Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Lintah

26 Februari 2019   23:51 Diperbarui: 27 Februari 2019   00:05 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah datang darimana, tiba-tiba aku menemukan beberapa ekor lintah di lantai ruang tamu rumah. Mungkinkah ini perbuatan Esti yang memang senang mengumpulkan hewan-hewan menjijikkan? Seingatku Esti telah membuatku sering berang. Membuatku berulang-ulang merinding geli, bahkan mual. Sekali waktu dia memasukkan belalang ke rumah. Sekali waktu menyimpan beberapa ekor cacing di stoples bekas permen.

Sering kali dia membawa sekumpulan lipas atau semut hitam, kemudian dibuatnya rumah-rumahan dari kertas di atas tempat tidurnya. Alamak! Adapula tabiat aneh anak seperti dia. Anak teman-temanku sepertinya waras semua. Mereka takut atau geli pada hewan-hewan seperti itu. Mereka lebih memilih berteman dengan kucing misalnya.

Segera kubuka sepatu dan memukul seekor lintah. Lintah itu gepeng, berkelojotan sebentar, kemudian mati. 

Awas, ya, Esti akan kukasih pelajaran! Biar kupukul tangannya dengan rotan. Dasar anak bengal! Dia tak tahu teman-teman sekantorku akan kumpul di rumah ini malam nanti.

Sebenarnya sepulang kantor aku ingin menemui istriku di dapur. Mungkin dia sedang memasak panganan buat kumpul-kumpul bareng teman-temanku itu. Tapi kali ini tidak! Setelah lintah-lintah itu kubuang ke selokan depan rumah, aku berubah seperti sang kapten yang akan menginterogasi seorang bromocorah. Aku menendang pintu ruang tengah yang terhubung dengan dapur. Di situ istriku sedang mengadon tepung dengan bahan-bahan lain. Dia sontak terkejut. Matanya mendelik seperti mata hantu. Sebagian wajahnya bertepung.

"Ada apa pulang marah-marah?" geramnya. Dia memunggungiku. "Kalau macam-macam, batal kubuat panganan untuk teman-temanmu." 

"Siapa yang membawa lintah ke ruang tamu? Estikah? Biar kuhajar tangannya dengan rotan. Biar kuikat dia di kamar mandi."

"Bisamu hanya begitu, Pak! Menghukum dan menghukum anak. Salah apa sih dia?" Istriku membanting panci adonan berisi tepung yang sudah mengental dengan bumbunya. Panci itu menyentuh lantai dengan bunyi berkelontang. Percikan-percikan adonan  berubah laksana peluru yang ditembakkan serampangan.

Apa katanya? Bisaku hanya menghukum anak? Apa Esti itu tak kurang ajar? Apa Esti itu waras? Meski berulangkali dihukum, dia tetap berbuat kesalahan sama. Selalu membawa hewan-hewan yang kubenci masuk ke rumah. Aduh, kemana pula anak itu? Tanganku sudah gatal ingin memukulkan rotan ke telapak tangannya.

 "Tak boleh begitu sama anak," nasihat Olin, teman kerjaku, ketika suatu hari aku mengeluhkan tabiat Esti kepadanya. "Kalau terlalu kasar, nanti dia trauma. Kelak dia bisa menjadi penakut, atau bisa jadi kehilangan kepercayaan diri."

"Tapi kelakuannya itu, Lin!" geramku. Asap rokok pekat menyamarkan pandanganku dari wajah Olin yang oriental. Nah, masalah rokok sering pula menimbulkan pertengkaranku dengan Esti. Dia paling tak setuju aku mengotori rumah dengan asap sialan itu. Bukan karena dia menjadi sesak bernapas dibuatnya. Melainkan dia hanya membela ibunya. Ibunya mengidap penyakit asma, dan paling alergi terhadap yang namanya asap. Istimewanya asap rokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun