Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benda Itu

1 Maret 2019   09:09 Diperbarui: 1 Maret 2019   09:27 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah benda kecil di kamar mandi membuatku hampir terpeleset. Aku memiringkan kepala. Mataku melotot. Benda kecil itu segera kuambil. Setelah melilitkan handuk di pinggang, aku membawa benda kecil itu keluar dari kamar mandi. Apalagi yang kulakukan kecuali membuang kesal. Aku memukul-mukulnya dengan palu sampai gepeng, kemudian melemparkannya melalui jendela kamar tidur, yang entah hinggap ke mana tiada kuperdulikan lagi.

Sial! Pagi yang mengesalkan! Tadi, setelah terlambat bangun, aku tak menemukan sarapan di meja makan. Terlebih-lebih seisi rumah seakan menghilang ditelan bumi. Istri, anak, bapak dan ibu mertua, entah sebab apa sudah pergi melancong. Tapi siapa yang mau disalahkan? Tadi, menjelang shubuh, aku memang sudah dibangunkan istri. 

Dia mengguncang-guncang badanku. Mungkin kesal, dia pergi sambil merutuk. Kemudian anakku menyusul menarik-narik bulu kakiku. Aku membentaknya. Selanjutnya hening. Tak ada lagi yang menggangguku hingga matahari yang tajam menyengat wajah ini.

Ah, mungkin Ir---rekan kantorku---sudah berangkat duluan ke kantor. Siapa pula yang sanggup menunggu sampai pukul delapan begini? Ir yang mempunyai motor, tentu saja berhak meninggalkanku.

Benar saja, pintu rumah Ir telah tertutup rapat. Aku terpaksa menyetop bis kota yang sarat muatan. Bau keringat menjejali hidungku. Sumpah-serapah, gerutuan, keluhan, teriakan, memenuhi gendang telingaku. Sekali lagi pagi yang mengesalkan! 

Bahkan ketika kakiku melangkah di teras kantor, kekesalan demi kekesalan seolah mengejarku. Satpam yang tengil melihat jam tangannya. Meskipun tak menegur, aku tahu dia ingin sekadar mengejek. Menyusul kepala personalia memanggilku. Rasanya ratusan huruf tak mengenakkan dari mulutnya, harus diterima telinga ini. Dia mengeluarkan surat indisipliner sebagai upah keterlambatanku. Surat peringatan pertama setelah hampir dua tahun aku bekerja di perusahaan ini.

Apakah kekesalan demi kekesalan itu berhenti? Tidak! Pekerjaan menumpuk kemudian menggerogoti isi kepalaku. Jam makan terpaksa kulakukan sekitar pukul dua siang. Bos pun mengomel karena aku lambat bekerja dan cukup teledor. Ya, Allah, kuatkanlah hatiku.

Ahai, pukul lima sore! Meskipun hati masih kesal, pekerjaan menumpuk di kantor telah kelar. Aku membonceng di motor Ir. Dia membelok ke arah yang berlawanan dengan gang rumah kami. Sepinggan martabak kuah kari menjadi hidangan terbaik untukku, juga semangkok sop buah. Ir beroleh rejeki. Dia meneraktirku.

Habis maghrib aku tiba di rumah. Kunci rumah yang kutitipkan ke tetangga, ternyata belum ada yang mengambil. Ke mana sebenarnya orang-orang di rumahku? Apa semua minggat dan tak kembali lagi? Beruntung Ir meneraktirku, sehingga ketika menatap meja makan yang kosong dan dingin, perut ini tak berontak. Aku rebahan sebentar di sofa. Shalat maghrib sengaja kulewatkan karena rasa capek alang- kepalang.

"Mas!" Tiba-tiba istri menjerit di ponselku. Aku yang barusan menggerutu mendengar ringtone, semakin menggerutu.

"Ada apa? Kamu pergi dari rumah tak bilang-bilang!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun