Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Chemical Engineer

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

14 November 2024   06:32 Diperbarui: 19 November 2024   13:54 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinasti politik sering dianggap sebagai bentuk nepotisme. Dinasti politik maupun nepotisme memperkecil kemungkinan inklusivitas, transparansi, akuntabilitas serta rentan terjadi korupsi.

Selain politik dinastik, budaya politik transaksional yang acap kali dipertontonkan oleh sebagian elit dan partai politik juga bisa menghambat terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.

Selama satu dekade terakhir, pemenang Pemilu/Pilpres selalu memiliki koalisi politik yang gemuk. Akibatnya, praktik bagi-bagi kue kekuasaan sulit dihindari. Apakah tersandera oleh kepentingan politik, balas budi ataupun demi stabilitas politik, tidak sedikit tim sukses - baik dari partai politik ataupun relawan - mengisi posisi strategis di pemerintahan maupun perusahaan milik negara.

Menurut Undang- Undang No. 28 Tahun 1999, nepotisme diartikan menguntungkan kepentingan keluarga atau kroni. Bila mengacu pada undang-undang tersebut dan arti kroni menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dalam konteks politik transaksional, bisa dinterpretasikan bahwa relawan dan tim sukses termasuk kroni.

Fenomena tim sukses dan atau relawan mendapat jabatan baik di pemerintahan maupun BUMN (Badan Usaha Milik Negara) setelah kontestasi elektoral dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari nepotisme. Karena, prosesnya kurang transparan dan cenderung tidak mengutamakan kualifikasi yang dibutuhkan.

Pemberian jabatan bagi tim sukses ataupun relawan tanpa mempertimbangkan kompetensi dan integritasnya juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Dan ini bisa menjadi pintu masuk terjadinya praktik korupsi dan kolusi.

Bila pemerintah benar-benar ingin mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, maka menerapkan prinsip meritokrasi adalah pilihan yang logis dan layak dilakukan. Dan itu harus dimulai dari institusi pemerintah.

Dengan prinsip meritokrasi, baik dalam kepemimpinan dan rekrutmen, institusi pemerintah akan terdiri dari orang-orang yang kapabel dan berintegritas, di mana mereka tidak akan kesulitan dalam menjalankan pemerintahan yang efekif dan efesien.

Output dari institusi pemerintah yang demikian, selain menstimulus stabilitas politik, proses pembentukan dan penerapan regulasi atau kebijakan lebih transparan, partisipatif dan untuk kepentingan publik.

Dengan menerapkan sistem meritokrasi di lembaga penegak hukum, maka salah satu implikasinya adalah seleksi calon pimpinan KPK, misalnya, bebas dari intervensi dan kepentingan politik. Dengan begitu, independensi KPK dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa terjaga.

Meritokrasi adalah antitesa dari nepotisme. Sebuah studi membuktikan, bahwa rekrutmen berdasarkan kemampuan (merit), secara signifikan, meningkatkan tata kelola pemerintahan menjadi lebih baik dan minim korupsi (Morten Egeberg et al, 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun