Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Taman Senja

12 Februari 2019   16:15 Diperbarui: 12 Februari 2019   16:25 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Taman itu masih sangat sepi ketika pertama kali aku senang duduk-duduk di bangkunya. Aku bebas menerima berkah matahari senja, dan melihat semburat jingganya sangat perlahan lesap di balik Bukit Siojo. Aku juga leluasa melihat capung, rama-rama dan burung merpati beterbangan. Terkadang ada anjing melintas, melihat ke arah capung, rama-rama dan burung merpati. Tapi, dia segera berlalu dengan mendengus-dengus. Berbeda bila kucing yang melintas, maka byar! 

Seluruh hewan-hewan bersayap itu menghambur jauh. Kucing memang tertarik kepada mangsa seperti capung, rama-rama dan burung merpati. Itulah yang membuatku buru-buru mengambil batu untuk melempar hewan nakal itu. Atau meraih ranting demi menakut-nakutinya. Sampai suatu senja, seekor kucing bermata besar dan berbulu lebat datang tanpa berniat menjadi pengganggu. Dia duduk di sebelahku. Semakin dekat, semakin merapat. Dia sepertinya senang menikmati suasana taman ketika senja jatuh. Aku menjadi iba. Kami pun akrab, dan aku mulai senang memangku dan mengelus-elus punuknya.

Tapi beberapa hari ini, ada yang tiba-tiba mengganggu ketenanganku di taman berdua kucing yang kupanggil; Manis. Orang-orang yang sebelumnya lebih senang mendekam di rumah masing-masing sambil menonton televisi dan mengemil, tiba-tiba ikut meramaikan taman.

Seharusnya aku bahagia. Aku bisa memiliki teman menikmati taman dan senja selain si Manis. Sayang, tingkah pengunjung-pengunjung baru itu, membuat napasku sesak. Mereka sengaja membawa tikar pandan, lalu selonjoran anak-beranak. Mereka membawa panganan, minuman, bahkan alat-alat musik. Celotehan mereka bising. Anak-anak mereka nakal sangat, sibuk mengejar capung. Menangkap persis di ekornya. Mengikat ujung ekor dengan benang layangan. Lalu mengibaratkan capung-capung serupa layang-layang. Ketika lelah, capung mati. Lalu diserbu kucing-kucing liar---kecuali si Manis--untuk santapan senja.

Rama-rama ditangkap dengan kantong plastik yang bagian mulutnya dibuka lebar. Rama-rama mengertap-ngertap ketakutan. Warna-warna bulunya berhamburan, dan lengket di kantong plastik. Anak-anak menjerit kesenangan. Akhirnya rama-rama lelah, mati. Senasib dengan capung yang telah mengisi perut kucing-kucing liar.

Burung-burung merpati digalah, dilempar batu. Diberi makan remah-remah roti, kemudian berhampur setelah dikejutkan anak-anak itu. Belum lagi sampah yang berserakan. Muda-mudi yang mengambil kesempatan untuk bercinta, dan segalanya hingga membuatku muak.

Akibatnya menjelang senja ini, aku tetap bertahan di rumahku. Entah si Manis sudah menunggu di taman, aku sendiri tak tahu.

"Tidak ke taman, Pa?" Mardi, anak sulungku yang tiba dari Ambon tadi pagi, mencoba mencairkan suasana. Mungkin dia merasa tak enak, sebab ketika telah menjejakkan kaki di ruang tamuku, dia hanya menyapaku sekilas. Menarik lengan dan mencium sayang di  punggung tanganku. Selanjutnya dia mengeluarkan labtob dari tas ransel. Meletakkannya di atas meja. Menghidupkannya, sampai dia berubah kaku serupa arca.

Dia seorang penulis. Hidupnya dari menulis. Beberapa buku pemberiannya di rak, sudah penuh. Beberapa tak pada posisi yang benar. Tapi, dia tak memperhatikannya, sama seperti bersikap kepadaku.

Ketika imajinasinya liar, dia tak mau diganggu. Aku memahami itu sejak kegilaan menulis Mardi muncul saat dia duduk di bangku kelas lima esde.

"Malas saja Papa ke sana! Terlalu ramai sekarang," gerutuku. Kuambil sebatang rokok. Menyalakan, lalu menghisapnya dalam-dalam. Kalau tak ada Mardi, aku tak hendak merokok. Tapi, dia perokok berat, sehingga aku tergoda, meski setelah itu, asmaku bisa kambuh.

"Nah! Merokok lagi!"  Dia protes. Aku menjawab dengan dengusan. Menghirup sedikit sisa kopinya di gelas. Lalu duduk di sebelahnya.

"Kau yang menggodaku!" geramku. Dia tertawa karena aku hanya pura-pura marah. Meski suka berdebat, dialah yang tak mau melarang setiap keinginanku. Misalnya masalah merokok, paling dia menegur sedikit. Selebihnya dia hanya mengajakku memperbincangkan yang lain. Yang segar-segar. Berbeda betul dengan dua abangnya. Setiap sempat berkunjung ke rumahku, mereka selalu memekakkan telinga ini.

Ocehan-ocehan keduanya berhamburan. Tentang kamarku yang kotor. Tentang baju-baju bergantungan. Juga kebiasaanku pergi ke taman ketika senja tanpa teman. Padahal di rumah ada pembantu. Seharusnya kamarku bersih, rapi. Seharusnya pembantu menemaniku ke taman. Kalau aku ke taman sendirian, lalu terjadi apa-apa, siapa yang dapat menolong?

Itulah yang membuatku bosan kepada dua abang si Mardi. Perkara ke taman sendirian, memang kehendakku. Perkara kamar kotor dan baju-baju bergantungan, hanya tersebab aku belum sempat memberihkan dan meletakkan baju-baju itu ke keranjang cucian. Menyuruh pembantu aku tak hendak. Kalau dibantu semua, aku tentu tak ada gerakan. Kondisiku akan lebih cepat soak, pikun, kemudian hanya bisa tiduran di kamar dan harus dibantu segalanya termasuk berak dan kencing. Memalukan!

"Mungkin aku bisa menemani Papa ke taman. Rasanya kangen. Sekalian mencari.... Hahaha!"

"Aku sekarang benci ke taman!"

"Kenapa?"

Kuceritakan tentang para pengunjung yang tak tahu berterimakasih itu. Mereka telah menggangguku menikmati semburat matahari senja yang diam-diam lepas di balik Bukit Siojo. Ya, dengan celoteh mereka, dengan sampah-sampah, dengan gangguan terhadap hewan-hewan. Ah, kalau saja orang-orang itu lebih senang menikmati siaran televisi di rumah masing-masing, tentu tak harus begini jadinya.

"Tapi mereka juga memiliki hak pergi ke sana. Taman disiapkan pemerintah demi orang banyak. Jadi, Papa tak bisa protes, dong!"

"Ya, aku sebenarnya tak ingin memerotes. Hanya saja, perbuatan mereka menimbulkan ketaknyamanan. Bagaimana mungkin taman bisa utuh bersih bila orang-orang sedemikian tak bertanggungjawab terhadapnya," geramku. Kali ini aku benar-benar geram.

"Ya, sudah, Pa! Kalau memang tak ingin ke sana, aku akan pergi sendirian. Ada bisnis soalnya!"

"Bisnis apa?"

"Aku menjadi penulis naskah film dokumenter tentang daerah kita. Siapa tahu investor melirik dan ingin memajukan daerah ini setelah menonton filmnya. Nah, salah satu lokasi syuting, adalah di taman itu. Bagaimana, Pa? Bagus, kan? Anak Papa naik pangkat dari penulis novel menjadi penulis naskah film."

"Peralatan dan anggotamu kan tak ada?"

"Semua diinapkan di hotel. Maaf, aku baru membicarakannya sekarang dengan Papa."

Mardi langsung melesat pergi tanpa bisa kucegah. Hatiku mendadak sakit. Aku takut kedatangan Mardi dan kru-kru film lainnya, bisa membuat taman itu bertambah sumpek dan jorok. Bagaimana mungkin pengambilan film di situ tak sampai merusak taman? Aku yakin, taman akan amuradul.

Orang-orang haus hiburan. Pengambilan film tentu menjadi sebuah tontonan, sekaligus berharap bisa tertangkap kamera. Bisa terkenal! Kaki-kaki nakal akan merubung. Berhimpit-desak sampai napas dan keringat bau menyengat tepat di hidung. Usai itu, semua bubar. Pasti tak akan ada yang berniat membersihkan dan merapikan taman. Termasuk, mungkin, Mardi dan teman-teman filmnya.

Tersebab itu aku merasakan tubuh mengigil. Asmaku kambuh. Tapi aku tak ingin menyalahkan rokok yang baru kuhisap setengah. Maksudku setengah bungkus. Setelah kepergian Mardi, aku berbas-bus sendirian di rumah berteman novel-novel. Sekadar melupakan taman serta kejadian buruk yang akan menimpanya.

Maka ketika malam harinya Mardi tak menginap di rumah, aku tak perduli lagi. Tak kukatakan bahwa asmaku kambuh. Dia tak usah pusing, karena persediaan obat masih ada di bawah bantalku.

Demi membunuh sepi, aku keluar ke halaman depan rumah. Di situ kulihat Mami, perempuan tua tetanggaku. Kami senasib, sama-sama lajang lapuk. Dia menjanda sudah sepuluh tahun. Cukup awet untuk tak berniat berumahtangga lagi. Sedangkan aku menduda baru setahun. Begitupun hatiku mati kepada setiap perempuan. Termasuk kepada Mami, yang kerapkali dijodohkan anak-anak denganku.

"Tak ke taman senja tadi, Ang?" Dia menatapku malu-malu.

"Malas! Lebih enak di rumah." Aku berdiri di belakang pintu pagar. Memegang ujung-ujungnya yang runcing.

"Kabarnya Mardi membuat film di sana. Orang-orang ramai. Berjubel. Aku diajak Rahayu. Kau kenal Rahayu, kan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk, meski sama sekali tak mengenal perempuan itu. "Itu lho, janda yang tinggal di kaki Bukit Siojo. Tapi aku malas. Bisa-bisa aku terjepit keramaian orang. Bagaimana pula tak ramai, pengunjung dari kabupaten datang. Ada dangdutan juga. Hmm, tapi malam ini mungkin sudah sepi."

Hatiku trenyuh. Taman itu, ah...kasihan. Aku mengambil jaket dan syal ke dalam rumah. Panggilan Mami tak kuperdulikan. Bahkan ketika dia melarangku ke taman selarut ini, pun tak kuambil pusing. Aku hanya lebih melebarkan langkah. Napasku memburu membayangkan rumput-rumput mati tergilas seratusan pasang lebih telapak kaki. Bunga-bunga mawar dipetik dan tercampak. Daun-daun gugur. Sampah bertebaran di mana-mana. Lalu ke mana hinggapnya capung, rama-rama dan burung merpati besok pagi? Ke mana aku dan si Manis duduk-duduk menikmati senja yang merapat?

Bayang-bayang kehancuran menusuk hatiku. Dari jauh kulihat masih berpendar cahaya suram di taman. Ketika sudah dekat, tak ada lagi kulihat tetanam yang tumbuh tegak. Semua layu dan mati. Bangku-bangku kayu tempat biasa aku dan yang lainnya duduk, berkeping-keping seperti kayu bakar. Berpasang muda-mudi memadu kasih, mencoba bersembunyi di rumpun perdu yang daunnya entah sudah terbang ke mana.

Aku teringat teman kecilku. Di mana dia bersembunyi malam ini? Kasihan, besok pagi dia tentu sedih mendapati tempat peristirahatan kami telah luluh-lantak.

Tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu yang lembut. Mataku jelalatan. Segera kuangkat sesuatu itu dengan perasaan kacau. Ketika kukenali, barulah tangisku tumpah. Kau tahu apakah sesuatu itu? Dia adalah si Manis. Teman kecilku yang tak bernyawa lagi. Aku yakin dia telah berusaha mengusir orang-orang perusak itu. Tapi, mana mungkin. Dia hanya hewan kecil yang tiada daya. Sama seperti aku yang tak memiliki kuasa apa-apa.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun