Di sebuah kampung yang subur makmur, hiduplah dua anak kembar. Saat usia mereka dua puluh tahun, ayah mereka meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, ayah mereka mewasiatkan tanah yang di sebelah utara kampung menjadi milik Amang, si sulung. Sementara tanah yang di sebelah selatan diserahkan kepada Ujang, si bungsu.
Lima tahun berselang, Amang menikah dengan seorang wanita dari kampung seberang. Dia kemudian membangun rumah di atas tanah miliknya.Â
"Harusnya abang tinggal di rumah ini saja. Biar aku yang membangun rumah di tanah sebelah utara," kata Ujang membujuk Amang. Â
Amang tetap dengan rencana semula. Setelah rumah selesai, dia dan istrinya pun pindah ke sana. Sebagian besar tanah yang mereka miliki dijadikan persawahan. Demikian pula dengan Ujang, tanah yang di sebelah utara dia jadikan persawahan.
Padi di sawah kedua saudara kembar itu tumbuh subur. Â Beberapa bulan kemudian Ujang panen padi. Dia bertamu ke rumah Amang yang kebetulan saat itu juga sedang memanen padi.Â
"Selamat siang, Abang. Abang sedang memanen padi rupanya." Ujang memerhatikan orang-orang mengangkat karung ke dalam gudang.Â
"Nah, kebetulan kau datang. Nanti, setelah makan siang, Â bawalah beberapa karung padi untukmu," kata Amang.
Sesudah makan siang,  Ujang mengajak Amang ke halaman depan rumah. Beberapa orang menurunkan beberapa karung penuh berisi sesuatu dari gerobak kayu. "Apa ini?" Amang  memegang salah satu karung. "Ini padi. Untuk apa?" Amang memandang Ujang.
"Ini hasil panen padiku. Aku merasa tak enak dengan abang. Harusnya abang yang tinggal rumah peninggalan ayah. Jadi, ambillah sebagian padiku sebagai bagian abang atas rumah peninggalan ayah," jawab Ujang.
Kedua saudara kembar itu pun berdebat. Biasanya orang berdebat karena memperebutkan sesuatu. Kedua kakak beradik itu berdebat karena menolak sesuatu. Amang tak mau menerima padi pemberian Ujang. Sebaliknya Ujang juga tak mau menerima padi pemberian si abang.
"Abang lebih perlu padi ketimbang aku. Abang sudah mempunyai istri, dan sebentar lagi isti abang akan melahirkan. Tentu perlu biaya banyak." Ujang memberi alasan.