Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mahkamah

19 Februari 2019   14:41 Diperbarui: 19 Februari 2019   15:59 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jantungku terasa hampir copot saat kepala pengadilan negeri kota memintaku menjadi ketua hakim di sebuah sidang kasus korupsi. Penyebabnya bukan karena aku belum pernah mengadili para koruptor, melainkan ada sesuatu yang tak mengenakkan kalau aku harus menangani kasus yang satu ini. Tetapi menolak permintaan bapak kepala, adalah mustahil. Selain sebagai bos di pengadilan, dia juga merangkap mertuaku. Lagian sungguh tak pantas bila seorang hakim sepertiku, yang sudah malang-melintang menyelesaikan beragam kasus pidana, dengan fakta selalu berakhir sukses, harus menolak kasus korupsi yang terbilang kecil. Hanya masalah mark up belasan juta Rupiah atas pembangunan wc umum di Pasar Becek.

"Baiklah, aku segera menanganinya, Pak!" jawabku ragu. Dia tersenyum sambil menepuk-nepuk bahuku. Dikatakannya, dia sangat mengandalkanku di pengadilan. Maka itu, dulu dia tak neko-neko ketika aku melamar putrinya.

Keluar dari ruangan sang kepala, keringatku mendidih. Waktu untuk menangani persidangan itu taklah memakan waktu cukup lama. Tinggal dua hari lagi. Saat itu aku harus menjatuhkan vonis, setelah matang membaca seluruh dakwaan, serta tuntutan jaksa penuntut umum. 

Ya, sesungguhnya di dalam kasus ini, aku muncul di akhir. Sebelumnya perkara ditangani oleh ketua hakim lain. Berhubung si ketua hakim ada "permainan uang" dengan terdakwa, akhirnya si ketua tersebut distop menangani kasus ini. Itu artinya, campurtanganku akan menimbulkan dua sisi mata pisau. Bila persidangan diselesaikan dengan jujur dan sukses, maka yang mendapat pujian adalah aku. Bukan ketua hakim sebelum aku. Berbeda bila persidangan diselesaikan dengan kebohongan dan gagal, maka tumpuan cercaan satu-satunya adalah diri ini. Tapi sungguh, aku mengharapkan semuanya berjalan sesuai harapan.

"Hai, Pak Nasution!" Ramadhan mengejarku. Dia adalah seorang hakim senior yang berumur senior. Kemenanganku atasnya hanya satu, jam terbang lebih tinggi, sehingga dia selalu mengikuti gerak-gerikku di pengadilan. Entah ingin mencontoh sikapku menyelesaikan setiap kasus persidangan yang selalu berakhir sukses, atau hanya ingin mencari kelemahan dan menjatuhkanku, aku sendiri tak tahu. Aku hanya menganggapnya iri. Justru itu, aku selalu berusaha menghindarinya, kecuali kali ini. Sebab dia adalah salah seorang hakim anggota yang mengawalku menyelesaikan kasus korupsi dua hari ke depan. Tentulah aku tak layak bermusuhan dengannya, kecuali aku ingin persidangan berakhir buruk.

"Ada apa?" tanyaku. Aku berjalan menuju kantin. Segelas kopi susu dan cemilan kecil, barangkali dapat meredakan jantungku yang berbunyi dag-dig-dug.

Ramadhan mengekor tanpa berniat menjawab. Kami sama-sama mengambil tempat duduk di sudut ruangan kantin yang berseberangan dengan kolam ikan. Setelah pesanan kami dihidangkan pelayan, barulah Ramadhan mengatakan tujuannya memanggilku. 

"Kabarnya bapak yang mengambilalih penyelesaian kasus korupsi Pak Sahmardan," tembaknya langsung, sehingga membuatka sesaat tersedak.

"Darimana bapak tahu?" kejarku.

"Tembok di pengadilan ini memiliki telinga dan mulut. Semua info sekecil apapun, akan sedemikian cepat menyebar." Dia menikmati secangkir teh. "Jadi, bapak tak usah heranlah." Dia tertawa. Aku hanya mengangguk dengan hati yang memanas.

"Tapi," lanjutnya, "Kali ini penampilan bapak lain dari biasanya. Kalau berhasil mengambilalih sebuah kasus di persidangan dari tangan ketua hakim yang tak becus, bapak biasanya langsung bersemangat. Tapi sekarang kok lain? Bapak kelihatan berkeringat. Mata bapak bergerak tak teratur. Bibir bapak juga memucat. Apakah menurut bapak kasus yang segera kita tangani cukup berat? Tapi nominal korupsinya sangat kecil. Apa yang mesti dicemaskan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun