Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berderma Membuat Hidupku Berubah

14 Juli 2019   09:47 Diperbarui: 14 Juli 2019   10:34 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku sempat tergoda atas ajakannya. Apalagi setelah kulihat harta benda miliknya, wah... lumayan banyak. Dia mempunyai sebuah rumah mewah di pinggiran kota. Namun aku ragu sebab itu perbuatan dosa. Lagipula aku hanya mencari mati bila menjadi gigolo di kota P. Aku telah memiliki Lila. Lila memiliki sanak-saudara, juga teman yang tersebar di beberapa sudut kota. Bagaimana jika salah seorang di antara mereka memergoki, atau bahkan menjadi calon pelangganku? Dapat dibayangkan aku hanya menjeratkan tali di leher ini.

Sementara temanku itu sama sekali tak memiliki sanak-saudara di kota P. Dia masih bujangan tulen, meski sama sekali bukanlah perjaka. Kutolak saja tawarannya dan memilih tetap menganggur.

Aku kemudian bekerja serabutan. Terkadang menjadi bagian gudang di proyek pembangunan perumahan. Selesai proyek, usai pula pekerjaanku. Kemudian pernah juga aku bekerja sebagai sopir di perusahaan perkebunan. Sama seperti sebelumnya, hanya bertahan setahun. Setelah itu menganggur lagi akibat kontrak sudah selesai.

Bosan bekerja seperti itu, aku ikut teman usaha kanvasing. Yakni membawa barang-barang dari kota, lalu menjualnya ke pelosok-pelosok desa. Itu pun hanya bertahan sebulan. Tubuhku tak tahan terus-terusan di atas kendaraan. Aku langsung jatuh sakit, sehingga terpaksa kembali ke jabatan sebelumnya; menjadi pengangguran.

Atas saran istri, aku mencoba menjadi penjaja bubur ayam. Hanya penjaja, bukan pemiliknya. Setiap hari kulalui jalanan beberapa kilometer dengan mendorong gerobak Peluhku menganak sungai. Sayang sekali, entah kenapa rejekiku tetap seret. Tiap kali mengembalikan gerobak kepada pemiliknya, bubur di dandang masih tersisa setengahnya. Itulah sebabnya aku kemudian diberhentikan. 

Sampai anak pertamaku lahir, aku belum memiliki pekerjaan tetap. Otomatis Lila yang mengambilalih roda kehidupan berumahtanagga. Dia menjadi pelayan restoran yang kerap membawa makanan lebih dari tempat pekerjaannya itu. 

Anak keduaku lahir, tak ada perubahan berarti pada diriku. Berbeda dengan Lila. Dari pelayan, statusnya menjadi kasir restoran. Sedikit terbantu juga perekonomian keluarga. Begitupun hatiku selalu sakit. Apa pandangan orang bila yang bekerja mati-matian hanyalah istri, sementara suami lebih sering di rumah memomong anak? Tak ada selain umpatan; sang pecundang, banci atau apalah.

Dalam kekalutan pikiran, bertemulah aku dengan seorang kerabatku yang kebetulan mutasi pekerjaan ke kota P. Dia terkejut melihat penampilanku. Dulu menurutnya aku selalu mentereng, kenapa saat itu terlihat sangat kere.

Kuutarakan bahwa hidupku dalam kondisi paceklik. Lebih memalukan lagi, sang istrilah yang berperan sebagai pencakar kehidupan. Temanku itu pun hanya tersenyum. Dia menanyakan, apakah aku selama menikah dengan Lila sering-sering berderma kepada keluargaku atau orang lain?

Jelas saja aku menggeleng. Memang selama bujangan aku sering berderma, baik kepada keluargaku atau orang-orang miskin yang kutemui di jalanan. Namun setelah menikah, karena tuntutan hidup, aku melupakan sama sekali rutinitas berderma itu. Aku berpikir oranglah yang seharusnya berderma kepadaku, bukan malah sebaliknya.

Dia kemudian berbaik hati mempekerjakanku sebagai satpam di kantornya. Tapi dengan syarat aku harus sering berderma. Karena dengan berderma itu, Allah akan mengucurkan rejeki lebih dari yang kudermakan. Prinsip yang aneh dan menurutku tak masuk akal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun