Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjahit Sepatu

10 Januari 2019   16:55 Diperbarui: 10 Januari 2019   17:00 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Kami tengadah. Apakah ini yang dinamakanhari pembalasan? Cahaya yang memendar-mendar dari atas, membuat kami silau. Kami tak tahu cahaya apa itu. Cahaya matahari? O, betapa terangnya! Tapi cahaya matahari tak sedekat ini. Cahaya lampu? Lampu sebesar apa yang pernah dibuat manusia?

Hamparan luas di hadapan kami, berasap seperti selembar magma yang tak memiliki ujung. Kami merasa sendiri. Kami tak melihat siapapun selain suara mendesis-desis seperti ular. O, bukan seperti ular, sepertibunyi las. O, lebih dari itu, seperti desisan dari lokomotif kereta api uap.

"Apakah kau masih tidur, Bu? Apakah kita memang sudah bangun?" Kutatap istriku yang senasib denganku. Wajahnya diliput ketakjuban. Keheranan yang amat sangat.

"Kita sudah bangun, Pak! Kita sudah bangun! Mungkin inilah yang disebut pengadilan terakhir. Ini adalah penentuan jalan kita, ke neraka atau ke surga. Hari pembalasan!"

"Maksudmu, kiamat sudah selesai?" tanyaku gamang. Sepertinya aku tak merasakan apa-apa, seibarat segumpal lendir yang beradadi ruang gelap dan terjeblos ke ruang terang-benderang seperti orang bodoh. Seperti orang yang tak bisa mengingat sesuatu pun. "Inikah pengadilan Allah?"

Istriku mengangguk. Aku membuang napas lega. Allah benar-benar berbaik hati kepadaku. Kiamat yang seharusnya tak dapat diungkapkan betapa dahsyat dan menakutkan, sama sekali tak kurasakan. Ya, bagaimana mungkin seorang lelaki yang enam kali mencium hajar azwad, diberikan Allah kepedihan. Mungkin dari tempat berlimpah cahaya ini, kami akan memasuki gerbang surga dengan aroma yang menelusup ke luar. Entah aroma apa, tapi seakan melapangkan rongga dada, dan membuat alam pikir menjadi sangat nyaman.

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar seolah ingin memecahkan telingaku, "Hai, kenapa masih saja berdiam di situ? Kenapa tak bergabung dengan yang lainnya? Mau melarikan diri, ya!"

Cetar!

Suara cambukan membuatku kepayahan berdiri. Cambukan tak berujud. Tapi kurasakan menempel di kulit, melesak ke sela-sela daging, menyilettulang, dan membuatku terpekik.

"Ayo, jalan bersama orang-orang yang bernasib malang!"

Aku kehilangan istriku. Aku mendadak telah berada di barisan panjang manusia yang berjalan di genangan air yang mendidih. Aku merasakan telapak kaki hingga betisku melepuh. Tulang-tulangku remuk. Tapi, kemudian utuh lagi. Bagaimanapun aku terpekik, tak ada yang mencoba menolong. Tak ada yang mau menarikku dari ketersayatan sakit alang-kepalang. Aku kecewa, Allah telah ingkar janji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun