Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Stok PCR Numpuk di Akhir Tahun, Mau Diapakan?

4 November 2021   18:20 Diperbarui: 4 November 2021   18:32 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merdeka.com/Iqbal Nugroho 

Dua bulan terakhir, saya melakukan perjalanan, Makassar, Surabaya, Jakarta, Banda Aceh, dan Bandung. Kemudian kembali ke Banda Aceh dan balik lagi ke Makassar. Bisa dihitung berapa kali harus disogok-sogok hidung ini?  Pergi ke rumah sakit, nunggu antrian, butuh waktu, tenaga, transport dan tentu saja kocek, karena PCR tidak dianggung oleh BPJS. Tapia pa boleh buat? 

Rakyat ini tugasnya harus patuh pada aturan Pemerintah. jika tidak, katanya kita tidak mau bekerjasama mendukung program Pemerintah. Jadinya, rakyat kecil ini ya...nurut saja apa yang sudah menjadi kesepakatan atau keputusan pemangku jabatan di atas.

Padahal, kami ini sudah vaksinasi. Katanya vaksin akan mencegah terjadinya Covid-19. Kami juga tidak pernah lepas dari masker, cuci tangan, jaga jarak serta aneka langkah prevensi lainnya. Hasilnya terlihat, kita sudah bebas dari Zona merah. Toh, semuanya tidak sanggup mengubah kebijakan yang namanya wajib PCR jika terbang.

Barangkali inilah salah satu penyebab mengapa meski sudah tidak ada Red Zone, bandara masih sepi, toko-toko dan warung di bandara tutup, hingga penumpang pesawat paling banter 50%.

Pekan lalu teman saya dari Papua yang terbang ke Surabaya mengatakan tidak sampai 40% penumpangnya. Tidak hanya pesawat. Naik darat pun jika jaraknya mencapai 250 km wajib PCR.

Hari ini saya membaca sebuah berita di Repelita, yang sumber asalnya diperoleh dari Tempo, PCR ini mendapat penolakan luas dari masyarakat. Yang jadi persoalan adalah mengapa berita tentang PCR ini jadi heboh menjelang akhir tahun?

Kata Saidi Sudarsono dalam Twit nya (2-11-2021) sebagaimana dimuat Repelita, "Hoalahhh, masalahnya sederhana saja. Stock PCR numpuk. Ada PCR import dari China numpuk di 10 perusahaan importer. Expired date 31 Desember 2021. Akan digunakan untuk libur Natal dan Tahun Baru. Digunakanlah kekuatan pemerintah melalui SK Mendagri, Paham ora son?" (Repelita, 4 Nov. 2021).

Ada orang yang dalam hidup ini memilih diam agar tidak ada masalah. Ada orang-orang yang suka bersuara agar didengar pendapatnya. Ada lagi yang lebih milih menulis karena akan lebih banyak yang membaca. Di Kompasiana ini hemat saya merupakan ajang yang tepat untuk menyuarakan uneg-uneg kita lewat tulisan. Minimal bisa sharing dengan sesama Kompasianer sudah lega rasanya.

Saya suka menulisnya karena lebih efektif dan tidak bikin sakit hati. Saya punya prinsip jika tidak bisa mengubah orang lain, harus ubah diri sendiri. Jadi, karena saya bukan pejabat, bukan pula pengambil kebijakan atau artis terkenal yang punya pengaruh, maka saya harus ubah cara pandang saya.

Kalau tidak mau PCR, ya tidak perlu ke luar rumah naik pesawat atau jalan jauh. Kalau mau terbang, ya sudah, risikonya harus ikuti aturan. Protes pada airlines pasti tidak ada gunanya meski sampai berbusa-busa.

Apalagi jika protes ke Pak Luhut, kenalpun saya tidak. Mau ke Pak Prabowo, terlalu kejauhan tidak konek. Lebih-lebih kalau ke Pak Anies Baswedan. Beliau hanya Gubernur.

Yang jadi keprihatinan saya pribadi adalah, tidak semua orang punya duit lebih meskipun naik pesawat. Kadang hanya punya duit yang mepet banget. Namun karena ada kepentingan mendesak, mereka harus terbang. Atau, tidak ada jalan lain, misalnya dari Wamena ke Jayapura, kalau naik darat repot banget.

Bolak-balik test PCR, dananya berapa yang harus dikeluarkan jika dompet tipis? Padahal vaksin sudah dua kali. Jelas tidak ada gejala-gejala terpapar Covid-19. Wajib ya tetap wajib.

Apa tidak ada cara lain selain test PCR di era pasca Covid-19 ini?

Misalnya, tempatkan dua atau tiga dokter atau perawat di pos-pos pemberangkatan. Membayar mereka ini jauh lebih cost-effective dari pada melakukan PCR. 

Yang penting calon penumpang sudah vaksin. Dengan demikian kita sangat hemat dan tidak memberatkan. Belum lagi berapa ribu hidung yang disogok-sogok. Itu semua trauma dan tidak jarang menimbulkan rasa sakit serta kemungkinan infeksi.

However, sederhananya cara berfikir rakyat kecil kayak saya yang meski buta dengan bisnis raksasa seperti proyek Covid-19 ini, intinya business is business.

Pembelian import reagen untuk test PCR yang mencapai Rp 7.3 trilliun itu tidak main-main. Belum lagi impor 203 ton alat-alat PCR per Agusts 2021, yang terbanyak dari China (idntime.com). Ini bukan dana yang sedikit.

Duit segitu bisa untuk beli laptop beserta perangkat onlinenya untuk 2 kali jumlah guru di Indonesia. Luar biasa kan? Tentu saja pengusaha yang terlibat di dalamnya tidak mau rugi. Makanya harus ada jalan keluar sebelum reagen ini expired akhir tahun ini yang tinggal 7 minggu lagi.

Anyway, yang namanya pengusaha besar pasti punya network global yang luas. Tidak perlu masukan dari saya, mau diapakan sisa reagen tersebut. Misalnya bisa dijual ke Amerika Latin atau ke negara-negara Afrika yang status social ekonominya minimal setaraf Indonesia atau di bawah kita. 

Bisa juga ditawarkan ke Filipina, Vietnam, Bangladesh atau Nepal. Bisa juga sih, kalau mau investasi akhirat, diberikan gratis ke rakyat kita. Dari pada kadaluwarsa mubadzir.  

Memang, jika reagen  harus dibuang sangat disayangkan. Sementara bila dipaksakan untuk digunakan sisanya, rakyat yang bakal menderita karena harus bayar mahal. Ibarat makan buah simalakama.

Makassar, 4 November 2021

Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun