Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Musik dan Orkestrasi Kehidupan

4 Oktober 2021   21:01 Diperbarui: 10 Oktober 2021   15:45 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pertunjutkan musik. (sumber: pixabay.com/artesitalia)

Malam itu, kami nongkrong di Omah Sinau SOGAN. Sambil ngopi kami menikmati obrolan ringan tentang musik. Tapi, sebelum itu, kami nonton sebuah tayangan di youtube yang menampilkan Kang Idang Rasjidi, seorang master Jazz Indonesia.

Meski tayangan itu cuma obrolan, tak ada rasa bosan untuk mengikutinya. Padahal, durasinya cukup panjang, 21 menit 18 detik. Kami mengamati dengan saksama obrolan itu sampai detik penghujung.

Usai menonton tayangan itu, kami pun lanjut diskusi kecil. Vava, seorang musisi muda Pekalongan asal Jepara, memulai pembicaraan. Menurutnya, bermusik itu sebuah upaya pencarian jati diri.

Pernyataan pemusik yang piawai memainkan berbagai alat musik ini membuat saya terkejut. Begitu juga yang lain. Semula, kami menduga ia akan ngomong soal bagaimana cara memainkan not-not atau memainkan alat musik. Ternyata, dugaan kami meleset. Vava malah mengajak kami membahas perihal lain.

Kami pun tekun menyimak. Vava melanjutkan perbincangannya, "Di dalam musik ada beberapa hal yang mesti diketahui oleh seorang pemusik. Pertama, nada. Nada adalah bunyi. Bunyi adalah suara.'

"Bisa dibilang semua suara adalah nada. Tetapi, tidak bisa dikatakan bahwa semua suara itu adalah musik. Mengapa begitu? Karena musik sebenarnya adalah membangun sebuah pola estetis dari setiap bunyi yang ada. Musik memanfaatkan setiap bunyi itu untuk membuat sebuah komposisi. Dan tentunya, tujuan akhir dari komposisi adalah menemukan estetika bunyi."

Sampai di sini, Vava sejenak menarik napas. Lalu, memandangi kami yang duduk menyimak tuturannya. Kami masih belum punya pertanyaan, juga tak satupun yang hendak menyela.

Vava kembali melanjutkan, "Dari situ, sebenarnya ada proses panjang yang tidak mudah dilakukan oleh seorang musisi. Salah satunya adalah memahami dan menghayati keberadaan bunyi. Memahami dan menghayati setiap kehadiran bunyi yang ada.'

"Dengan memahami dan menghayati bunyi itu pula seorang pemusik akan memproses dirinya. Sadar atau tidak sadar, ia sebenarnya sedang mengolah dirinya untuk memaknai kehidupan," jelas Fafa.

Setelah memberikan penjelasan ringkas itu, Vava lantas memberi kesempatan bagi kami untuk nimbrung obrolan. Saya yang penasaran berusaha memasuki arena diskusi kecil itu dengan mengajukan pertanyaan. 

"Kalau begitu, bermusik itu sesungguhnya usaha manusia menemukan irama hidupnya sendiri ya? Bukan sekadar meniru atau mengikuti apa yang sudah ada. Tapi, apa benar semua orang yang suka bermain musik bisa begitu?"

Sejurus Vava menarik tubuhnya. Lalu, sebentar pandangan matanya menerawang ke arah langit-langit. Setelah beberapa saat terdiam, ia kemudian angkat bicara, "Wah, agaknya tidak bisa serta merta begitu, Kang. Saya pun belum cukup punya keberanian untuk sampai ke arah itu.'

"Musik yang aku geluti masih sebatas hobi. Kalau harus sampai di titik itu, menganggap musik adalah bagian dari kehidupan, aku masih takut. 

Tapi, kadang harus aku akui pula, ketika aku bermusik aku seperti menemukan obat bagi rasa kecemasan dan segala kegalauanku. Dengan kata lain, musik bagiku bisa saja aku jadikan sebagai obat," terang Vava.

The Indonesian National Orchestra (INO) (sumber foto: Franki Raden via thejakartapost.com)
The Indonesian National Orchestra (INO) (sumber foto: Franki Raden via thejakartapost.com)

Pengakuan senada disampaikan Ridho'. Dia menyela, "Kalau aku baru bisa mengatakan bahwa musik sekadar kesenangan. Sekadar hobi. 

Aku sendiri belum bisa menganggap diriku ini seorang pemusik. Mungkin lebih tepatnya, penikmat musik. Kalaupun aku bisa main salah satu alat musik, itu bukan berarti aku bisa digolongkan sebagai pemusik."

Pengakuan polos Ridho' mungkin bisa dimaklumi. Apalagi memang, selama ini dia baru bisa menirukan. Khususnya, meniru gaya vokalnya Ariel Noah.

Diakuinya juga, kalau dia ini ternyata dikenalkan dengan musik oleh kakak tercintanya yang guru musik di salah satu sekolah di Pekalongan. 

Katanya, "Untuk belajar musik secara mendalam, aku belum. Ada ketakutan juga. Apalagi selama ini umumnya orang tua menginginkan agar anaknya tidak jadi seniman. Anggapan ini umumnya karena mereka memandang kehidupan sebagai seorang seniman itu---maaf---agak kurang menguntungkan secara ekonomi."

Kendati begitu, Ridho' berusaha menanggapi pernyataan Fafa dengan kalimat bijaknya. Dia bilang, "Kalau boleh aku menanggapi Vava, aku punya pendapat, bahwa musik itu sendiri adalah kehidupan. 

Kenapa aku bilang begitu? Karena dunia ini sendiri adalah irama. Dunia ini memiliki beragam irama yang berbeda-beda. Tetapi, ketika dipertemukan semua irama itu, jadilah ia harmoni. Harmoni itulah dunia itu sendiri."

Pemahaman ini membuat Ridho pada akhirnya mengaku, bahwa musik baginya sebagai terapi. Apalagi kalau sedang baper.

"Musik atau nada itu kadang lebih bisa mengerti perasaan. Di situlah sebenarnya, kadang aku merasa ada sesuatu yang misterius dengan musik. Musik dengan begitu punya jiwa. Sayang, aku belum bisa menemukan jiwa musik," ungkapnya.

Menyikapi itu, Sigit, seorang pemuda kebanggaan warga desanya mengaku, ideologi yang selama ia akui sebagai sesuatu yang harus dipegang teguh dalam menjalankan fungsinya sebagai individu dalam bermasyarakat adalah sesuatu yang tak nyata. Makanya, dia sendiri mengaku gagal memahami ideologi juga idealisme.

"Baru-baru ini aku bisa ngerti kalau ternyata idealisme yang sesungguhnya adalah bagaimana cara menemukan dan menjadi diri sendiri. Bukan mengimani ideologi yang dibikin atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi kepentingan politik. Idealisme mestinya dibangun atas dasar kesanggupan diri untuk menjadi jujur," ujar Sigit.

Pengakuan Sigit sebenarnya ingin menyasar pada urusan bagaimana seseorang menyikapi musik di dalam kehidupannya. Tetapi, memang agak melebar. Lantas, Sigit mengerucut ke soal musik.

"Iya, pukulan-pukulan saya kemarin pas mainin drum terasa keras. Maklum, aku baru merasakan bahwa ternyata dengan memainkan musik, aku bisa mengungkap rasaku yang selama ini masih tersembunyi. Perasaan yang selama ini tidak bisa aku ungkapkan lewat kata-kata," ujar Sigit dengan maksud membenarkan pernyataan Ridho.

"Dan satu poin yang mesti aku tambahkan, ternyata di dalam bermusik ada kejujuran. Dia menjadi cara mengungkapkan apa yang sebenarnya kita rasakan," jelas Sigit kemudian.

Giliran berikutnya, Yael, seorang anak muda yang sangat menggemari dunia hiburan. Kali ini, ia sedikit berkisah tentang masa-masa awal ia berkenalan dengan musik. 

Katanya, "Dulu, waktu SMP aku kursus keyboard. Mula-mua karena kepo. Pingin tahu bagaimana caranya memainkan keyboard. Tapi, lama-lama bosan juga. Malas karena tak cukup ruang gerak, juga ruang apresiasi. Alhasil, aku gagal jadi seorang keyboardis."

"Tapi, sekarang ada sesuatu yang berbeda dari yang dulu. Duniaku sekarang bisa saja sebenarnya adalah perjalanan pulang ke dunia asal. Dulu suka musik dan sempat belajar musik, sekarang musik jadi sesuatu yang mewarnai hidup," lanjut Yael.

Diakuinya pula, pekerjaannya selama ini yang cukup hanya berada di balik layar panggung-panggung hiburan adalah sebuah jawaban atas permasalahan yang pernah ia hadapi dulu. 

Dia bilang, "Bayangkan, kalau semua orang jadi pemusik, siapa yang akan menyediakan panggung buat mereka? Mereka juga butuh panggung. Butuh pengelolaan yang baik untuk ruang apresiasi mereka.'

"Aku bisa merasakan betapa musik itu memiliki kekuatan yang hebat. Maka, perlu dikelola agar dapat dinikmati kehebatan itu. Musik memiliki magnet yang begitu besar. Ia bisa menyedot perhatian orang-orang. Itu aku dapatkan dari pengalamanku selama ini bekerja di balik layar, dari belakang panggung," ujar Yael.

Begitulah musik dalam ruang diskusi kecil yang pernah kami lakukan. Kami tak menyimpulkan apa-apa atas diskusi itu. Tetapi, saya yakin, Anda tentu lebih tahu bagaimana menyimpulkan apa yang kami diskusikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun