Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagaimana Kami Makan, Bang?

14 April 2020   23:01 Diperbarui: 14 April 2020   23:01 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Saya berhenti di Lorong Mangga, ada spanduk tertulis; Lokdaun. Saya berhenti di Lorong Kuini, ternyata sama saja, ada Lokdon, Pandangan saya berkunang-kunang. 

Berbagai model tulisan menghantui pikiran saya. Lauk Daun, Lokdon, Kelok dong! hingga lockdown. Pikiran saya semakin terhantui ketika terdengar suara Azan Dzuhur. Itu artinya saya harus shalat dulu. Tapi setelah itu apa? Perut saya melilit, sementara saya tak memiliki serupiah pun.

Selepas Ashar, tak ada perubahan yang berarti, kecuali lima batang es lilin hilang di perut saya. Semua es yang semula sekaras batu, berubah menjadi seencer susu kental. Haruskan saya pulang tanpa membawa apa-apa?

Saya masih mencoba peruntungan hingga Maghrib. Tetap tak ada pembeli. Hingga Isya, tak lebih telur busuk. Selepas Isya saya putuskan pulang ke rumah. 

Hanya orang gila yang berjualan es keliling kota hingga larut malam. Apapun yang akan terjadi, terjadilah.
Saya lunglai pulang ke rumah. Terbayang pintu depan belum ditutup. 

Tangisan Menar sayup-sayup menjangkau jalan. Istri menengadah di depan pintu. Mungkin sedang mengusir suntuk sambil menghitung bintang. Apa saya sanggup menjumpai mereka tanpa membawa sepeser uang?

Ternyata pintu depan sudah tertutup. Lampu di ruang tamu merangkap dapur masih menyala. Perlahan saya menyenderkan sepeda di dinding rumah.

Air mata saya mengambang. Saya berjinjit membuka pintu yang sering tidak dikunci kecuali saya sudah pulang berjualan. Saya tidak ingin membuat Miah terbangun, lalu melihat tatapannya yang kecewa ketika suaminya pulang tanpa uang.

Saya kemudian tersentak melihat ada tepung, minyak dan susu bubuk di atas meja. Di sudut ruangan ada sekarung beras ukuran sepuluh kilogram. Darimana Miah mendapatkannya? Apakah dia?

Saya terduduk lesu. Saya teringat kejadian hampir lima tahun lewat. Seorang perempuan sedang berlari ketakutan dikejar massa. Saya berhasil menyembunyikan perempuan itu di markas. Saat itulah dia bercerita dikejar massa karena mencopet tas seorang ibu. Saya hanya tertawa. Saya mengatakan kami seprofesi. Uang di dalam tas kami gunakan untuk foya-foya.

Namun ketika saya jatuh cinta, lalu menikahinya, kami sudah bertekad meninggalkan dunia hitam. Meski terkadang tangan gatal untuk melakukannya karena tuntutan ekonomi, kami tetap bertahan. Jadi darimana semua barang pangan itu? Apakah Miah diam-diam melakukannya kembali?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun