Dulu, dalam surat-suratku, aku juga tak ingin menanyakan kabarmu kepada mendiang emak. Kau tahu kan, mendiang emak senang menggodaku? Katanya kita memang cocok menjadi pasangan suami-istri kelak. Pipiku pasti bersemu merah. Malu-ku tak tertahankan, tapi mauku melonjak selangit. Dan aku tak ingin mendiang emak geli di seberang lautan, manakala memikirkan bagaimana sikapku membaca kabar tentang dirimu, Ros.
Ayah akhirnya pergi ke langgar. Aku membasuh muka di kamar mandi sambil menatap seluruh ruangan dapur. Banyak yang berubah, Ros. Dulu dinding dapur terbuat dari seng yang disusun berdiri, berjejer susun sirih dan dipaku. Sekarang telah ditembok. Kampung kita juga sangat berbeda dibanding limabelas tahun lalu. Masa itu selalu ada kesejukan kurasakan. Tanah-tanah juga kehitaman dan gembur. Air gunung mengalir deras di parit-parit hasil swadaya penduduk.
Tapi sekarang sangat berbeda. Tak ada lagi kesejukan terasa saat aku turun dari bus antar lintas provinsi di perbatasan kampung kita dengan ibu kota kecamatan. Tanah-tanah di sepanjang jalan tak lagi kehitaman, tapi memerah dan liat. Banyak berlobang, bekas dikeruk. Kata Salohot, teman di bus yang setujuan denganku---saat kami berjalan kaki menuju kampung---tanah-tanah itu ditambang. Dijadikan petak-petak untuk batu bata. Jalanan telah dicor beton. Air di parit kering. Aku melihat di sepanjang jalan tiang-tiang televisi menggalah langit. Tak ada dolanan anak-anak. Semua meringkuk di dalam rumah di depan televisi.
Begitu banyak yang berubah, tapi terlalu banyak pula perubahan ke arah tak baik. Apakah kau juga berubah seperti itu? Apakah kau masih mengingatku? Atau mungkin kau sudah bersuami dan sekarang sedang memomong anak?
Ah, sabarlah, aku tak akan marah dan kecewa kepadamu. Aku tiada ingin pula mempermasalahkan kondisi ini. Kau tak mungkin tabah menungguku sampai belasan tahun. Bisa-bisa kau menjadi perawan tua. Kan rasanya sakit, Ros? Lagipula, kau tiada juga dapat memastikan apakah aku pulang dengan badan sebatang. Bisa jadi ada perempuan mengekoriku. Dan di lengan kananku seorang anak bergendong manja. Kondisi kita bisa merubah segalanya, Ros!
"Sudah mandikah kau, Parulian?" tanya ayah. Kiranya dia belum berangkat shalat lohor ke langgar. Kepalanya muncul di jendela, menyibak tirai yang terbengkalai jahitannya.
"Belum, Yah! Mungkin sebentar lagi. Aku menyejukkan badan dulu," jawabku sekenanya.
"Kalau hendak mandi, pergilah ke pemandian umum. Air di sumur kita kering. Sungai di belakang rumah tak memiliki air lagi sejak tiga tahun lalu. Itu di bekas kamarmu sudah disiapkan Zainab handuk, juga perlengkapan lainnya. Assalamu'alaikum, Parulian." Dia langsung pergi.
"Waalaikum Salam, Ayah!"
Zainab adalah anak Tulang Kohar. Dia beranak namboru kepadaku. Artinya dalam silsilah kekerabatan Mandailing, Zainab menjadi jatah untuk kuperistri. Sedangkan Tulang Kohar adalah calon mertuaku. Tulang itu adalah panggilan hormat untuk mertua laki-laki. Ah, ada juga niat ayah mengikatku di kampung dengan seorang Zainab. Tapi aku yakin bukan lantaran dia kelak aku bertahan di kampung, melainkan oleh seorang Ros yang senang bungo te ni manuk. Hahaha!
Niat untuk mandi kuurungkan sudah. Aku rindu melongok tempat bermain berdua kau di pekarangan belakang rumah. Masihkah bungo te ni manuk bergerombol saling menindih? Masihkah bunga-bunganya bermekaran dan membuar bau tahi ayam?