Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Bunga Te Ni Manuk

12 Februari 2019   14:00 Diperbarui: 12 Februari 2019   14:33 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Ros, kau ingatkah bunga-bunga busuk berwarna kuning yang tumbuh liar di pekarangan belakang rumahku? Bunga kuning cerah, dengan daun berbentuk lonjong yang pinggirannya serupa gergaji. Ingatkah? Kau paling senang memetik tangkainya yang rapuh dan berair. Kau senang meletakkan kembangnya di sela telingamu. Katamu kau seorang putri.

Padahal tak seharusnya kau menyenangi bunga itu. Namamu Ros, yang berarti kembang harum nan elok. Tapi bagimu lebih indah bungo te ni manuk1) yang sangat ditakuti kekanak. Karena ketika kembang itu dilumatkan di tangan, kemudian dibalurkan ke baju mereka, pasti semua bubar. Mereka yang dibalur kembang itu akan mencak-mencak. Sementara kau sangat senang menggumpalnya di tangan. Kau diam-diam mendekati setiap kekanak lelaki. Gumpalan kembang yang telah becek, kau selipkan di sela leher mereka. Semua menggelinjing serupa belatung. Mata-mata merah akan memerangkapmu bersama kepalan tinju mengapung. Namun, siapa yang berani mengganggumu? Semua takut. Aku pasti akan membela, dan menghajar mereka yang nakal.

Itulah mengapa tak ada seorang kekanak pun yang senang denganmu. Setiap kali kau ingin bergabung bersama mereka, semua segera berhambur sambil berteriak, "Awas, ada bungo te ni manuk!" Lalu tawa mereka terpingkal.

Kau akan menangis dan mengadu kepadaku yang sedang membantu emak berkebun. Kukatakan, bahwa kau tak seharusnya berkawan dengan kekanak nakal itu. Tapi, marilah membantuku berdua emak menyiangi rumput di kebun. Emak pasti suka, apalagi kau senang mengobrol dan cekatan bekerja. Terutama aku, pasti lapang dada bukan main. Dengan adanya dirimu, aku bisa meringankan beban. Mungkin juga aku mengendap-endap, menghindari tugas lain yang akan diberikan emak. Sebab bagiku lebih baik bermain di tanah lapang, berlarian mengejar rama-rama dan kumbang-kumbang kecil. Hehehe, bekerja di kebun adalah tugas perempuan!

Aku tahu bukan tersebab kau senang bungo te ni manuk, sehingga kekanak tak senang berkawan denganmu. Tidak, Ros! Kutahu mereka enggan dan malu bersamamu tersebab kau cacat. Kaki kanan lebih kecil dan pendek dari kaki kirimu, meskipun yang lain, terutama wajahmu, sangat lengkap dan elok rupawan.

Kau tahu aku paling senang disandingkan denganmu saat kakak sepupuku, Hamidah, membuat acara pesta kawin-kawinan di belakang barak kambing keluargaku. Aku hampir termuntah-muntah tercium bau tahi kambing. Namun sungguh, hatiku senang. "Kaulah putri cantikku," kataku kala itu. Kau tersipu dan berlari menjauh. Sedangkan Kak Hamidah hanya tersenyum genit, seraya pergi memenuhi panggilan emak.

Sekarang setelah limabelasan tahun meninggalkan kampung, tersebab aku merantau bersama Wak Dollah di negeri jiran, Malaysia, aku pulang kembali Ros. Aku tak tahan memendam rindu yang berjumpalitan di ranah yang jauh itu. Kau tahu, Ros, aku hanya kacung ternak ayam di sana. Kerjaku membersihkan kandang ayam di perusahaan yang mirip pabrik karena besarnya. Aku sering dibentak dan disebut si bodoh serta pemalas. Padahal kalau saja aku di kampung, setia membantu emak berkebun, hidupku pasti lebih baik, sekaligus tak dikacungkan, Ros. Aku bisa kaya, seperti Juragan Latief yang sawah-kebunnya berhektar-hektar. Seperti Haji Sanif yang memiliki lembu puluhan ekor, sehingga kampung kita bagaikan kandang lembu.

Itu kutahu dari surat-surat mendiang emak yang jarang singgah ke barakku di Malaysia yang tak lebih bagus dari barak kambing keluargaku di kampung. Ah, betapa sedihnya. Aku tak bisa melayat emak. Aku tak bisa pulang karena minus ongkos. Masa itu Wak Dollah lagi paceklik. Begitupun, kalau tetap memaksa pulang, aku pasti tak mendapat ijin. Pulang artinya berhenti. Di-phk. Seperti sekarang aku bagai telanjang kembali ke kampung. Tak membawa apa-apa selain berlembar pakaian salin, serta sepuluh ringgit Malaysia untuk kenang-kenangan bahwa aku pernah menjadi pecundang di tanah yang tak ramah itu.

"Hai, sudah tiba lelakiku yang hilang!" teriak ayah memelukku erat-erat. Tangisnya tercerai, dan tetes air matanya membasahi bahu bajuku. Dia masih sangat ingat kepadaku, meski sudah berlalu limabelas tahun. Parut di leherku, bekas tersangkut di ranting pohon jeruk, pemberi tanda itu. Tak akan hilang sampai kapan pun.

"Sudah, Ayah!" Aku meneguk minuman pemberiannya. Terasa sekali air kampung nyesss menjalari kerongkongan. Di Malaysia tak pernah aku bersua yang demikian, selain air mineral yang membuat otakku dipenuhi bahan kimia.

Aku hendak menanyakan kabarmu kepada ayah, Ros. Sayang, aku tak sampai hati. Dia masih lebih senang menceritakan tentang kampung, kematian emak, juga beberapa tanah warisan yang tergadai akibat bencana longsor dan hantaman muntahan gunung merapi. Kata ayah, longsor berulangkali datang. Gunung Sorik Marapi2) sekali meletus, menyisakan batu-batu sebesar anak kerbau di lahan-lahan kami. Praktis lahan-lahan itu tak dapat diberdayakan. Tinggal tersisa pekarangan rumah yang ditanami sayur-sayuran dan pohon kedondong.

Dulu, dalam surat-suratku, aku juga tak ingin menanyakan kabarmu kepada mendiang emak. Kau tahu kan, mendiang emak senang menggodaku? Katanya kita memang cocok menjadi pasangan suami-istri kelak. Pipiku pasti bersemu merah. Malu-ku tak tertahankan, tapi mauku melonjak selangit. Dan aku tak ingin mendiang emak geli di seberang lautan, manakala memikirkan bagaimana sikapku membaca kabar tentang dirimu, Ros.

Ayah akhirnya pergi ke langgar. Aku membasuh muka di kamar mandi sambil menatap seluruh ruangan dapur. Banyak yang berubah, Ros. Dulu dinding dapur terbuat dari seng yang disusun berdiri, berjejer susun sirih dan dipaku. Sekarang telah ditembok. Kampung kita juga sangat berbeda dibanding limabelas tahun lalu. Masa itu selalu ada kesejukan kurasakan. Tanah-tanah juga kehitaman dan gembur. Air gunung mengalir deras di parit-parit hasil swadaya penduduk.

Tapi sekarang sangat berbeda. Tak ada lagi kesejukan terasa saat aku turun dari bus antar lintas provinsi di perbatasan kampung kita dengan ibu kota kecamatan. Tanah-tanah di sepanjang jalan tak lagi kehitaman, tapi memerah dan liat. Banyak berlobang, bekas dikeruk. Kata Salohot, teman di bus yang setujuan denganku---saat kami berjalan kaki menuju kampung---tanah-tanah itu ditambang. Dijadikan petak-petak untuk batu bata. Jalanan telah dicor beton. Air di parit kering. Aku melihat di sepanjang jalan tiang-tiang televisi menggalah langit. Tak ada dolanan anak-anak. Semua meringkuk di dalam rumah di depan televisi.

Begitu banyak yang berubah, tapi terlalu banyak pula perubahan ke arah tak baik. Apakah kau juga berubah seperti itu? Apakah kau masih mengingatku? Atau mungkin kau sudah bersuami dan sekarang sedang memomong anak?

Ah, sabarlah, aku tak akan marah dan kecewa kepadamu. Aku tiada ingin pula mempermasalahkan kondisi ini. Kau tak mungkin tabah menungguku sampai belasan tahun. Bisa-bisa kau menjadi perawan tua. Kan rasanya sakit, Ros? Lagipula, kau tiada juga dapat memastikan apakah aku pulang dengan badan sebatang. Bisa jadi ada perempuan mengekoriku. Dan di lengan kananku seorang anak bergendong manja. Kondisi kita bisa merubah segalanya, Ros!

"Sudah mandikah kau, Parulian?" tanya ayah. Kiranya dia belum berangkat shalat lohor ke langgar. Kepalanya muncul di jendela, menyibak tirai yang terbengkalai jahitannya.

"Belum, Yah! Mungkin sebentar lagi. Aku menyejukkan badan dulu," jawabku sekenanya.

"Kalau hendak mandi, pergilah ke pemandian umum. Air di sumur kita kering. Sungai di belakang rumah tak memiliki air lagi sejak tiga tahun lalu. Itu di bekas kamarmu sudah disiapkan Zainab handuk, juga perlengkapan lainnya. Assalamu'alaikum, Parulian." Dia langsung pergi.

"Waalaikum Salam, Ayah!"

Zainab adalah anak Tulang Kohar. Dia beranak namboru kepadaku. Artinya dalam silsilah kekerabatan Mandailing, Zainab menjadi jatah untuk kuperistri. Sedangkan Tulang Kohar adalah calon mertuaku. Tulang itu adalah panggilan hormat untuk mertua laki-laki. Ah, ada juga niat ayah mengikatku di kampung dengan seorang Zainab. Tapi aku yakin bukan lantaran dia kelak aku bertahan di kampung, melainkan oleh seorang Ros yang senang bungo te ni manuk. Hahaha!

Niat untuk mandi kuurungkan sudah. Aku rindu melongok tempat bermain berdua kau di pekarangan belakang rumah. Masihkah bungo te ni manuk bergerombol saling menindih? Masihkah bunga-bunganya bermekaran dan membuar bau tahi ayam?

Segera kuarahkan kaki ke sana. Tapi, alangkah kecewanya aku. Hatiku tersembilu luka. Tak ada bungo te ni manuk di pekarangan belakang rumah. Semua telah rata dengan tanah. Hanya ada rumput liar dan beberapa rumpun putri malu. Mengapa ayah membiarkan semua kenangan itu termusnah di sana? Kenapa ayah tak menjaga bunga kesenanganmu, Ros? Ke mana lagi aku akan mengenang masa kekanak kalau bukan ke bungo te ni manuk? Aku lesu dan terduduk kaku di dekat barak kambing yang berubah menjadi kakus.

Menjelang ashar barulah ayah pulang. Katanya dia tadi langsung menghadiri syukuran di rumah Pak Lebai. Saat melihatku duduk di dapur dengan leher dililit handuk, dia langsung menggerutu. Apalagi melihat hidangan di bawah tudung saji belum disentuh. Beragam kesenanganku yang lezat-lezat ada di situ. Daun ubi tumbuk, sambal tuk-tuk, ikan asin, juga lalap petai. Makanan yang mustahil kutemukan di Malaysia.

Tapi, naluri perutku tak hendak menyentuhnya dari tadi. Zainab-lah yang memasaknya. Berkoting-tang dia di dapur. Hanya saja, aku tak beramah-tamah dengannya. Dialah yang berusaha bercakap banyak. Sedangkan aku hanya sepotong menanya kabarnya apakah sehat-sehat saja. Pertanyaan yang bodoh! Selebihnya aku hanya mengucapkan iya dan tidak, hingga Zainab bosan. Dia permisi setelah menghidangkan makanan di bawah tudung saji itu. Kulirik sepintas, kemudian aku duduk kaku sampai ayah tiba.

"Kenapa pulalah kau seperti bujang lapuk begini, Parulian! Belum pula mandi, belum pula makan. Apa pula yang kau pikirkan?" Dia menyendokkan nasi dan lauk-pauknya di piring. Kemudian dia membuat teh manis dengan bunyi berdenting-denting. Kasihan dia. Harusnya aku dapat melakukannya sendiri. Tapi, perasaanku sedang tak nyaman, tersebab memikirkan kondisi Ros.

"Ayah sudah bertemu dengan kepala sekolah esde melati. Dia adalah Kailani, teman sepermainanmu dulu. Dia girang kau kulamarkan sebagai guru Bahasa Indonesia di sana. Bukankah itu baik? Kau bilang, sudah banyak cerpen kau buat, bahkan di balai desa ada tersimpan arsip cerpenmu yang dimuat di koran Malaysia yang dua tahun lalu kau kirimkan. Kailani bangga bila anak muridnya diajar pujangga," lanjut ayah berapi-api.

"Manalah pula secocokan, Yah!  Karyaku bukan berbahasa Indonesia, tapi berbahasa Malaysia." Aku mencoba berkelit.

"Samalah pula itu, Parulian. Sama-sama berbahasa Melayunya kita." Dia tertawa senang.

"Terserah ayahlah!"

Aku menikmati hidangan di piring setengah hati. Setelah itu mandi dan menjamak shalat ashar dan lohor. Sesudahnya aku tertidur. Selepas maghrib aku menemui ayah yang sedang mendengarkan siaran radio RRI yang berbunyi ngeat-ngeot karena sinyalnya hilang-timbul.

Tentang Ros harus kutanyatakan sekarang kepada ayah. Aku sudah tak sabaran mendengar beritanya, sebelum mendatangi perempuan itu langsung ke rumahnya. Bila salah-salah bertamu, aku bisa kuwalat. Tak baik mendatangi seorang perempuan yang sudah bersuami meski si perempuan memiliki kenangan khusus denganku.

"Yah, aku ma bicara!"

"Bicaralah! Ayah masih bisa mendengarmu dari sini!" Dia hampir menempelkan telinganya di speaker radio karena sedang menyiarkan warta berita.

"Aku ingin tahu tentang Ros!"

Dia tersentak. Refleks kepalanya menjauhi radio sekalian tangannya mematikan power. "Siapa kau bilang?"

"Ros, Yah! Perempuan teman bermainku di masa kekanak dulu. Ayah lupa?"

Tiba-tiba wajah ayah berubah serupa kepiting rebus. Hatiku tak enak nian. Ada gerangan apa menimpa seorang Ros, sehingga ayah seketika pitam mendengar namanya?

"Dia sudah mati!" hantam ayah sehingga jantungku seakan berhenti berdetak. "Dia perempuan yang mengotori kampung ini. Sembilan tahun setelah kepergianmu ke negeri seberang, dia tumbuh menjadi perempuan subur dan memikat. Meski kau tahu kakinya cacat. Dia pun merantau ke kota Medan dan menjadi kaya setahun kemudian. Setiap pulang dia membawa oleh-oleh berlimpah. Dia juga telah membangun rumah orangtuanya menjadi setengah gedong."

"Wah, bagus itu!" jawabku bangga.

"Jangan menyela dulu bila aku belum selesai bercerita," geram ayah. Aku membisu. "Tapi aku tak bangga kepadanya. Keberhasilannya berasal dari pekerjaan binatang. Beruntunglah Tuhan memberinya pelajaran satu setengah tahun lalu. Dia sakit keras dan terpaksa berobat di sini karena kehabisan biaya. Sebelas bulan kemudian, dia mati. Syukur, Syukur! Tapi aku kecewa mengapa bapak kepala desa mau menerima mayatnya dimakamkan di pemakaman umum. Malahan persis di sebelah kuburan emakmu."

"Kenapa ayah setega itu mengatai Ros? Dia adalah perempuan terbaik yang selama ini aku kenal," sesalku.

"Baik apanya? Kau ini gila, apa? Kau tak tahu pekerjaan Ros selama beberapa tahun belakangan ini?" Aku menggeleng.

"Dia melonte3), Parulian! M-e-l-o-n-t-e!" sentaknya membuat roh ini terasa tercerabut dari badan.

Aku menyesal, ternyata Ros memang tak menjadi Ros yang wangi nan elok, tapi hanya bungo te ni manuk, yang mengingatkan orang pada bau-bau memualkan.

---sekian---

Catatan : 1) Bunga Tahi Ayam

               2) Gunung Merapi yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal

               3) Melacur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun