Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Pemikiran Timur dan Barat, Mana yang Lebih Baik?

3 Oktober 2021   01:36 Diperbarui: 3 Oktober 2021   02:10 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.pickpik.com

Obrolan warung kopi semalam membuat saya terpaksa menahan tawa. Saya khawatir jika tawa saya mengusik kebakuan pikirannya. Menurut yang dia pikirkan, bahwa budaya Barat itu buruk. Yang baik itu budaya Timur. Bahwa budaya Barat itu tak kenal etika. Hanya Timur yang sangat mengenal baik dan menerapkan etika.

Jangan salah menduga dulu, saya menahan tawa bukan karena saya West Minded. Tidak. Justru saya malah orang yang selama ini dibingungkan dengan dikotomi antara Barat dan Timur. Apa batasnya?

Memang, dulu sewaktu masih duduk di salah satu bangku yang berderet di ruang kelas saya suka mendengarkan ceramah dosen saya tentang Barat-Timur. Seru. Ada dosen yang memang West Minded. Ada juga yang mengagungkan Timur. Tapi, ada juga yang bersikap tengah-tengah. Bahkan ada yang menyatakan Barat dan Timur itu tidak ada.

Namun nyatanya, buku-buku Baratlah yang kerap kami temukan. Sementara buku-buku Timur jarang diberikan. Yang ada hanya buku tentang Timur. Itupun---sebagaimana pernah disinggung Herman Sinung Janutama (penulis buku Kesultanan Majapahit yang sempat kontroversial itu)---dasar cara pandangnya cenderung menggunakan teori-teori Barat. Jadi, kata Herman Sinung Janutama, kebanyakan buku tentang Timur itu masih didominasi oleh aroma kebarat-baratan.

Ia mencontohkan, Romo Franz Magnis Suseno yang banyak menulis tentang etika dan filsafat Jawa. Akan tetapi, dasar pemikirannya tidak Jawa tulen. Menurut Herman, apa yang ditulis Franz Magnis Suseno adalah pandangan seorang Barat tentang Jawa. Lalu, bagaimana Jawa yang Jawa?

Herman menawarkan jawaban, mesti digali dari teks-teks yang tersedia. Teks-teks yang ditulis oleh pengarang/pujangga Jawa yang mengisahkan atau menuliskan kehidupan Jawa. Banyak tersebar teks itu. Tidak hanya ratusan atau ribuan. Bahkan ratusan ribu atau sudah mencapai angka jutaan. Itu pun baru yang naskah kuno.

Tidak hanya itu, keberadaan naskah-naskah kuno Nusantara---khususnya Jawa---telah melahirkan banyak profesor, khususnya yang berasal dari negara-negara manca. Lebih khususnya lagi dari daratan Eropa. Sebut saja dua nama di antara banyak nama itu yaitu Zoetmulder, Willem van Der Molen.

Wardiman Djojonegoro (menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru) dalam suatu kesempatan pernah menyinggung masalah arsip dan naskah. Urusan arsip, katanya, negara ini lebih banyak menyimpan arsip peninggalan VOC. Angka lembarannya fantastis. Ia menyebutkan ada 25 juta lembar arsip yang tersimpan di ANRI. Sedang, 10 juta lembar lainnya di Belanda. Sedang naskah, sejak tahun 1760, orang-orang Belanda yang berminat membaca dan mengkaji naskah kuno Nusantara telah mengumpulkannya dan membawanya ke negerinya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli itu.

Ia juga menyayangkan, jika pengkajian naskah kuno lebih banyak dilakukan oleh sarjana-sarjana Eropa. Sementara dari negeri sendiri sepertinya ogah-ogahan. Mungkin, kata Wardiman Djojonegoro, ini disebabkan oleh tradisi baca bangsa ini yang tergolong masih rendah.

UNESCO pernah menerbitkan sebuah rilis tentang budaya baca. Di dalam rilis itu menyebutkan, minat baca orang Indonesia hanya 0,001%. Artinya, jika ada 1.000 orang Indonesia, cuma seorang yang rajin membaca. Sedang, Central Connecticut State University, melalui risetnya World's Most Literate Nations Ranked memampang peringkat budaya baca di 61 negara di dunia. Hasilnya, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Tapi bagaimana dengan tradisi menulis? Tradisi menulis---atau meminjam istilah Maman S. Mahayana tradisi kepengarangan---di Nusantara sudah muncul sejak era raja-raja. Kala itu seorang pengarang/pujangga diangkat oleh raja sebagai bagian dari keluarga kerajaan. Tugasnya, untuk menulis kisah, mencatat peristiwa penting, atau menuliskan maklumat sesuai dengan pesanan raja. Atas dasar itu pula, seorang pujangga beserta keluarga kemudian mendapatkan fasilitas dari kerajaan.

Sementara, di luar istana, nyaris tak terdengar nama-nama kesohor para pengarang/pujangga. Ada dugaan, profesi kepengarangan di luar istana tidak berkembang lantaran kuatnya cengkeraman kekuasaan raja-raja kala itu. Oleh sebab itu, sulit bagi rakyat biasa untuk bisa membuat karangan. Apalagi jika yang ditulisnya itu bertentangan dengan pandangan raja atau aturan main kerajaan. Dengan begitu, kisah-kisah pun akhirnya menyebar melalui tradisi lisan. Akibatnya, tidak jarang satu kisah yang sama memiliki banyak versi. Bahkan, sampai detik ini keragaman versi dari satu kisah ini sulit diidentifikasi mana kisah babonnya.

Di era kini, kita patut berbahagia, karena siapa pun boleh menulis. Tentang apapun. Bahkan, seorang rakyat biasa yang tak punya kedudukan apa-apa di masyarakat boleh menyampaikan kritik terhadap kebijakan penguasa. Tidak hanya itu, rakyat biasa pun boleh juga memberi sanggahan atas kritik itu dengan tulisan pula. Akan tetapi, untuk bisa dinyatakan tulisan itu berdasar dan kuat, ia mesti didukung pula oleh metode yang tepat. Nah, soal metode juga banyak pilihan yang bisa digunakan. Tentu, disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan tulisan.

Jadi, saya pikir, bangsa ini sudah mengalami kemajuan yang begitu rupa. Menempatkan tulisan sebagai bagian dari dinamika kehidupan. Gus Mus bahkan pernah mengatakan, peradaban paling puncak dari suatu bangsa adalah sastra. Dan cara mengenalkan sastra di masa sekarang ini adalah melalui tulisan. Sebab, tulisan menjadi rekaman yang paling canggih yang pernah dicapai oleh manusia. Tradisi oral saja tidak cukup.

Dan saya kira, sekarang bukan saatnya lagi kita terjebak pada dikotomi Barat-Timur yang sudah usang itu. Sebab, dikotomi yang demikian kadang justru membuat kita terjebak dalam ketidakjelasan yang kabur. Apa itu Barat? Apa itu Timur? Saya pikir, batasnya juga tak jelas. Malah dalam obrolan-obrolan santai, dikotomi Barat-Timur ini kerap dimunculkan dengan dasar yang cenderung asumtif. Alih-alih ingin mengunggulkan budaya sendiri, eh malah terjebak pada sikap pesimistis.

Sikap kita semestinya berpijak pada idiom "Jawa digawa, Arab digarap, Barat diruwat". Artinya, kita mesti memiliki rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa di dunia ini. Tetapi, untuk menemukan rasa percaya diri itu mesti pula dibarengi dengan upaya untuk menemukan jati diri yang tepat. Bukan sekadar njeplak, asal ucap. Sehingga, kita dapat bergaul dan memposisikan sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Sebab, setiap bangsa adalah warga dunia. Sama kedudukannya. Tidak ada beda. Hanya soal bagaimana mengelola dan mengolah pengetahuan-pengetahuan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada.

Sekali lagi, tidak semua yang dari Barat itu buruk dan tidak semuanya yang dari Timur itu baik. Tetapi, ada tempatnya masing-masing. Ada keunggulan-keunggulan yang dimiliki tiap-tiap bangsa yang perlu sama-sama diapresiasi. Tak perlu memaksa harus Timur atau harus Barat. Sekarang, adalah era bagi semua bangsa memiliki hak yang sama untuk duduk semeja. Menjadi orang Jawa juga perlu memahami etika orang Barat, supaya ketika kita bertandang ke sana, kita tahu mana yang seharusnya tanpa harus melepaskan kejawaan kita. Demikian saya kira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun