Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Chemical Engineer

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

14 November 2024   06:32 Diperbarui: 19 November 2024   13:54 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia Emas 2045 adalah mimpi dan harapan Indonesia menjadi negara berdaulat, maju, adil dan makmur pada perayaan seratus tahun kemerdekaannya.

Visi Indonesia Emas 2045 telah disusun dan diresmikan pada 2019 yang lalu. Setelah lebih dari lima tahun, bangsa Indonesia perlu merefleksikan perjalanannya dalam menggapai Indonesia Emas 2045. Untuk melihat dengan jelas posisi bangsa Indonesia saat ini, apakah masih di jalurnya atau sudah menyimpang.

Salah satu pilar Indonesia Emas 2045 adalah pemantapan tata kelola pemerintahan. Dalam kata lain, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Apakah tata kelola pemerintahan saat ini sudah baik? Mengapa tata kelola pemerintahan harus baik?

Kualitas tata kelola pemerintahan

Belum lama ini, World Bank menerbitkan laporan terbarunya yang berjudul Worldwide Governance Indicator (WGI) 2024. Laporan ini mengompilasi berbagai data untuk menunjukkan sejauh mana kualitas tata kelola pemerintahan dari berbagai negara pada 2023 yang lalu.

Setiap negara diukur dengan menggunakan enam indikator, yaitu suara dan akuntabilitas/kebebasan sipil, penegakan hukum, pengendalian korupsi, stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme, efektivitas pemerintah serta kualitas regulasi.

Dengan menggunakan skala -2,5 hingga 2,5 maka semakin tinggi skornya, semakin baik tata kelolanya. Lalu, bagaimana kualitas tata kelola pemerintahan Indonesia?

Dari enam indikator ada dua indikator yang bisa dikatakan cukup baik dan ada peningkatan dari tahun lalu: kualitas regulasi (0,3) dan efektivitas pemerintah (0,58).

Meski pencapaian itu patut diapresiasi, alangkah baiknya kita jangan berpuas diri dulu. Skor tata kelola Indonesia dalam dua kategori tersebut bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, misalnya, masih jauh.

Untuk kualitas regulasi dan efektivitas pemerintah, skor tata kelola Singapura adalah 2,3. Artinya, bila Indonesia ingin menjadi negara maju pada 2045, seperti Singapura, perlu upaya lebih agar kualitas regulasi dan efektivitas pemerintah semakin membaik.

Setidaknya ada dua kasus yang bisa menjadi contoh perlunya meningkatan kualitas regulasi dan efektivitas pemerintah. Pertama, kebocoran data yang berulang kali terjadi tanpa penyelesaian konkrit dan minimnya mitigasi dari pemerintah adalah bukti dari ketidakmampuan dan buruknya transparansi pemerintah dalam menjaga data pribadi warga negaranya.

Kedua, proses pembentukan dan revisi undang- undang, seperti Ciptaker (Cipta Kerja) dan IKN (Ibu Kota Negara) yang cepat, minim transparansi dan partisipasi publik. Apakah mungkin suatu regulasi, seperti undang-undang, bisa berkualitas dan untuk kepentingan publik, jika masyarakat kurang dilibatkan? Mungkinkah masyarakat bisa menyampaikan aspirasi bila pembentukan ataupun revisi undang-undang dilakukan secara kilat, tergesa-gesa dan tertutup?

Dalam menghadapi gejolak sosial, seperti gelombang protes demonstrasi, misalnya, pemerintah bersikap dingin dan membiarkan aparat negara, seperti polisi, bersikap represif terhadap demonstran. Rendahnya skor Indonesia dalam stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme (-0,4) mengindikasikan, bahwa pemerintah belum mampu mengelola gejolak sosial tanpa terjadi kekerasan.

Stabilitas politik memang dibutuhkan oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun, apakah polisi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban harus bertindak represif terhadap demonstran? Bukankah Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi?

Selain kasus tersebut, pembubaran diskusi di beberapa tempat dan kriminalisasi aktivis juga masih sering terjadi. Agaknya tidak wajar bila skor kebebasan sipil Indonesia tahun 2023 hanya 0,14 mengingat Indonesia adalah negara demokrasi.

Semakin baik tata kelola pemerintahan, semakin rendah praktik korupsi. Singapura adalah contohnya. Skor Singapura tahun 2023 dalam pengendalian korupsi sangat tinggi, yaitu 2,04. 

Hasil itu sangat relevan dengan skor indeks persepsi korupsi di Singapura. Dalam Corruption Perceptions Indexs 2023, Singapura mendapat skor 83. Skor yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Indonesia yang hanya mendapat skor 34.

Oleh karena itu, untuk menaikkan indeks persepsi korupsi dan tata kelola pengendalian korupsi (-0,49), pemerintah harus komitmen dan serius dalam pemberantasan korupsi.

Melemahnya pemberantasan korupsi bisa menunjukkan bahwa penegakan hukum juga lemah. Republik ini sedang mengalami degradasi etika dan moral. Tanpa etika dan moral, landasan dan penegakan hukum rapuh dan tidak bermakna. Bisa jadi hukum tidak lagi menjadi panglima. Supremasi hukum sudah diinjak-injak demi kepentingan politik.

Selama beberapa tahun ini, lembaga penegak hukum diintervensi untuk kepentingan sebagian elit politik. Bahkan, tidak jarang hukum diperjualbelikan. Sungguh ironi bila mafia peradilan lumrah terjadi di negara hukum. Sulit membayangkan, selama 10 tahun lebih, mantan pejabat Mahkamah Agung berhasil mengumpulkan uang hampir Rp 1 triliun dan 51 kg emas sebagai makelar kasus.

Dalam catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), ada 26 hakim yang terbukti melakukan korupsi dari 2011 hingga 2023. Selain denda yang rendah, menurut ICW, selama tahun 2023 rerata hukuman dari 1.718 terdakwa korupsi hanya sekitar 3 tahun. Kepastian hukum di Indonesia sudah langka. Dan ini menjadi salah satu alasan mengapa skor penegakan hukum Indonesia hanya -0,15.

Secara keseluruhan, mengacu laporan dari World Bank tersebut, tata kelola pemerintahan Indonesia masih belum baik. Bila dibandingkan dengan laporan selama 5 tahun terakhir, kualitas tata kelola pemerintahan Indonesia tidak mengalami kemajuan yang signifikan, cenderung stagnan.

Agar Indonesia Emas 2045 bisa menjadi nyata, bangsa Indonesia harus membangun tata kelola pemerintahan yang baik: bersih dan inklusif. Apa yang harus dilakukan untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik?

Hal yang bisa dilakukan dan tantangannya

Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019 yang lalu disinyalir melemahkan KPK. Undang- undang baru tersebut tidak hanya membatasi ruang gerak KPK – di mana statusnya tidak lagi independen – tapi juga melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.

Sejak berlakunya revisi undang-undang kontroversi tersebut, skor dan peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia, mengacu laporan Corruption Perceptions Index 2023, merosot; skor 40 (ranking 85) tahun 2019 menjadi 34 (ranking 115) pada 2023.

Di tengah suburnya praktik korupsi dan lemahnya pemberantasan korupsi, tanpa mengecilkan peran lembaga lain, langkah awal yang bisa dilakukan pemerintah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih adalah memperkuat institusi KPK.

Di samping itu, pengesahan RUU Perampasan Aset juga mendesak untuk dilakukan. Undang-undang ini tidak hanya dianggap mampu mengembalikan kerugian negara, tapi juga menjadi terobosan baru dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Agaknya memperkuat lembaga KPK dan pengesahan RUU Perampasan Aset tidak mudah diterima oleh sebagian kalangan, apalagi dilakukan. Mungkin Republik ini akan gaduh. Namun, tanpa langkah awal ini komitmen pemberantasan korupsi hanya sebatas retorika dan kualitas tata kelola pemerintahan tidak akan berubah secara signifikan.

Berdasarkan data Worldwide Governance Indicator, tidak diragukan lagi, Singapura telah lama diakui sebagai salah satu negara yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satu kunci keberhasilan Singapura adalah meritokrasi atau sistem merit.

Pemerintah Singapura sangat menerapkan prinsip meritokrasi atau merit dalam seleksi mulai dari tingkat Menteri hingga PNS (Pegawai Negeri Sipil), karena mereka percaya satu-satunya faktor suksesnya pembangunan Singapura adalah kemampuan manusianya (Benjamin Wong, 2014).

Membangun tata kelola pemerintahan yang baik dengan menerapkan prinsip meritokrasi bukanlah sesuatu yang gampang, mengingat praktik nepotisme sudah lumrah terjadi di Indonesia.

Dinasti politik sering dianggap sebagai bentuk nepotisme. Dinasti politik maupun nepotisme memperkecil kemungkinan inklusivitas, transparansi, akuntabilitas serta rentan terjadi korupsi.

Selain politik dinastik, budaya politik transaksional yang acap kali dipertontonkan oleh sebagian elit dan partai politik juga bisa menghambat terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.

Selama satu dekade terakhir, pemenang Pemilu/Pilpres selalu memiliki koalisi politik yang gemuk. Akibatnya, praktik bagi-bagi kue kekuasaan sulit dihindari. Apakah tersandera oleh kepentingan politik, balas budi ataupun demi stabilitas politik, tidak sedikit tim sukses - baik dari partai politik ataupun relawan - mengisi posisi strategis di pemerintahan maupun perusahaan milik negara.

Menurut Undang- Undang No. 28 Tahun 1999, nepotisme diartikan menguntungkan kepentingan keluarga atau kroni. Bila mengacu pada undang-undang tersebut dan arti kroni menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dalam konteks politik transaksional, bisa dinterpretasikan bahwa relawan dan tim sukses termasuk kroni.

Fenomena tim sukses dan atau relawan mendapat jabatan baik di pemerintahan maupun BUMN (Badan Usaha Milik Negara) setelah kontestasi elektoral dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari nepotisme. Karena, prosesnya kurang transparan dan cenderung tidak mengutamakan kualifikasi yang dibutuhkan.

Pemberian jabatan bagi tim sukses ataupun relawan tanpa mempertimbangkan kompetensi dan integritasnya juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Dan ini bisa menjadi pintu masuk terjadinya praktik korupsi dan kolusi.

Bila pemerintah benar-benar ingin mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, maka menerapkan prinsip meritokrasi adalah pilihan yang logis dan layak dilakukan. Dan itu harus dimulai dari institusi pemerintah.

Dengan prinsip meritokrasi, baik dalam kepemimpinan dan rekrutmen, institusi pemerintah akan terdiri dari orang-orang yang kapabel dan berintegritas, di mana mereka tidak akan kesulitan dalam menjalankan pemerintahan yang efekif dan efesien.

Output dari institusi pemerintah yang demikian, selain menstimulus stabilitas politik, proses pembentukan dan penerapan regulasi atau kebijakan lebih transparan, partisipatif dan untuk kepentingan publik.

Dengan menerapkan sistem meritokrasi di lembaga penegak hukum, maka salah satu implikasinya adalah seleksi calon pimpinan KPK, misalnya, bebas dari intervensi dan kepentingan politik. Dengan begitu, independensi KPK dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa terjaga.

Meritokrasi adalah antitesa dari nepotisme. Sebuah studi membuktikan, bahwa rekrutmen berdasarkan kemampuan (merit), secara signifikan, meningkatkan tata kelola pemerintahan menjadi lebih baik dan minim korupsi (Morten Egeberg et al, 2017).

Seperti halnya demokrasi, meritokrasi atau sistem merit juga tidak sempurna. Tanpa mengabaikan kritik yang ada, dalam Meritocracy for Public Service Excellence, sistem meritokrasi bisa menjadi salah satu kunci terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik, rendahnya korupsi dan pemanfaatan sumber daya negara semakin efisien.

Proses mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik tidak akan lengkap tanpa melibatkan peran masyarakat. Salah satu penyebab tata kelola pemerintahan belum baik adalah fungsi check and balance tidak berjalan sebagaimana mestinya, termasuk dari masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir, hampir tidak ada oposisi yang benar-benar menjadi penyeimbang kekuasaan. Kalaupun ada perannya tidak signifikan. Ini diperparah dengan minimnya peran legislatif dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif.

Terlepas ada atau tidaknya partai oposisi, praktis fungsi check and balances terhadap institusi penyelenggara negara bertumpu pada masyarakat sipil. Sudah saatnya masyarakat sipil berkonsolidasi mendorong lembaga penyelenggara negara agar senantiasa mengelola negara ini sesuai konstitusi.

Seperti halnya penguatan lembaga KPK dan implementasi meritokrasi, konsolidasi masyarakat sipil tidaklah mudah. Setidaknya ada dua tantangan yang bisa menghambat konsolidasi masyarakat sipil.

Pertama, menyempitnya kebebasan sipil. Ini ditandai dengan merosotnya indeks demokrasi. Laporan dari Economist Intelligence Unit dalam Democracy Index 2023 menunjukkan, skor indeks demokrasi Indonesia turun, dari 6,71 tahun 2022 menjadi 6,53 tahun lalu.

Selain represif terhadap demonstran yang mengkritik pemerintah, pembubaran diskusi dan penggunaan buzzer secara berlebihan untuk membungkam kritik juga sering terjadi. Hal ini bisa menghambat proses check and balances dari masyarakat terhadap pemerintah.

Bila pemerintah komitmen membangun tata kelola pemerintahan yang baik, maka kebebasan sipil harus dijamin, sesuai dengan amanat konstitusi. Dengan cara itu, masyarakat sipil bisa berkonsolidasi dan semakin berpartisipasi dalam mengawal jalannya pemerintahan.

Kebebasan sipil tidak boleh dikekang atas nama stabilitas politik. Sebaliknya, gelombang protes masyarakat menolak UU Cipta Kerja pada 2019 yang lalu dan RUU Pilkada 2024, misalnya, bisa dihindari bila institusi penyelenggara negara tidak sewenang- wenang dalam membuat dan merevisi undang- undang tersebut.

Dalam kontestasi elektoral, praktik politik uang (vote buying) masih marak terjadi. Data dari Global Corruption Barometer Asia 2020 menunjukkan, tingkat politik uang di Indonesia adalah yang tertinggi ketiga di Asia. Bahkan, hasil riset yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi membuktikan, politik uang di Indonesia adalah yang tertinggi ketiga di dunia.

Di samping itu, setahun yang lalu, hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik menunjukkan, 42,9% masyarakat menyatakan tidak masalah dengan politik dinasti. Politik dinasti dianggap hal biasa dan tidak merusak demokrasi. Idolatri politik telah menjangkit sebagian masyarakat Indonesia.

Praktik politik uang dan hasil survei dinasti politik di atas cukup menggambarkan, bahwa sebagian masyarakat Indonesia permisif dan belum terinformasi dengan baik. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam dua Pemilu terakhir masih menyisahkan masalah; literasi politik masih rendah.

Setelah menyempitnya kebebasan sipil, sikap permisif dan belum terinformasinya masyarakat juga dapat menghambat konsolidasi masyarakat sipil dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah.

Hasil studi yang dilakukan oleh Andersen et al (2005) menunjukkan, semakin baik pemahaman seseorang akan politik (melek politik), semakin baik kualitas dan preferensi politiknya. Masyarakat harus terinformasi dengan baik dalam politik dan demokrasi.

Implikasi dari masyarakat terinformasi dengan baik ialah masyarakat tidak hanya kritis terhadap kebijakan pemerintah, tapi juga menolak (tidak permisif) segala bentuk yang bertentangan dengan etika dan moral, seperti dinasti politik, politik idolatri, politik uang dan lainnya.

Dalam konteks kontestasi elektoral, alih-alih terpikat dengan pemimpin populis, masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang punya kapabilitas dan integritas serta komitmen membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Kita perlu merenungkan ucapan Frank Herbert, penulis fiksi ilmiah Dune yang terkenal itu: good governance never depends upon laws, but upon the personal qualities of those who govern.

Sebagai salah satu pilar Indonesia Emas 2045, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sangat penting dan mendesak dilakukan. Prosesnya membutuhkan kolaborasi dari pemerintah dan masyarakat secara berkelanjutan - sesuai dengan peranannya.

Semakin baik tata kelola pemerintahan, semakin inklusif institusi pemerintah. Semakin inklusif institusi – mengutip teori Daron Acemoglu, Simon Johnson dan James Robinson – semakin besar kesempatan Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Dengan tata kelola pemerintahan yang baik, menurut World Bank, negara bisa meningkatkan pembangunan manusia, pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kohesi sosial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun