Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Egalitarianisme dalam Batik Pesisir Pekalongan

28 September 2021   03:13 Diperbarui: 30 September 2021   02:50 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negeri batik adalah negeri yang eksotis. Di sisi utara, terbujur garis pantai utara Jawa yang landai dan lautnya yang tenang. Di sisi selatan berbaris bukit-bukit dengan hutan-hutan yang hijau dan udaranya pun sejuk, segar. 

Tidak ketinggalan, kelokan sungai-sungai besar di kawasan hulu yang menampilkan panorama sungai purba dengan batu-batu besarnya. Sedangkan di kawasan hilir, sungai-sungai tampak mengalir tenang.

Penduduk negeri batik juga dikenal ramah. Mudah beradaptasi, gampang akrab dengan siapa saja, asalkan sampeyan juga mau terbuka dan tidak terlalu berbasa-basi. 

Itu bisa dilihat di warung-warung. Dari sana kelakar-kelakar yang menggelakkan tawa kerap muncul. Tidak pandang bulu, siapapun boleh berkelakar.

Ya, warung seolah menjadi tempat paling demokratis, paling plural di negeri ini. Di situ tempat nongkrong orang-orang dari beragam profesi dan kelas sosial. Mereka berbaur, seolah tak ada sekat pembatas. 

Antara yang berseragam dengan yang tidak berseragam, antara yang "ningrat" dengan rakyat jelata, semuanya sama-sama berkelakar tanpa ada rasa canggung dan ewuh.

Bahkan, cara mereka menyapa satu sama lain pun tampak begitu akrab. Nyaris tidak muncul pembedaan kelas sosial. Panggilan "Pak" hanya berlaku di dalam kantor. 

Di luar itu, seorang pegawai negeri misalnya, bisa saja dipanggil dengan nama aliasnya, seolah mereka demikian dekat dan karib. Kalaupun ada yang dipanggil "Pak" biasanya karena belum kenal dan rasa ingin menghormati. Bukan karena jabatan atau pekerjaan.

Tentu, pemandangan yang seperti ini, bagi mereka yang terbiasa dengan tradisi keningratan akan sedikit mengganggu pandangan dan pendengaran. 

Mungkin juga sedikit tak mengenakkan hati. Pemandangan seperti ini, bagi mereka, cenderung akan dianggap sebagai perilaku tidak sopan, tidak santun. Sebab, kesantunan diukur melalui tata krama dan disesuaikan dengan kedudukan seseorang dalam status sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun