Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah akrab dengan kata "Pegadaian".
Bukan dari buku atau berita televisi, melainkan dari pengalaman pribadi melihat ibu saya keluar-masuk outlet Pegadaian di kota kecil kami, Pematangsiantar di Sumatera Utara.Â
Pada awal tahun 2000-an, ibu saya yang hanya lulusan SMA dan tinggal di perkebunan di pelosok Sumatera Utara sering menggadaikan cincin emasnya untuk keperluan dadakan mulai dari membayar uang sekolah, biaya obat mertua hingga keperluan untuk liburan naik kelas.
Dari situlah saya belajar bahwa emas bukan hanya perhiasan, melainkan alat pembayaran yang bernilai guna.Â
Bagi ibu saya, hanya ada dua jenis investasi yakni tanah untuk jangka panjang, dan emas untuk kebutuhan mendesak.
Tanah bisa dibangun rumah atau dijadikan ladang, sementara emas bisa segera diuangkan saat ada keperluan darurat.
Dari Tradisi ke Literasi Keuangan Modern
Beranjak dewasa, saya belajar lebih banyak literasi keuangan dan memahami bahwa emas dan tanah sebenarnya adalah aset jangka panjang.
Hingga kinipun, saya masih melanjutkan tradisi ibu dengan berinvestasi emas tetapi dari aplikasi digital. Hal ini saya lakukan karena saya sudah mendapatkan pemahaman yang utuh tentang diversifikasi aset.
Saya paham bahwa emas adalah aset haven, yaitu instrumen keuangan yang cenderung naik ketika ekonomi memburuk.
Inilah sebabnya emas tetap relevan 'in this economy', sehingga menjadi pegangan masyarakat dari berbagai kelas sosial.