Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Gang Rampok

10 Maret 2019   12:58 Diperbarui: 19 Maret 2019   18:15 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

Pertama kali menginjakkan kaki di Gang Rampok, kukira tempat itu tentulah dipenuhi orang yang berprofesi sebagai rampok professional atau paruh waktu. Aneh juga, gang kok dikasih nama rampok. Apa tak ada nama lain seperti Suka Kasih, Truwulu, Damai, Adem Ayem, Makmur? Sudah gila barangkali sesiapa yang pertama kali menabalkan nama gang itu. 

Tapi lupakanlah tentang nama yang membuat rusuh hati. Lebih penting menyikapi istriku yang kala itu sedang ngedumel. Mulutnya mungkin lebih runcing dari mata panah. Mobil bak terbuka yang mengangkut barang pindahan kami, berjalan seperti sapi ngamuk. Beberapa barang pecah-belah bernasib na'as. Salah satu celengan ayam kesayangan istriku, ikut remuk. Bergelimpanglah koin-koin dan uang kertas lusuh dari dalam tubuh celengan ayam yang tewas itu.

"Sudah sewanya mahal, mobilnya jalan awut-awutan! Sial!" Ucapan istriku semakin tajam.

Barang pindahan beralih tempat dari bak terbuka mobil ke sebuah rumah sewaan berhalaman sempit. Mata si sopir seperti salah-tingkah. Dia mungkin ingin marah mendengar istriku merepet terus. Tapi demi menerima pembayaran ongkos dariku yang melebihi permintaannya, marah itu disimpannya rapi dalam hati.

"Nama gang kok rampok!" gerutuku asal-asalan setelah si sopir dan mobilnya susah-payah menghilang di ujung gang. Sebagai, katakanlah penemu rumah sewaan itu, istriku menanggapi dengan mendelik. Dia memelototi barang-barang yang menggunduk di ruang tamu. Penanda bahwa dia tak ingin bertele-tele. Sementara dia menyiapkan minuman untuk kami sekeluarga, aku harus berjibaku menempatkan seluruh barang pindahan ke tempat yang cocok.

***
Ternyata aku salah besar. Malam pertama bertandang ke rumah Pak Rt sebagai perkenalan warga baru, aku tak menemukan apa-apa untuk mencurigainya sebagai rampok profesional atau paruh waktu. Pak Rt menyambutku dengan ramah. 

Minuman dan panganan ringan, melengkapi keramahannya. Belum lagi istrinya yang cantik kemayu, membuat cengkerama menjadi sangat akrab. Itu pula yang membuat istriku menyusul. Dikiranya aku betah karena melihat istri Pak Rt. Namun rasa cemburu yang membakar matanya, musnah setelah istri Pak Rt memberinya segudang cerita. Alih-alih mengajak pulang, sampai aku terkantuk-kantuk dan Pak Rt menguap lebar-lebar, keduanya masih saja berselancar dengan gosip bertalu-talu.

Kucoret nama Pak Rt dari hati. Dia bukan orang yang pas disebut rampok atau menyamai itu. Apalagi istrinya. Apalagi anak-anaknya. Ah, manalah pula seorang rt merangkap rampok.

***
"Selamat pagi, Pak? Tetangga baru, ya? Maaf saya baru bisa menyapa Bapak. Soalnya saya jarang keluar rumah. Sepulang kerja, saya lebih betah bercengkarama dengan anak istri." 

Pagi pertama menjadi warga baru Gang Rampok, tetangga sebelah rumahku yang berpakaian olah raga dan mengenakan peci haji, menyapa.

"Pagi juga, Pak! Saya juga minta maaf karena belum sempat bertandang ke rumah Bapak. Kerja di mana, Pak?" Sebenarnya ini pertanyaan jebakan. Aku hanya ingin melihat kilatan kebohongan di matanya. Misalnya dia memang rampok, tapi mengaku polisi, matanya akan menunjukkan kebohongan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun