Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berdayakan Pemuda, Jangan Dipolitisasi Jadi Walikota

20 Juli 2020   08:05 Diperbarui: 20 Juli 2020   16:58 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini banyak berseliweran berita tentang Gibran, putera Pak Jokowi yang bakal mencalonkan diri jadi Walikota Solo. Berbagai opini menyeruak. Sarat pro dan kontra. 

Yang pro beranggapan bahwa penting sekali mengedepankan potensi pemuda dalam kepemimpinan nasional. Menggali potensi pemuda dalam proses kepemimpinan bangsa berarti bagian dari kesiapan menghadapi perubahan sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju.  

Sedangkan yang kontra berasumsi bahwa tidak salah mengangkat pemuda ke permukaan sebagai pemimpin masa depan. Hanya saja, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah, kepemimpinan yang mana dulu. 

Pemuda adalah generasi masa depan, itu oke. Namun untuk memilih pemuda sebagai posisi senior dalam pemerintahan, merupakan keputusan yang tergesa-gesa.

Saya sendiri melihatnya demikian. Sebagai pemuda, saya setuju, pemuda ikut serta dalam pendidikan pembangunan berbangsa dan bernegara. Hanya saja di bidang politik, pemuda harus introspeksi mana yang menjadi area kewenangan dan mana yang belum pantas jadi kepantasan dia di sana.

Untuk kasus Gibran, sebaiknya Mas Gibran introspeksi lah. Bukan apa-apa sih. Rasulullah, Muhammad SAW, menusia terbaik di bumi ini, yang kebesaran namanya diakui oleh kawan dan lawan, disebut sebagai the Most Influential Persons in History (Michael H.Heart, 1978) bisa sebagai kaca. 

Beliau diangkat sebagai Nabi sekaligus pemimpin umat ini saat berusia 40 tahun. Umur Gibran yang 32 tahun mau mimpin kota, itu menurut saya, jangan dipaksakan lah. Banyak belajar aja dulu sebagai staff  kantor Walikota atau pembantunya pak wali, sambil jualan Martabak boleh lah.  

Jadi hemat saya, pemuda harus banyak terlibat dalam penyelesaian pemuda saja dulu, termasuk perolehan lapangan kerja, pelatihan, pembinaan, pendidikan, keterlibatan pembangunan dan pemberdayaan lainnya.

Kegiatan Pemuda

Kadang-kadang saya cuci motor di sebuah gang, tidak jauh dari perumahan kami. Semula saya tanda tanya, tempat cuci motor ini milik siapa. Akhirnya saya tahu, ternyata milik Karang Taruna, milik Desa. 

Pantesan letaknya di area fasilitas desa. Harusnya informasi seperti ini tertulis, misalnya "Tempat Cuci Motor-Karang Taruna Desa", sehingga orang paham, ini bukan milik pribadi. 

Fasilitasnya meliputi gedung, ukuran 3x3 meter, seperangkat alat cuci (mesin penyemprot, pipa saluran air dan PDAM, serta alat-alat cuci seperti detergent, busa penggosok dan kain lap kering). 

Saya perkirakan biaya mendirikan tempat cuci motor/mobil ini tidak sampai Rp 20 juta. Kecuali desa harus beli tanah, kemudian dirikan gedung yang bagus untuk tempat cuci motor, bisa mahal.

Saya duga ini tidak mungkin duit iuran warga. Pasti menggunakan Dana Desa. Menurut Mendagri, Pemerintah menetapkan alokasi Dana Desa sebesar Rp 960 juta untuk setiap desa (Kompas, 17 Feb. 2020). 

Kalau memanfaatkan Dana Desa hanya seperti yang saya jumpai, berupa Tempat Cuci Motor/Mobil, saya rasa masih terlalu banyak sisanya. Masih ada Rp 940 juta (97.9%). 

Yang lain ini untuk apa? Jembatan kami tidak punya, area pinggir kota, dekat jalan raya. masyarakat boleh dikata 75% mampu. Sekedar info, pekerja cuci motor itu anak-anak orang 'punya'.

Saya perhatikan banyak masyarakat yang belum paham tentang bagaimana memaksimalkan penggunaan uang rakyat berupa dana desa ini. Sekretariat Kabinet RI menyebutkan BLT Dana Desa telah tersalurkan 90% dari total desa hingga bulan Juni 2020 lalu. 

Dana tersebut untuk kepentingan pembangunan 75.436 desa, 919 nagari, 8.444 kelurahan serta 51 Unit Pemukiman Transmigrasi. Totalnya 84.850.

Balai Latihan Kerja

Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan mendefinisikan pemuda sebagai warga negara yang berusia antara 16-39 tahun. Jumlah pemuda di Indonesia cukup signifikan. Pada tahun 2018, Indonesia memiliki 63.82 juta pemuda atau sekitar seperempat dari jumlah penduduk Indonesia (The Conversation.com).

Pemerintah menyadari pentingnya peran dan fungsi yang melekat pada pemuda. Oleh karenanya berusaha mengembangkan segenap potensi mereka melalui upaya menyadarkan, memberdayakan, dan mengembangkan kepemudaan di segala bidang sebagai bagian dari pembangunan nasional.

Indonesia memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) sebanyak 303 di seluruh Indonesia. Sebanyak 19 BLK merupakan Unit Pelaksanaa Teknik Pusat (UPTP) dan 284 UPTD milik daerah provinsi dan kabupaten/kota. 

Seluruh BLK in mampu menampung 275.000 peserta. Kalau tujuan Pemerintah ingin melatih pemuda yang jumlahnya mencapai 63.82 juta, berarti yang bisa dilatih oleh BLK ini hanya kurang dari 1% nya.

Jenis pelatihan di BLK masih sangat terbatas. Pada tahun 2020 ini, BLK menggelar jenis pelatihan meliputi Tata Kecantikan, Tata Busana, Tata Boga, Menjahit Garmen, Desain Grafis, Membatik, Bakery, Practical Office Advance, serta Tata Kecantikan Kulit dan Rambut. Namun ada juga yang menyediakan pelatihan terkait Otomotif Servis sepeda motor dan otomotif mekanik mobil.

Jenis pelatihan ini pada hemat saya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pelatihan pemuda yang membutuhkan lapangan kerja. Baik untuk kepentingan di dalam maupun di luar negeri. Misalnya Caregiver, Bahasa, elektronika, bangunan, pertukangan, asisten kantor, perhotelan dan lain-lain.

Korupsi Dana Desa

Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), kasus korupsi Dana Desa terbanyak muncul pada tahun 2019 (Kompas, Feb. 18, 2020). Data ICW menunjukkan, terdapat 46 kasus korupsi terkait anggaran desa dari 271 korupsi selama tahun 2019. Itu berarti angka korupsi terkait Dana Desa mencapai 16.9% dari jumlah korupsi yang ada di negeri ini. Angka yang cukup menggiurkan.

Beberapa faktor penyebabnya adalah pertama tentang sistemnya yang belum tertata. Yang kedua masalah pengawasan. Yang ketiga konsep penggunaannya yang kurang transparan.  

Sistem yang dimaksud di sini adalah kriteria. Adil itu baik. Namun menyamaratakan desa itu bukan bentuk keadilan, karena belum tentu benar kriterianya. Ada desa yang betul-betul membutuhkan dana. 

Namun ada pula desa yang 'tidak butuh'. Makanya harus ada sistem berupa kriteria prioritas di mana dbutuhkan tim asesor yang mengevaluasi kondisi lapangan. Ini penting agar dana tidak asal ngalir dan cair ke semua desa, ternyata justru merangsang terjadinya korupsi.

Masalah pengawasan juga penting. Pemerintah membutuhkan proposal dari setiap desa tentang penggunaan dana ini. Proposal ini jangan hanya asal tulis. 

Namun jelas sekali agenda pelaksanaan penggunaan dana. Kalau seperti yang saya sebut di atas, dana hanya untuk membangun tempat Cuci Motor Karang Taruna, sebaiknya Pemerintah mikir-mikir dulu.

Demikian pula konsep penggunaannya. Walaupun Pemerintah sudah memberikan kisi-kisi diapakan saja dana ini, namun jika konsep di setiap desa yag seharusnya diberi otonomi untuk diapakan dana tersebut, sepanjang untuk pembangunan serta jelas arahnya, maka tidak ada alasan bahwa dana desa terlambat dicairkan.

Yang paling penting lagi adalah, Kepala Desa nya yang memang harus jujur dan bisa dipercaya, track recordnya jelas. Kalau tidak, mata siapa sih yang tidak 'hijau' melihat Dana Desa yang jumlahnya hampir satu milyar Rupiah?

Didik, Libatkan dan Berdayakan

Pemerintah harus menyikapi masalah pemuda ini secara serius. Angka pengangguran sepanjang   Wabah Corona ini mencapai 15 juta jiwa. Produktivitas kerja kita akui rendah. 

Pemerintah otomatis bisa defisit anggaran jika pemasukan minim ke dalam kas negara. Besarnya devisa juga menurun. Oleh sebab itu, memaksimalkan penggunaan dana Pemerintah di daerah sudah sepantasnya diperhatikan.

Pertama, berikan pendidikan kepada pemuda, baik secara formal maupun non-formal. Berikan mereka pendidikan kemandirian (Entrepreneur) agar mengurangi ketergantungan kepada negara. 

Tambahkan materi pelatihan di BLK. Ini penting sebagai bekal pemuda ke depan. Dengan keterampilan yang dimiliki ini, pemuda bisa menyusun dan mengajukan proposalnya ke desa terkait penggunaan dana desa. Sebagai contoh kecil, untuk kepentingan produksi pembuatan Tempe, atau pembekalan Bahasa sebelum kerja di luar negeri.

Kedua libatkan pemuda dalam pembangunan. Jangan hanya menggunakan mereka untuk kepentingan politik. Pemuda hanya akan pintar ngomong, namun tidak memiliki keterampilan. 

Libatkan pemuda dalam proyek-proyek nasional, misalnya Nusantara Sehat, penelitian, kerjasama antar negara, pemagangan di luar negeri atau proyek-proyek PMA lain. 

Ribuan PMA di negeri ini yang kurang melibatkan masyarakat setempat, padahal lokasi perusahaan mereka ada di tengah-tengah masyarakat. Aturannya mungkin ada, tetapi pengawasan kurang sehingga dilanggar.

Ketiga, berdayakan pemuda. Di Aceh, mungkin juga di provinsi lainnya, pengangguran pasca kuliah merajalela karena pemuda tidak tahu harus berbuat apa. 

Dengan dana desa, pastikan setiap desa atau kecamatan serta kabupaten ada yang namanya Youth Leadership Center (Pusat Kepemimpinan Pemuda). Lewat lembaga seperti  ini, pemuda akan dibina, diarahkan dan diberdayakan potensi energinya.

Ringkasnya, harus ada kejelasan diapakan dana desa dan ke mana tujuan masa depan pemuda diarahkan. Jangan dibiarkan mereka larut dengan main Games sepanjang hari dan hanya berharap bantuan orangtua yang menyebabkan masa depan mereka terbengkalai.

Malang, 20 July 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun