Dia ingin lebih sering menegur Mak Inayah. Â Sekali-sekali membentaknya. Hanya saja buat apa? Ramdhina melanggar sumpah susternya apabila membentak pasien. Sudah menjadi pilihannya menghadapi yang demikian. Kalau tak tahan, kenapa dari dulu dia mengambil sekolah perawat?Â
Begitupun bukan hanya Mak Inayah yang bertingkah kelewatan. Masih banyak Mak Inayah-Mak Inayah lain yang bersikap serupa. Untuk itu Ramdhina harus siap-siap makan hati. Siap-siap meredam emosi.
Ramnidha
Di situlah tempat Ramdhina. Di bawah kelap-kelip lampu pub. Di antara lelaki-lelaki hidung belang. Bau alkohol menyebar. Asap rokok menghalimuni ruangan seluas seratus meter persegi itu.
Orang-orang sudah tidur jam segini. Tapi seorang Ramnidha harus kuat bertahan menghadang ngantuk. Sekali saja dia merebahkan badan di kamar, maka bersiap-siaplah kehilangan pelanggan. Bersiap pula kocek tak terisi uang. Itulah dia terpaksa menahan-nahan kantuk. Sengaja menghalau gigil dengan mandi malam. Mengenakan pakaian paling bagus, paling seksi. Menyamarkan riap kantuk di mata dengan eyeshadow tebal.Â
Sungguh dia tak merestui dirinya terbangun di tengah malam buta. Tapi tak merestui sama saja membuatnya mati kelaparan. Sama saja membiarkan anaknya tak bersekolah di pulau nun di seberang sana. Jadi, tak apalah! Bermuka manis saja menyambut tamu. Pura-pura girang, meski hati melarat bukan kepalang.
Dhinaram
Lelaki ini sangatlah mencintai malam. Dia segera bergerak dari tempat persembunyiannya jika jam menunjukkan pukul dua belas lewat. Perlengkapan sudah disimpan acak-acakan di dalam karung goni. Tinggal membangunkan Kilan, sahabat kerjanya, kemudian keduanya mengendap-endap di belakang rumah penduduk.
Lelaki ini biasa dipanggil teman-temannya Dhinaram. Dari pagi hingga petang, kerjanya tidur melulu. Namun selepas maghrib, dia sudah bersedia dengan perlengkapan. Linggis, tang, pisau, gebukan kayu, kunci T, senter juga kain sarung.
Ketika mangsanya sedang tertidur lelap di tengah malam yang amat gelap, di situlah kesempatannya beraksi. Mencongkel engsel pintu dibantu Kilan. Mendorong kuat-kuat hingga pintu terkuak, lalu masuk ke dalam rumah sambil menyalakan senter. Sebelumnya mereka telah menyarungkan sarung di kepala. Mereka nyaris seperti ninja.Â
Pekerjaan mengasyikkan dan menghasilkan uang banyak. Begitu pun, Dhinaram sekali-kali tak pernah menyenanginya. Teramat banyak kenangan buruk yang dia peroleh.
Dia pernah dihakimi massa. Puluhan bogem menghantam wajahnya. Belasan sepak menghantam rusuknya. Beruntung dia bisa lepas oleh bantuan aparat yang menjebloksannya ke tahanan. Namun setelah bebas dari penjara, dia tetap maling. Bagaimana pun, dia tak memiliki keahlian selain maling. Kalau tak maling, istri dan anaknya mau makan apa?
Dia juga pernah mencium comberan kala dikejar massa. Bersembunyi di safety thank terbuka yang penuh tahi demi menghindari kejaran aparat.Â