kau harus bisa menjaga diri. Juga penampilanmu. Dadamu mesti disangga. Nanti kau kubelikan kutang." Hanya itu. Lalu dia diam. Dia merapikan kembali meja makan, dan sibuk dengan kegiatannya. Ibu memang begitu, tak banyak bicara. Tak suka beramah-tamah. Berbeda dengan ayah, banyak bicara, suka senyum, dan senang bertanya yang macam-macam. Tapi tidak sekarang setelah aku melihat sesuatu di balik handuknya yang melorot itu. Ah!

* * *

"Lumayan lambat kau haid, Arini!" kata Mien. Kami, seperti biasa, saling mencurahkan perasan saat istirahat sekolah di bawah pohon akasia yang menjadi peneduh lapangan berumput. "Padahal umurmu sudah tigabelas tahun. Sekarang kita telah duduk di bangku kelas satu esempe. Kalau aku, haid yang pertama terjadi saat aku masih kelas lima esde."

"Bagaimana perasaanmu kala itu?" kejarku.

"Biasa saja. Jauh-jauh hari aku telah tahu tentang haid dan permasalahannya. Kau tahu kan, mantan ayahku bajingan! Dia menyimpan belasan kaset porno dan satu dus buku tentang perempuan dan seks di kamarnya. Aku sekali-sekali membaca bukunya, bahkan sekali-dua mengintip kala dia sedang memutar kaset porno itu, meski aku mual. Ya, beruntunglah aku terbebas oleh kebejadannya."

"Bagaimana dengan ayahku? Apakah dia orang yang bejad? Sebab dialah yang menyeretku ke kamar mandi untuk membersihkan darah haid itu, kemudian menerangkan bahwa aku sudah akil-baliq."

"Dia yang membersihkan darah haidmu?" Mata Mien membelalak. Aku mengangguk. "Pasti ada yang aneh. Bisa saja dia memiliki hasrat lain terhadapmu. Kenapa bukan ibumu saja yang membersihkan darah haid, dan menerangkan tentang akil-baliq itu?"

Kukatakan mustahil terjadi. Ibu terlalu sibuk dengan urusannya di luar. Orang yang terdekat denganku hanyalah ayah. Jadi, wajar saja dia yang lebih tanggap untuk memperlakukan keaqilbalikanku. Mengenai handuk melorot dan sesudahnya, sengaja kurahasiakan. Itu hanya sebuah aib yang sangat memalukan keluargaku.

"Tapi bisa saja, Arini. Seorang lelaki, meski dia adalah ayah kandungmu, pasti bergetar ketika melihatmu mulai mengkal. Siapa coba lelaki yang tak bergairah dengan dada mengkal, paha mulus menantang." Dia tertawa.

"Cara bicaramu sudah amat dewasa, Mien."

"Ya, itulah aku, Arini. Lingkungan keluargaku yang menyebabkannya."

"Tapi ayahku baik, kok!"

"Mana ada musang yang menunjukkan kebuasannya kepada seekor ayam."

"Tapi ayahku bukan musang!"

"Ayahmu laki-laki juga, kan?"

Aku mengangguk.

* * *

Bibirku bergetar. Ibu belum pulang dari pasar. Hujan di luar deras. Ayah yang telah menyelesaikan lukisannya sedang rebahan di lapik tipis ruang kerjanya. Dia menyuruhku membuatkan dua gelas teh. Segelas untukku, dan segelas untuknya. Saat teh itu kubawa di atas nampan yang bergetar (sebenarnya tanganku yang bergetar), ayah menyuruhku meletakkan nampan itu di sudut ruang. Gelas di atasnya berdentingan.

Ayah menoleh. Menatapku lembut. Dia memintaku berbuat seperti yang dilakukannya. Rebahan sambil menatap baling-baling cailing fan. Entah apa yang menarik di situ. Selain warnanya yang merah buram, hanya suaranya yang berkriut-kriut memilukan itu membuatnya menjadi asing.

Aku ragu-ragu melakukan sikap seperti ayah. Pangkal pahaku berkeringat. Aku ingat teman-teman yang pernah dimakan oleh ayah mereka sendiri. Adakah kondisi demikian menimpaku pula? Ah, tidak! Aku yakin. Paling-paling ayah hanya ingin lebih mematangkan ancaman, bahwa aku tak akan membocorkan rahasia sesuatu yang ada di selangkangannya kepada orang lain.

"Apa perasaanmu setelah haid, Nak?" tanya ayah lembut. Kulirik tangannya. Tangan itu tak bergerak.

"Asing! Tak enak!" jawabku lirih. Angin menyelusup dari kisi-kisi ventilasi di atas jendela ruang.

"Apakah sudah ada perubahan kepada dirimu?"

"Sedikit! Dadaku sakit, dan bentuknya mulai menonjol. Tumbuh bulu-bulu halus di selangkanganku." Pipiku juga sering bersemu merah. Tubuhku terasa hangat, meski sekarang hujan menerbas di luar sana.

"Bagaimana dengan pacar?"

Aku membisu. Aku duduk sambil memeluk kedua belah lutut. Kutatap semut hitam yang beriring di sudut ruang. Apakah mereka mengalami haid seperti aku? Apakah mereka memiliki ayah seperti milikku?

"Pacar belum ada," jawabku akhirnya. "Tapi rasa suka terhadap teman lelaki sudah mulai ada."

Ayah seolah tersentak, duduk, kemudian memeluk kedua belah lututnya. Matanya menatap semut hitam yang beriring di sudut ruang. Mungkin dia berpikir, apakah dia seorang ayah yang normal? Apakah aku, anaknya, selalu merasa ketakutan ketika kami hanya berdua?

Tiba-tiba ayah merengkuh bahuku erat-erat. Ketakutan berjumpalitan di benakku. Namun ayah tak berbuat apa-apa lagi, selain kurasakan tetesan air jatuh dari matanya dan menindas ke bahuku yang setengah telanjang.

"Ayah senang kau merasa suka terhadap lelaki. Dan ayah berharap kau jangan pernah berpacaran dengan orang seperti ayah. Ayah sangat mencintaimu!"

Hatiku luluh. Aku balas memeluk ayah. Aku tak lagi memendam takut kepadanya. Aku juga tak ingin melukainya dengan bertanya ini-itu tentang sesuatu di selangkangannya. Biarlah kelak dia yang berterus-terang atas semuanya. Termasuk tentang ibu dan kenangan mereka.

* * *

Ayah yang aneh!

Bolehlah sekarang kuceritakan kepadamu (meski malu dan risih), bahwa sesuatu yang berada di selangkangan ayahku adalah kata berpangkal V, bukan seperti ayahmu yang kata itu berpangkal P. Kuharap kau mengerti. Dan sebenarnya sejak usia sekitar enam tahun, aku mulai bingung melihat ada yang beda dengan ayahku. Tak seperti ayah orang lain. Tapi seiring perkembangan otak kecilku, tanda tanya itu lambat-laun menghilang.

Jujur, aku begitu malu. Sangat malu. Adakah orang lain semalang aku?

----sekian----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun