"Bicaralah! Ayah masih bisa mendengarmu dari sini!" Dia hampir menempelkan telinganya di speaker radio karena sedang menyiarkan warta berita.
"Aku ingin tahu tentang Ros!"
Dia tersentak. Refleks kepalanya menjauhi radio sekalian tangannya mematikan power. "Siapa kau bilang?"
"Ros, Yah! Perempuan teman bermainku di masa kekanak dulu. Ayah lupa?"
Tiba-tiba wajah ayah berubah serupa kepiting rebus. Hatiku tak enak nian. Ada gerangan apa menimpa seorang Ros, sehingga ayah seketika pitam mendengar namanya?
"Dia sudah mati!" hantam ayah sehingga jantungku seakan berhenti berdetak. "Dia perempuan yang mengotori kampung ini. Sembilan tahun setelah kepergianmu ke negeri seberang, dia tumbuh menjadi perempuan subur dan memikat. Meski kau tahu kakinya cacat. Dia pun merantau ke kota Medan dan menjadi kaya setahun kemudian. Setiap pulang dia membawa oleh-oleh berlimpah. Dia juga telah membangun rumah orangtuanya menjadi setengah gedong."
"Wah, bagus itu!" jawabku bangga.
"Jangan menyela dulu bila aku belum selesai bercerita," geram ayah. Aku membisu. "Tapi aku tak bangga kepadanya. Keberhasilannya berasal dari pekerjaan binatang. Beruntunglah Tuhan memberinya pelajaran satu setengah tahun lalu. Dia sakit keras dan terpaksa berobat di sini karena kehabisan biaya. Sebelas bulan kemudian, dia mati. Syukur, Syukur! Tapi aku kecewa mengapa bapak kepala desa mau menerima mayatnya dimakamkan di pemakaman umum. Malahan persis di sebelah kuburan emakmu."
"Kenapa ayah setega itu mengatai Ros? Dia adalah perempuan terbaik yang selama ini aku kenal," sesalku.
"Baik apanya? Kau ini gila, apa? Kau tak tahu pekerjaan Ros selama beberapa tahun belakangan ini?" Aku menggeleng.
"Dia melonte3), Parulian! M-e-l-o-n-t-e!" sentaknya membuat roh ini terasa tercerabut dari badan.