Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Bunga Te Ni Manuk

12 Februari 2019   14:00 Diperbarui: 12 Februari 2019   14:33 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Segera kuarahkan kaki ke sana. Tapi, alangkah kecewanya aku. Hatiku tersembilu luka. Tak ada bungo te ni manuk di pekarangan belakang rumah. Semua telah rata dengan tanah. Hanya ada rumput liar dan beberapa rumpun putri malu. Mengapa ayah membiarkan semua kenangan itu termusnah di sana? Kenapa ayah tak menjaga bunga kesenanganmu, Ros? Ke mana lagi aku akan mengenang masa kekanak kalau bukan ke bungo te ni manuk? Aku lesu dan terduduk kaku di dekat barak kambing yang berubah menjadi kakus.

Menjelang ashar barulah ayah pulang. Katanya dia tadi langsung menghadiri syukuran di rumah Pak Lebai. Saat melihatku duduk di dapur dengan leher dililit handuk, dia langsung menggerutu. Apalagi melihat hidangan di bawah tudung saji belum disentuh. Beragam kesenanganku yang lezat-lezat ada di situ. Daun ubi tumbuk, sambal tuk-tuk, ikan asin, juga lalap petai. Makanan yang mustahil kutemukan di Malaysia.

Tapi, naluri perutku tak hendak menyentuhnya dari tadi. Zainab-lah yang memasaknya. Berkoting-tang dia di dapur. Hanya saja, aku tak beramah-tamah dengannya. Dialah yang berusaha bercakap banyak. Sedangkan aku hanya sepotong menanya kabarnya apakah sehat-sehat saja. Pertanyaan yang bodoh! Selebihnya aku hanya mengucapkan iya dan tidak, hingga Zainab bosan. Dia permisi setelah menghidangkan makanan di bawah tudung saji itu. Kulirik sepintas, kemudian aku duduk kaku sampai ayah tiba.

"Kenapa pulalah kau seperti bujang lapuk begini, Parulian! Belum pula mandi, belum pula makan. Apa pula yang kau pikirkan?" Dia menyendokkan nasi dan lauk-pauknya di piring. Kemudian dia membuat teh manis dengan bunyi berdenting-denting. Kasihan dia. Harusnya aku dapat melakukannya sendiri. Tapi, perasaanku sedang tak nyaman, tersebab memikirkan kondisi Ros.

"Ayah sudah bertemu dengan kepala sekolah esde melati. Dia adalah Kailani, teman sepermainanmu dulu. Dia girang kau kulamarkan sebagai guru Bahasa Indonesia di sana. Bukankah itu baik? Kau bilang, sudah banyak cerpen kau buat, bahkan di balai desa ada tersimpan arsip cerpenmu yang dimuat di koran Malaysia yang dua tahun lalu kau kirimkan. Kailani bangga bila anak muridnya diajar pujangga," lanjut ayah berapi-api.

"Manalah pula secocokan, Yah!  Karyaku bukan berbahasa Indonesia, tapi berbahasa Malaysia." Aku mencoba berkelit.

"Samalah pula itu, Parulian. Sama-sama berbahasa Melayunya kita." Dia tertawa senang.

"Terserah ayahlah!"

Aku menikmati hidangan di piring setengah hati. Setelah itu mandi dan menjamak shalat ashar dan lohor. Sesudahnya aku tertidur. Selepas maghrib aku menemui ayah yang sedang mendengarkan siaran radio RRI yang berbunyi ngeat-ngeot karena sinyalnya hilang-timbul.

Tentang Ros harus kutanyatakan sekarang kepada ayah. Aku sudah tak sabaran mendengar beritanya, sebelum mendatangi perempuan itu langsung ke rumahnya. Bila salah-salah bertamu, aku bisa kuwalat. Tak baik mendatangi seorang perempuan yang sudah bersuami meski si perempuan memiliki kenangan khusus denganku.

"Yah, aku ma bicara!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun