Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berderma Membuat Hidupku Berubah

14 Juli 2019   09:47 Diperbarui: 14 Juli 2019   10:34 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Kebahagiaan kurasakan tak pernah berpihak kepadaku. Sejak menikah dengan Lila (nama samaran) delapan tahun lalu, tak sekalipun kurasakan hidup yang sejahtera. Hari-hari penuh dengan kegelisahan. Bagaimana memenuhi kebutuhan harian. Bagaimana menutupi kredit rumah. Sampai rerimbun cemas tentang masa depan kedua anakku; dari masa sekolah sampai kelak mereka memperoleh pekerjaan mapan dan menikah.

Semasa lajang, kehidupanku memang tak terlalu susah. Sebab aku masih tinggal bersama kedua orangtua yang notabene saat itu hidup lumayan. Setelah pergi merantau ke kota P, aku berkenalan dan berpacaran dengan Lila. Setahun berpacaran, langsung kulamar dia. 

Memang orangtuaku mewanti-wanti supaya aku menabung dulu baru menikah. Kebutuhan kami kelak sangatlah bermacam. Kalau tak ada simpanan, bisa kacau-balau saat kami diterjang paceklik kehidupan. Tapi aku tetap memaksa. Pekerjaanku mapan. Penghasilan bulanan lumayan. Untuk apa lagi ragu-ragu menempuh kehidupan berumahtangga?

Baru tiga bulan menikahi Lila, usaha orangtuaku bangkrut. Saking bangkrutnya, rumah mereka terpaksa  dijual, kemudian diganti dengan rumah sederhana. Aku kasihan ingin membantu mereka. Sayang sekali, sebelum niat itu tersampaikan, tiba-tiba tempatku bekerja ikutan bangkrut. Bosku terlilit hutang. Tak ada pesangon untuk karyawan yang di-phk, selain satu bulan gaji. Si bos benar-benar jatuh melarat, bahkan berurusan dengan hukum. Salah satu proyeknya yang sudah kelar, ternyata diperoleh dari hasil perkolusian dengan pihak pemerintah. Akhirnya dia terpaksa merelakan tubuhnya di penjara.

Tentulah tak ada lagi kesempatanku, juga karyawan lain menuntut pesangon itu. Kepada siapa memintanya? Jangankan memberi pesangon, menyelamatkan diri dari jeratan hukum pun tak bisa dielakkan si bos.

Mulailah kurasakan hidup tak karuan. Hampir sebulan aku menganggur. Setiap hari, aku hanya berkeliaran dari rumah demi rumah teman-temanku sesama mantan karyawan yang di-phk. Tapi semuanya nyaris sepertiku. Masih menganggur dan tak memiliki sinar kecerahan demi memulai hidup baru.

Tak tahan menganggur, aku mencoba-coba menjadi sales sebuah produk rumahtangga. Pekerjaan yang sama sekali belum pernah kulakukan. Gamang nian rasanya, apalagi hati berontak karena tak cocok. Namun apa daya, semua mesti dijalani, kalau tak ingin aku dan istri kelaparan. 

Sayang sekali, hanya sebulan aku bertahan bekerja di situ. Bulan kedua, setelah memperoleh penghasilan alakadarnya, aku pun didepak. Aku tak bisa memenuhi target yang telah dipatok perusahaan. Sesuai perjanjian semula, bila target tak tercapai, maka bersedialah diri ini diberhentikan.

Dalam pikiran kacau balau, aku bertemu dengan salah seorang mantan teman kuliahku. Dia kelihatan mentereng. Dia sama sepertiku; seorang perantau. Aku berharap dia adalah seorang bos yang memiliki sebuah perusahaan yang maju. Bila demikian kenyataannya, aku tentu bisa bekerja dengannya.

Saat berbincang cukup lama, ternyata dia bukanlah seorang bos. Melainkan hanya jongos. Jongos seks maksudku. Dia gigolo yang cukup terkenal di kota P. Bertemu denganku, dia amat kesenangan. 

Kuutarakanlah kepadanya tentang kesusahan hidup yang menderaku. Temanku itu langsung memberi jalan terbaik, yakni menjadi gigolo seperti dirinya. Karena menurut penilaiannya tubuhku proporsional, wajah dan penampilanku lumayan. Dia meramalkan aku akan laris diperebutkan perempuan-perempuan yang haus seks.

Aku sempat tergoda atas ajakannya. Apalagi setelah kulihat harta benda miliknya, wah... lumayan banyak. Dia mempunyai sebuah rumah mewah di pinggiran kota. Namun aku ragu sebab itu perbuatan dosa. Lagipula aku hanya mencari mati bila menjadi gigolo di kota P. Aku telah memiliki Lila. Lila memiliki sanak-saudara, juga teman yang tersebar di beberapa sudut kota. Bagaimana jika salah seorang di antara mereka memergoki, atau bahkan menjadi calon pelangganku? Dapat dibayangkan aku hanya menjeratkan tali di leher ini.

Sementara temanku itu sama sekali tak memiliki sanak-saudara di kota P. Dia masih bujangan tulen, meski sama sekali bukanlah perjaka. Kutolak saja tawarannya dan memilih tetap menganggur.

Aku kemudian bekerja serabutan. Terkadang menjadi bagian gudang di proyek pembangunan perumahan. Selesai proyek, usai pula pekerjaanku. Kemudian pernah juga aku bekerja sebagai sopir di perusahaan perkebunan. Sama seperti sebelumnya, hanya bertahan setahun. Setelah itu menganggur lagi akibat kontrak sudah selesai.

Bosan bekerja seperti itu, aku ikut teman usaha kanvasing. Yakni membawa barang-barang dari kota, lalu menjualnya ke pelosok-pelosok desa. Itu pun hanya bertahan sebulan. Tubuhku tak tahan terus-terusan di atas kendaraan. Aku langsung jatuh sakit, sehingga terpaksa kembali ke jabatan sebelumnya; menjadi pengangguran.

Atas saran istri, aku mencoba menjadi penjaja bubur ayam. Hanya penjaja, bukan pemiliknya. Setiap hari kulalui jalanan beberapa kilometer dengan mendorong gerobak Peluhku menganak sungai. Sayang sekali, entah kenapa rejekiku tetap seret. Tiap kali mengembalikan gerobak kepada pemiliknya, bubur di dandang masih tersisa setengahnya. Itulah sebabnya aku kemudian diberhentikan. 

Sampai anak pertamaku lahir, aku belum memiliki pekerjaan tetap. Otomatis Lila yang mengambilalih roda kehidupan berumahtanagga. Dia menjadi pelayan restoran yang kerap membawa makanan lebih dari tempat pekerjaannya itu. 

Anak keduaku lahir, tak ada perubahan berarti pada diriku. Berbeda dengan Lila. Dari pelayan, statusnya menjadi kasir restoran. Sedikit terbantu juga perekonomian keluarga. Begitupun hatiku selalu sakit. Apa pandangan orang bila yang bekerja mati-matian hanyalah istri, sementara suami lebih sering di rumah memomong anak? Tak ada selain umpatan; sang pecundang, banci atau apalah.

Dalam kekalutan pikiran, bertemulah aku dengan seorang kerabatku yang kebetulan mutasi pekerjaan ke kota P. Dia terkejut melihat penampilanku. Dulu menurutnya aku selalu mentereng, kenapa saat itu terlihat sangat kere.

Kuutarakan bahwa hidupku dalam kondisi paceklik. Lebih memalukan lagi, sang istrilah yang berperan sebagai pencakar kehidupan. Temanku itu pun hanya tersenyum. Dia menanyakan, apakah aku selama menikah dengan Lila sering-sering berderma kepada keluargaku atau orang lain?

Jelas saja aku menggeleng. Memang selama bujangan aku sering berderma, baik kepada keluargaku atau orang-orang miskin yang kutemui di jalanan. Namun setelah menikah, karena tuntutan hidup, aku melupakan sama sekali rutinitas berderma itu. Aku berpikir oranglah yang seharusnya berderma kepadaku, bukan malah sebaliknya.

Dia kemudian berbaik hati mempekerjakanku sebagai satpam di kantornya. Tapi dengan syarat aku harus sering berderma. Karena dengan berderma itu, Allah akan mengucurkan rejeki lebih dari yang kudermakan. Prinsip yang aneh dan menurutku tak masuk akal.

Tapi kujalani juga perintahnya. Setiap kali ada orang menadahkan tangan kepadaku, aku langsung memberinya sejumlah uang, meski itu bernilai sedikit. Anehnya, aku tiba-tiba merasa ada perubahan yang lebih baik. Langkahku selalu mujur. Rejeki malahan mendekatiku, bukan harus dikejar-kejar. Dari seorang Satpam aku sekarang menjadi staff logistik.

Aku bersyukur, ternyata petuah temanku tentang berderma itu memiliki bukti. Semoga ke depan derma-derma yang kulakukan lebih besar nilainya, dan mudah-mudahan kehidupanku lebih layak lagi. Lila tak perlu bersusah-payah lagi mencakar kehidupan demi membantu suaminya. Biarlah Lila mengurus rumahtangga dan sebagai suami aku adalah roda kehidupan mereka.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun