Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belenggu Ilmu Hitam

1 April 2019   14:36 Diperbarui: 1 April 2019   15:10 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Tahun  2002

Ruangan pengap. Asap dupa berkesiur. Menebarkan bau menyengat. Lelaki jangkung di depanku duduk bersila. Dia menanyakan apakah aku memang sungguh-sungguh ingin mendapatkan ilmu kebal? Kujawab saja, iya, meski ragu.

Sebenarnya lelaki itu adalah kenalan baruku di sebuah dusun di mana aku ditempatkan sebagai bagian keuangan proyek perusahaan. Dia orangnya ramah, dan jago mijat. Entah karena apa, ketika dia sedang memijatku, dia menanyakan apakah aku pernah menjalani ritual mencari ilmu ghaib; misalnya ilmu kebal. Aku menjawab dengan gelengan sebagai pertanda aku memang tak pernah bersinggungan dengan dunia ghaib dan mistis-mistis. Bukannya anti, melainkan aku belum bertemu "jodoh" ahli ilmu ghaib. 

Saat mendengar kata-kata ilmu kebal, langsung terbuka niatku. Dusun tempatku bekerja kurang kondusif. Sering sekali warganya bertengkar, berkelahi, sampai saling melukai. Apalagi sebagai bagian keuangan, aku butuh pengamanan diri. Tanpa pikir panjang kukatakan berniat mempelajari ilmu kebal.

Lelaki itu, sebut saja namanya Ikram, mengakui sudah mendalami ilmu kebal belasan tahun. Dia memiliki pendamping seorang Nyai (makhluk halus) yang sewaktu-waktu datang mengunjunginya. Nyai itulah yang memberikannya ilmu kebal, ditambah ilmu-ilmu lainnya. Ikram jujur, bahwa meski memiliki alam yang berbeda, mereka sama saja lelaki dan perempuan.  Sudah barang tentu setiap pertemuan, mereka melalukan hubungan badan layaknya suami-istri. Untuk perkara itu bagiku tak masuk akal. Aku juga tak ingin bersua Nyai. Aku hanya ingin memiliki ilmu kebal.

"Baiklah! Kalau kau memang tak ingin bersua Nyai, tak apa-apa. Sementara ini biarlah aku yang memberikan ilmu kebal itu kepadamu. Namun sewaktu-waktu bila kau memang ingin memiliki kedigjayaan lain, tak ada salahnya kau mulai bersahabat dengan Nyai." Dia segera mengatraksikan bagaima sebilah pisau disayat-sayatkan ke lengannya. Aku menjerit tertahan. Namun di tangan Ikram sama sekali tak ada bekas besetan pisau, apalagi sampai terluka.

Gila! Pesyaratan untuk menjalani ritual ilmu kebal itu membuatku terperanjat. Dia menyuruhku membelikan sesisir pisang raja, telor ayam kampung dua butir, minuman saparilla, serta sekam padi. Karena sekam padi susah kudapatkan, maka dia rela mencarikan untukku sekalian menyiapkan kemenyan.

Hawa bertambah pengap. Suara lolongan anjing bersahut-sahutan. Gerimis membesar. Aura mistis semakin mencengkeram, sehingga membuatku menciut. Ikram langsung menepuk lenganku. Aku dilarang takut. Aku harus kuat. Suasana malam yang menyeramkan itu, menurutnya cocok untuk melaksanakan ritual memperoleh ilmu kebal.

Sebuah mug besar dipindahkan Ikram dari samping ke  hadapannya. Pisang raja dikupas tiga buah. Ditumbuk menggunakan potongan kayu berujung pipih, sampai hancur lumat-lumat. Kemudian dipecahkannya dua butir telor ayam kampung. Hanya bagian kuningnya yang diambil, kemudian dicemplungkan ke dalam mug. Sebentar diaduk-aduk menggunakan potongan kayu itu. Lalu giliran saparilla memandikan seluruh ramuan. Terakhir sekam padi dimasukkan, yang membuatku mendelik. Dalam pikirku, mungkin sekumpulan isi mug itu hanya digunakan untuk mandi. Nyatanya dengan tegas Ikram menjawab, bahwa tak ada acara mandi-mandi dalam ritual itu. Aku harus meminum seluruh isi mug yang diadonnya. Sampai tuntas!

"Kalau pisang raja, telor, saparilla, saya bisa meminumnya. Tapi bagaimana dengan sekam padi? Ayam saja tak mau memakannya!" Aku menatapnya lekat-lekat. Hawa panas menyergap. Aku gelisah. Kata Ikrman Nyai hadir. Dia marah aku banyak cing-cong. Seketika mataku jelalatan melihat seluruh isi ruang. Aku merasa Nyai sedang menatapku dari atas kasur dengan mata yang mencorong merah. Bulu kudukku berdiri.

"Kamu masih ingin ilmu kebal, tidak?" Ikram mulai kesal.

"Masih!" jawabku. Ikram menyorongkan mug ke hadapanku. Aku bagaikan melihat magma di kepundan gunung berapi. Bagaimana mungkin aku sanggup menikmati minuman itu? Sekam-sekam bisa sangat tajam menjalari kerongkongan. Kalau tiba-tiba sekam menggumpal di pangkal kerongkongan, aku bisa mati!

Seolah tahu dengan arah pikirku, Ikram mengatakan tak akan ada masalah yang berarti bila aku meminum seluruh hidangan di mug. Dia telah memantra-mantrainya, agar tak menimbulkan masalah bagiku. "Bila tak yakin, lebih baik kamu mundur!" Ikrman menyudutkanku.

Aku mengangguk yakin. Isi mug itu memasuki mulutku. Bergerombol menyentuh pangkal kerongkongan. Terasa sekali sekam padi menjalar. Aku merasa akan tersedak. Tapi Ikram memberi penangkal, secangkir air putih demi melancarkan ramuan itu mencapai lambungku. 

Begitulah sedikit demi sedikit ramuan kunikmati dengan sangat terpaksa. Baru dua pertiga yang mengisi lambung ini, aku hampir muntah. Ikram mengatakan, jadilah. Kemudian dia merapikan seluruh perangkat ritual itu. Dia memberikanku secarik kertas berisi mantra-mantra yang harus kubaca lima ratus kali hingga shubuh. Setelah itu dia pamit.

Tinggal aku sendirian di kamar. Penghuni mess kebetulan pulang ke kampung masing-masing. Aku merinding. Secarik kertas berisi mantra itu, semakin membuatku merinding. Aku membacanya sebaris. Suasana ruangan langsung terasa dingin. Apakah ini hanya perasaanku saja? Kubaca dua baris, tiba-tiba seperti ada yang menggoyang-goyang tirai jendela. Ah, mungkin angin yang mengempas-hempas dari luar sana. Hujan toh bertambah deras. Baris ketiga, tiba-tiba perasaanku tak enak. 

Baris pertama dan kedua memang mantra yang diambil dari kalimat di Al Qur'an. Baris ketiga berubah menjadi mantra berbahasa Jawa. Demikian pula baris keempat hingga tujuh. Lagi pula kata-kata yang tercantum di situ bagaikan aku meminta perlindungan kepada makhluk lain. Bukan kepada Allah SWT. Apakah itu bukan perbuatan syirik?

Aku teringat ayah-emak yang telah memberiku pendidikan agama sejak kecil. Bagaimana mungkin setelah dewasa dan bekerja di sebuah perusahaan, tiba-tiba aku menghancurkan jerih-payah mereka demi menghamba kepada bangsa jin? Ya, Allah betapa maksiatnya diri ini.

Kuputuskan membakar secarik kertas berisi mantra-mantra itu. Aku melupakan seluruh kejadian yang membuatku hampir menjadi musyrik. Sementara besoknya, Ikram langsung memutuskan hubungan persahabatan kami. Dia mengetahui hatiku telah membelot.

Enam tahun berselang, dan aku sudah menikah, kenangan itu tak lagi membekas di benakku. Hanya saja, entah karena ritual aneh itu, sejak aku memutuskan kembali menjadi hamba Allah yang setia, kepalaku sering pening. Kuminumkan saja obat pereda pening, dan berhasil sembuh. Hanya saja dua atau tiga hari kemudian, kambuh lagi. Begitulah terus menerus. Hingga ketika setahun menikah, istriku mengajakku bertemu seorang pintar. Dia ingin mengetahui apa penyebab aku sering pening.

Dan betapa malunya diri ini. Aku tak sanggup menatap mata istriku. Si orang pintar mengatakan bahwa rasa pening yang kurasakan berkala itu, mutlak karena aku pernah mempelajari ilmu hitam. Ilmu yang hanya setengah jadi kujalani, akhirnya menjadi bumerang buat diriku sendiri. Ilmu hitam itulah yang tersangkut di dada sebelah kiriku, sehingga sering membuatku pening. Sarannya aku harus shalat tobat dan membaca Al Qur'an secara rutin. Mudah-mudahan Allah SWT memaafkan perbuatanku yang nista.

Saat itu istriku hanya bisa berkata, 

"Mas?!?!?!"

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun