Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jam Malam

29 Juni 2019   15:44 Diperbarui: 29 Juni 2019   16:03 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Senja merapat. Jam tangan menunjukkan pukul enam tepat. Angin malam di dalam hutan, memaksaku pulang lebih cepat. Buruh-buruh tambang sudah turun semua. Masni menyuruh mandah. Sudah malam, katanya. 

Besok pagi-pagi aku bisa melanjutkan perjalanan. Bahaya jika jalan malam di hutan. Bisa bertemu babi, monyet dan hewan buas lain. Belum lagi harus berurusan dengan bajing loncat. 

Harta benda bisa terkuras. Syukur-syukur disisakan celana dalam, truk dan kunci kontak. Tapi, teringat Ratmi yang hamil tua, sepertinya aku tak bisa mandah. Tadi siang saja dia kata hamilnya sudah "nyakitin". Bagaimana kalau membrojol  tanpa seorang pun tahu? Padahal ini adalah kelahiran anak pertama yang sangat kami tunggu-tunggu hampir lima tahun.

"Basmalah saja, Pak Masni. Percaya Yang Di Atas." Truk menggerung. Masni menepuk-nepuk pundakku. Dia kemudian menggenggamkan sekotak sigaret plat merah, pun sejumput uang. Rokok bakal menemani perjalanan malam yang dingin. Uang sebagai sedekah bagi "Pak Ogah".

Truk merayap di jalanan licin sisa hujan tadi sore. Mata kulebarkan. Malam yang turun pelan, membuat pandanganku lamur. Hampir satu kilomter truk terkantuk-kantuk melewati tanah liat yang basah. Untung saja satu kilometer berikutnya aspal kasar menyambut. Aku menghidupkan irama Minang. Teringat Bunda yang sering menanyakan cucu, setelah sekarang dia sering diganggu asam urat dan insomnia. Sigaret plat merah mulai menemani. Aku bersenandung mengikuti irama Minang. Mudah-mudahan malam ini tak hujan. Meski jalan sudah diaspal kasar, tetap saja akan mengulah bila didera hujan lebat.

O, iya, aku belum Shalat Maghrib. Aku putuskan menjamak-qasar saja pada saat Shalat Isya di ibukota kabupaten. Irama Minang kuganti dengan Batak. Kemudian menggantinya lagi dengan dangdut. Karena tak ada yang sreg di hati, kumatikan tape. Malam semakin gelap, semakin sunyi. Gerangan apa yang dilakukan Ratmi? Apakah hamilnya semakin mengulah? Apakah dia sudah masak? Apakah sudah makan?

Saat pikiran berkelindan Ratmi, refleks aku menekan kuat pedal rem. Seorang perempuan keluar dari gelap dan menyetop truk. Manis juga, batinku. Aku memukul kepala karena pikiran kotor.

"Ikut ke batas ya, Mas." Dia langsung membuka pintu. Menyusul kepala-kepala mungil bersusun paku. Do, re, mi, pa, sol, la, si do. Tapi, kali ini hanya sampai sol saja. Dua yang besar-besar naik ke bak truk. Tiga lainnya duduk di kabin bersama perempuan itu. Oh, maksudku mereka berjumlah empat. Karena tadi aku tak menghitung dengan anak yang menggelendot sedang menyusu.

Kasihan, malam begini, kalau aku tak lewat, alangkah susahnya mereka harus menempuh perjalanan hampir tiga kilometer ke batas. Batas di sini maksudnya pertemuan jalan kampung dengan jalan provinsi.

Aku ingin berbincang dengan perempuan itu sekadar memaniskan mulut yang pahit, tiba-tiba aku teringat Masni. Dia pernah mewanti-wanti, hati-hati menerima penumpang di jalanan sepi, apalagi di hutan. Selain mobilku adalah truk, bukan angkutan desa, sering terjadi bencana di tengah jalan. Biasanya yang diumpankan adalah perempuan. Basa-basi ikut menumpang ke suatu tempat. Setelah truk berjalan sekian puluh meter, ada lagi calon penumpang,  laki-laki.

Saat si laki-laki di atas truk, mulailah operasi itu. Akan ada perdebatan alot karena si supir dituduh mengganggu penumpang perempuan. Supir tak diberikan kesempatan membela diri, kecuali seluruh harta benda dikuras habis. Syukur-syukur disisakan celana dalam, truk dan kunci kontak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun