Tengkukku berkeringat. Aku menyesal telah menaikkan penumpang perempuan itu dengan anak-anak bersusun paku. Seandainya aku tancap gas saja seperti undang-undang tak tertulis dari para supir kalau berada di wilayah sepi dan rawan, mungkin aku aman-aman saja. Sekarang apa yang harus kulakukan?Â
Menyuruh  perempuan anak-beranak itu turun, aku merasa kasihan, thus akan memperparah keadaan. Siapa tahu sudah ada laki-laki yang menunggu di antara rimbun gelap seorang-dua. Aku bisa dipermak habis.
"Mas mau ke mana?"
"Kota."
"Sering keluar-masuk hutan, ya?"
"He-eh."
Kembali aku refleks menekan kuat pedal rem. Tiga orang laki-laki menyetop truk. Mereka tanpa basi-basi meloncat ke bak. Matilah ini, matilah! Tanganku bertambah dingin. Seseorang berteriak dari jendela truk, menyuruh berhenti. Cecaran pertanyaan membuatku tak berkutik.Â
Uang jalan yang tinggal lima ratus ribu, berpindah tangan. Pakaian dan sepatu, plus kacamata hitam, ikut melayang. Hanya tinggal celana dalam, truk dan kunci kontak. Aduh, salah apakah aku tadi pagi? Sepertinya semua aman terkendali. Apakah karena aku menangguhkan Shalat Maghrib? Di kiri-kanan jalan kan ada selokan berair jernih, bisa kujadikan untuk berwhudu. Bumi Allah ini amat luasnya sekadar melaksanakan shalat.
"Mas, Mas, nggak dengar, ya?" +
Aku tersentak. Ternyata aku hanya membayangkan yang bukan-bukan. Perempuan itu menyuruhku berhenti. Sudah sampai batas. Dia mengucapkan sesuatu sambil turun dari mobil. Entah apa, aku tak perduli lagi. Tiga laki-laki beserta dua anak, melompat dari bak truk. Mereka mengucapkan sesuatu sambil turun dari mobil. Entah apa, aku tak perduli lagi.
Aku hanya mengelus dada saat berhasil melaksanakan shalat jamak-qasar di ibukota kabupaten. Tak ada lagi niat sekadar membeli panganan pengganjal lapar. Aku hanya ingin tiba secepatnya di rumah. Ya, Allah, terima kasih semua aman-aman saja.