Meningkatnya angka pengangguran di kalangan usia produktif, terutama lulusan baru, menjadi salah satu tantangan serius yang dihadapi Indonesia saat ini. Fenomena ini terjadi bukan semata karena kurangnya lapangan pekerjaan, melainkan juga karena ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki pencari kerja dan kebutuhan dunia industri. Banyak lulusan perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan yang tidak siap menghadapi tuntutan pasar kerja modern. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sistem pendidikan kita telah gagal membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan? Ataukah masalah terletak pada terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang inklusif dan berkelanjutan?
Salah satu penyebab utama meningkatnya pengangguran adalah rendahnya keterampilan kerja yang dimiliki oleh lulusan baru. Banyak institusi pendidikan masih menekankan teori ketimbang praktik, tanpa memberikan pelatihan yang cukup dalam hal soft skills dan hard skills yang dibutuhkan di dunia kerja. Data dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi berasal dari lulusan SMK, yakni sebesar 8,39%. Ini ironis, mengingat SMK dirancang untuk melatih siswa agar siap kerja.
Lebih dari itu, transformasi digital dan kemajuan teknologi juga mengubah lanskap dunia kerja secara drastis. Banyak jenis pekerjaan lama yang tergantikan oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan, sementara peluang baru yang muncul menuntut kemampuan digital, berpikir kritis, dan komunikasi yang baik  kemampuan yang masih belum banyak dikuasai oleh pencari kerja muda. Dalam laporan World Economic Forum (2023), disebutkan bahwa 44% keterampilan inti pekerja diperkirakan akan berubah dalam lima tahun ke depan, namun hanya sebagian kecil tenaga kerja yang siap mengikuti perubahan ini.
Masalah lainnya adalah tidak meratanya akses terhadap lapangan kerja, terutama di daerah terpencil atau luar Jawa. Pusat pertumbuhan ekonomi yang masih terpusat di kota-kota besar membuat banyak lulusan dari daerah kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Kurangnya investasi infrastruktur, fasilitas pelatihan, dan informasi lowongan kerja menjadi penghambat bagi banyak anak muda untuk bisa mengakses peluang kerja yang sesuai. Hal ini turut memperlebar ketimpangan sosial dan ekonomi antardaerah.
Meningkatnya angka pengangguran di kalangan generasi muda mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara sistem pendidikan, kemampuan tenaga kerja, dan dinamika dunia kerja yang terus berubah. Minimnya keterampilan yang relevan serta terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang merata menjadi faktor kunci yang memperparah masalah ini.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Pemerintah perlu mereformasi kurikulum pendidikan agar lebih adaptif terhadap kebutuhan industri serta memperluas program vokasi dan pelatihan kerja yang berbasis kompetensi. Dunia industri juga harus lebih terbuka dalam menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan guna menciptakan link and match yang nyata. Selain itu, perlu ada pembangunan ekonomi yang lebih merata di luar pusat kota agar tercipta peluang kerja yang inklusif bagi semua wilayah. Generasi muda sendiri juga harus proaktif dalam mengasah keterampilan, mengikuti pelatihan, serta memanfaatkan teknologi untuk menciptakan peluang kerja, termasuk menjadi wirausaha. Dengan langkah-langkah tersebut, kita dapat menghindari krisis pengangguran yang berkepanjangan dan membangun masa depan yang lebih produktif dan sejahtera.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI