Aku tertunduk, kemudian tertawa terbahak-bahak. Suamiku itu mendelik. Dia benci karena aku seperti menganggap persoalan sedemikian remeh.
"Oh, jadi ini masalahnya sampai papa uring-uringan? Papa ini lucu. Papa lupa ya kalau aku ini seorang wartawati dan penulis? Surat-surat cinta itu rencananya akan kususun  menjadi novel berjudul Surat Cinta.  Ah, kenapa sih, papa tak mau berterus-terang jika ini penyebabnya?"
"Novel berjudul Surat Cinta?"
Dia tersipu. Dia merengkuh bahuku, dan meminta maaf. Dia berjanji tak akan pernah lagi memendam syakwasangka di dalam dada. Semua harus terus terang. Semua harus terang terus seperti cinta kami yang menyala-nyala.
---sekian---