Di tempat pemberhentian, Sarhan mengaku bahwa ia dan Ibunya di bawa ke daerah terpencil di Jalur Gaza, sebuah tempat yang di caplok oleh Israel dan difungsikan sebagai pangkalan Militer. Disana, Sarhan dan Ibunya di tempatkan pada kamar yang berbeda.
Lebih jauh, disana Sarhan mengaku perasaan takut terus menembaki dadanya, suara-suara dentuman bom dan jeritan terus menghantuinya sepanjang siang.
"Saya tidak bisa mendengar apa pun kecuali suara tank, kendaraan militer, dan tembakan. Saya mendengar suaranya - dia berteriak karena penyiksaan," ujar Sarhan sambil terisak.
Teganya, dengan tangan diikat dan mata ditutup lakban, tiga tentara yang berbicara dalam dialek Palestina terus menginterogasinya tentang mengapa yang ia yang ditugaskan untuk berbelanja.
Dijelaskannya, ia dimasukkan ke dalam sebuah tangki lalu di turunkan persis di persimpangan dua, pasukan Israel memintanya untuk berjalan kaki sejauh 400 meter.
"Saya tetap ditutup matanya hingga matahari terbenam. Kemudian mereka memasukkan saya ke dalam tangki dan menurunkan saya di persimpangan dekat Jalan 2, sambil meminta saya berjalan sejauh 400 meter," Ulas Sarhan.
Diakhir, Sarhan mengungkapkan kekejaman Pasukan Israel terhadapnya, mulai dari pemukulan hingga nyaris dibunuh. Sarhan mengaku tak ada pilihan selain berjalan kaki untuk sampai di jalan Salah al-Din, di Selatan Gaza disanalah ia bertemu dengan pamannya yang Bernama Issam.
"Mereka tidak membiarkan saya bicara. Mereka memukul saya dengan keras dan berulang kali. Seorang tentara mengarahkan senjatanya ke dada saya dan mengatakan akan menembak saya. Ia kemudian memukul kepala saya dengan punggung senjatanya." ucapnya.
Untuk diketahui, sampai hari ini pada tanggal 29 Mei 2025 Ibu dari Mohammad Ahmad Kamel Sarhan belum diketahui dimana keberadaannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI