Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cincin

20 April 2019   07:33 Diperbarui: 20 April 2019   07:51 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Pak Ramlan mengangguk. Langsung saja kuletakkan cangkir kopi di tanah. Kuraih topi pet yang tergantung di ujung lemari. Pak Ramlan menyoba menahan langkahku. Namun aku tak perduli. Meskipun ayah telah mengatakan berniat menikahi Maimunah lima bulan lalu, tapi menurutku itu hanya isapan jempolan. 

Secantik apakah dia, sehingga ayah nekat memperistrinya? Bukankah telah lebih sepuluh kali aku memergoki ayah mengeloni pelacur, yang rata-rata lebih cantik dan bahenol ketimbang Maimunah. Sepertinya aku tak menerima kenyataan ini.

Kudatangi rumah induk, di mana banyak buruh pengurus kuda-kuda sedang istirahat. Di teras rumah selintas terlihat bayangan Maimunah sedang melayani ayahku. Darah ini seketika menggelegak. Kupegang sepucuk pistol yang terselip di balik pinggang celana panjang.

"Ayah....." teriakku geram.

Ayahku seperti terpental ke lantai. Maimunah menjerit. Kejadian yang sangat cepat. Aku refleks menembak ayah sambil berteriak. Suasana gaduh. Buruh-buruh merubung. Sebagian menyekal lenganku. Sebagian memilih bergerombol dan memuji keberanianku menembak ayah. Sebab ayah adalah majikan yang otoriter. Terhadap para penjilat, dia sangat baik. Terhadap para pembangkang, dia bagaikan singa kelaparan.

Dalam keadaan teringkus, mata tertutup kain hitam, aku dibawa jauh dari peternakan. Kurasakan tubuh ini dibantingkan ke sebuah lantai besi. Kemudian terdengar derum mobil. Dari situlah aku sadar telah dimasukkan ke dalam  bak truk, dan akan dibawa jauh. 

Salah seorang yang mengawalku mengatakan mobil akan dijatuhkan ke jurang. Aku dibiarkan sendirian meregang nyawa, meninggalkan dunia yang penuh nista. 

Aku ketakutan. Aku berteriak. Berontak. Tiba-tiba seseorang merampas cincin di jemariku sambil tertawa.

* * *

Sekonyong aku tersadar masih berada di atas sepeda motor yang melaju sedang. Aku terkejut. Kulihat cincin bertuliskan Dedek di bagian dalamnya itu tak melingkar lagi di jemariku. 

Setiba di rumah Latief,  barulah perasaan bingungku sedikit reda. Tapi tetap saja tak bisa ditebak apa yang sebenarnya telah terjadi padaku. Tentang cincin, Dedek, Pak Ramlan, Tuan dan, ah.... 

Latief menyambutku di ambang pintu. "Dedek....?" 

Dedek? Bukankah namaku Rahmat Kawitang?

---sekian---

Palembang, 05 Desember 2007

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun