Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Negeri Gargara

9 Februari 2019   23:27 Diperbarui: 9 Februari 2019   23:35 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Meskipun Rael itu memiliki perilaku ganda? Sang psikopat!" George tertawa mengejek. "Saya tahu benar sifat buruk orang Rael. Bertahun-tahun saya bergaul dengan mereka. Jadi, bisa saja keberangkatan kita diganggu oleh mereka."

"Tapi kita kan netral!" Paul menatap George dalam-dalam.

"Orang Rael tak memiliki hati dan otak. Mereka berbuat sekehendaknya saja."

Kami akhirnya menyudahi bincang-bincang hangat itu. George dan si Turki pergi ke kamarnya, begitu juga Paul. Sementara aku memutuskan berdiri di buritan kapal sambil melihat ombak yang berlarian menjauh ke belakang. Ha, aku tak faham apakah laut memiliki depan dan belakang! Matahari terasa menggigit. Langit tetap cerah. Sekian jam lagi kesejukan pasti datang, membuat cuaca remang. Hampir jam dua sore.

Sesaat aku seperti melihat air laut di lambung kapal menjelma gurun pasir. Beberapa panser Rael melintas. Pemuda-pemuda Negeri Gargara menghadang dengan dada membusung. Anak-anak remaja tanggung menggenggam batu, lalu melemparkannya ke tubuh panser yang kokoh. 

Oho, adakah kekuatan batu melawan baja? Tak! Tapi semangat yang mengiringinya bisa mengalahkan panser yang terbuat dari baja, bahkan dari titanium sekalipun. 


Panser merangsek ke depan, membabi-buta melontarkan peluru. Pemuda-pemuda menghindar, berlari ke balik batu-batu menjulang. Anak-anak remaja tanggung meneriakkan jerit kemenangan. 

Tapi peluru benar-benar tak bersahabat. Tak hanya anak, pemuda, orangtua, perempuan-perempuan renta, semua dibabat habis seperti menerbas lalang dengan sabit yang amat panjang. Semua lebur merebah gurun, sehingga dadaku mendidih. Emosiku bagaikan gemuruh helikopter yang menanti saat tepat menjatuhkan rudal dari bawah perutnya.

Gemuruh helikopter? Aku tersadar. Gurun kembali menjelma laut. Tapi gemuruh helikopter tetap nyata. Capung raksasa itu muncul dari barat mendekati kapal kami. Seingatku helikopter tak termasuk dalam daftar kendaraan sukarelawan. Lagipula helikopter itu datang dari arah berlawanan. Pertama satu, kemudian dua. Tiga, empat. Aku melihatnya seperti keanehan yang membesar menjadi bencana. Jadi kuyakinkan hati bahwa helikopter-helikopter itu kendaraan utusan PBB, bukan musuh dari bangsa Rael.

Tapi aku salah. Seorang awak kapal menyuruhku tiarap. Kemudian suara peringatan dari kabin nakhoda bahwa pasukan berhelikopter itu adalah bangsa Rael. Sempat dilakukan kontak, tapi jawaban yang didapat hanyalah ancaman. 

Aku belum bisa menenangkan perasaan, tiba-tiba peluru memancar-mancar dari langit. Seperti kembang api di malam tahun baru. Seluruh penghuni kapal Barbara panik. Semua berlarian keluar. Semua tiarap. Aku sempat melihat Paul. Dia gelagapan. Sebutir peluru mungkin telah menyerempet tubuhnya. Baju putihnya kelihatan memerah. Ya, Allah, apa yang terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun