Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tantangan Pembangunan Manusia dan Penguasaan IPTEK

28 Januari 2022   06:30 Diperbarui: 28 Januari 2022   10:08 2040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: tanpa pendidikan yang progresif, ekosistem riset dan inovasi serta budaya toleransi, pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK akan terhambat. Sumber: gettyimages/Ariel Skelley

Bangsa Indonesia punya visi yang besar pada perayaan 100 tahun kemerdekaan. Visinya adalah Indonesia 2045: Indonesia yang maju, berdaulat, adil, dan makmur. Visi Indonesia 2045 patut didukung dan diusahakan, meskipun tidak mudah mewujudkannya.

Bisa dikatakan jalan untuk menggapai cita- cita Indonesia 2045 terjal dan penuh onak. Diperlukan daya, dana, dan dukungan yang luar biasa agar visi Indonesia 2045 tidak menjadi ilusi semata.

Di sisi lain, dunia sedang mengalami disrupsi. Sains dan teknologi telah mendisrupsi kehidupan umat manusia. 

Perubahan adalah keniscayaan. Kehidupan manusia modern di masa sekarang dengan masa depan akan berbeda. Salah satu teknologi yang mentransformasi tatanan dunia adalah kecerdasan buatan.

Selain memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, kecerdasan buatan juga bisa menimbulkan persoalan yang pelik. 

Singularitas teknologi, dimana kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia, bisa menjadi “ancaman” bagi masa depan umat manusia. 

Vernor Vinge pernah menulis, singularitas teknologi adalah masa dimana berakhirnya peradaban manusia.

Kapan singularitas teknologi akan terjadi? Menurut Ray Kurzweil, singularitas teknologi akan terjadi pada tahun 2045. 

Ray Kurzweil, bukan hanya dikenal sebagai ilmuwan dan penemu, ia juga punya reputasi selama 30 tahun sebagai futurist dengan tingkat akurasi prediksi lebih dari 80%.

Dengan imajinasi dan pengetahuannya, banyak prediksi Ray Kurzweil menjadi kenyataan. Pada tahun 1997, ketika pecatur dunia, Garry Kasparov, dikalahkan oleh Deep Blue, sebuah komputer yang dilengkapi kecerdasan buatan, telah diprediksi oleh Ray Kurzweil. Meningkatnya penggunaan internet setiap tahun juga telah diperkirakan oleh ilmuwan komputer tersebut.

Kita tidak berharap peristiwa yang berpotensi mengancam eksistensi manusia menjadi kenyataan. Meskipun singularitas teknologi dan waktu terjadinya masih menjadi perdebatan, satu hal yang pasti: implementasi kecerdasan buatan dalam kehidupan manusia adalah keniscayaan.

Akan tiba masanya teknologi kecerdasan buatan menjadi kebutuhan yang melekat pada diri manusia. Tampaknya, singularitas teknologi, ketika kecerdasan buatan “unggul” atas manusia, adalah tanda dimulainya era kecerdasan buatan. Puncaknya diperkirakan akan terjadi pada tahun 2136; segala sesuatunya menjadi otonom dan otomatis (Katja Grace et all, 2017).

Saat ini hal yang sangat penting dan mendesak adalah manusia harus mendisrupsi dirinya sendiri. Bagaimanapun, manusia harus menentukan masa depannya sendiri, bukan teknologi. Manusia harus tetap menjadi subjek peradaban. Manusia dipaksa untuk berani mendisrupsi diri sendiri agar tetap relevan dan tidak kehilangan esensi sebagai manusia.

Kai-Fu Lee, pakar kecerdasan buatan asal Tiongkok, mengatakan selama manusia masih kreatif dan punya empati, masa depan umat manusia tetap cerah, meskipun manusia hidup di era kecerdasan buatan.

Lalu, apakah bangsa Indonesia siap memasuki era kecerdasan buatan? Apakah perayaan 100 tahun kemerdekaan yang bersamaan dengan singularitas teknologi -- bila Ray Kurzweil benar -- akan menjadi perayaan sebagai negara maju dan makmur?

Prasyarat menjadi negara maju

Salah satu pilar utama visi Indonesia 2045 adalah membangun sumber daya manusia dan menguasai sains dan teknologi. 

Dalam Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur, dijelaskan manifestasi pilar tersebut adalah manusia yang unggul, berbudaya serta menguasai sains dan teknologi.

Manusia adalah aset bangsa. Kualitas suatu bangsa tercermin dari kualitas manusianya. Untuk menguasai sains dan teknologi harus dimulai dari membangun manusia. Manusia harus memegang kendali peradaban.

Di era kecerdasan buatan, meminjam teori Kai-Fu Lee, manusia Indonesia yang unggul dan berbudaya adalah manusia yang kreatif dan punya empati. Ada tiga alasannya:

Pertama, kreativitas dan empati adalah keunggulan manusia yang belum mampu direplika oleh kecerdasan buatan.

Kedua, kreativitas dibutuhkan supaya manusia mampu memaksimalkan sains dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas. 

Kreativitas manusia harus berkelindan dengan empati agar “buah” kreativitas manusia untuk kebaikan bersama dan tidak melewati batas kemanusiaan. 

Ketiga, kreativitas bisa menentukan kemajuan dan kemakmuran suatu negara.

Di masa sekarang menguasai sains dan teknologi juga penting. Peradaban dunia dibentuk oleh sains dan teknologi. 

Robert M. Solow, ekonom peraih nobel, pernah mengatakan teknologi tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bisa dikatakan sumber daya manusia yang kreatif dan empati serta menguasai sains dan teknologi adalah prasyarat menjadi negara maju dan makmur. Dan, sumber daya manusia yang demikian merupakan modal bagi bangsa Indonesia dalam memasuki era kecerdasan buatan.

Data The Global Creativity Index 2015 menunjukkan, negara maju dan makmur cenderung memiliki kreativitas yang tinggi. Kreativitas Indonesia sendiri termasuk dalam kategori rendah. Ini tercermin dalam laporan yang diterbitkan oleh Martin Prosperity Institute tersebut; Indonesia berada diperingkat 115 dari 139 negara.

Berdasarkan data dari laporan itu, ada tiga aspek utama yang mengindikasikan rendahnya kreativitas Indonesia: kualitas dan sistem pendidikan yang belum progresif (indikator talenta), ekosistem riset dan inovasi yang belum berkembang (indikator teknologi) dan menjamurnya intoleransi (indikator toleransi).

Bila kita ingin menjadi negara maju dan makmur, maka ketiga hal itu perlu dicermati dengan serius. Begitu juga untuk pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK di Indonesia. 

Ketiga aspek tersebut adalah tantangan yang harus dilewati agar proses membangun manusia Indonesia yang kreatif dan empati serta menguasai sains dan teknologi tidak terhambat.

Pendidikan

Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun manusia yang kreatif dan empati serta menguasai sains dan teknologi. 

Sayangnya, kualitas pendidikan kita masih buruk. Performa pelajar Indonesia dalam hal membaca, matematika, dan sains saja masih jauh dari kata baik. Skor dan peringkat PISA Indonesia tahun 2018 menurun dan masih dibawah rata- rata.

Bangsa Indonesia memiliki tingkat literasi yang rendah. Laporan Bank Dunia tahun 2018 juga menunjukkan sebanyak 55% orang Indonesia buta huruf fungsional. Artinya, bisa membaca, tapi kesulitan memahami apa yang dibaca.

Jika kemampuan membaca, matematika, dan sains saja buruk, adalah hal yang wajar bila kemampuan berimajinasi juga lemah. Padahal imajinasi adalah induk dari kreativitas. Tidak hanya itu. Imajinasi juga dapat menolong kita untuk berempati kepada orang lain.

Kualitas literasi sangat penting bagi kemajuan suatu negara. Hasil studi yang dilakukan OECD tahun 2012 yang lalu menunjukkan, negara dengan tingkat literasi yang tinggi cenderung memiliki produktivitas yang tinggi secara ekonomi. Bila produktivitas rendah, efek domino yang ditimbulkan adalah kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran.

Oleh sebab itu, memperbaiki literasi -- khususnya literasi sains dan teknologi -- perlu menjadi perhatian utama dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Apakah itu cukup? Tentu tidak. Di era disrupsi sistem lama dalam dunia pendidikan tidak lagi relevan.

Saat ini sistem pendidikan idealnya tidak memisahkan ilmu sains dan teknologi dengan ilmu humaniora. Ilmu sains dan teknologi harus manunggal dengan ilmu humaniora. 

Matematikawan ITB, Iwan Pranoto, pernah mengungkapkan sistem penjurusan seperti IPA atau IPS sebenarnya tidak lagi relevan dan tidak menjawab tantangan zaman.

Kabar baiknya, sistem penjurusan yang seperti itu akan ditiadakan. Meski agak telat, kurikulum prototipe layak didukung. Tentu saja, diperlukan waktu dan proses penyempurnaan serta penyesuaian dengan kondisi pendidikan di tanah air.

Saat ini kolaborasi lintas disiplin ilmu dan interdisipliner (antardisiplin ilmu) yang saling melengkapi sangat dibutuhkan. Ini yang dikatakan Edward Osborne Wilson, biolog, dan pelopor sosiobiologi, sekitar akhir abad 20 yang lalu. Diharapkan, perkembangan atau hasil sains dan teknologi ditujukan untuk kebaikan, tanpa kehilangan nilai kemanusiaan.

Toomas Hendrik Ilves, mantan Presiden Estonia, pernah mengatakan, kesenjangan atau jurang antara ilmu sains teknologi dengan humaniora dalam pendidikan menjadi celah maraknya penyalahgunaan sains dan teknologi. Artinya, proses dan output pendidikan tidak hanya sebatas membentuk manusia yang imajinatif dan kreatif.

Pendidikan harus holistik, membentuk manusia paripurna. Sehingga, pendidikan karakter yang berbasis kemanusiaan dan kecerdasan emosional, misalnya empati, tidak bisa dipisahkan. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, pendidikan pada dasarnya adalah tentang membentuk manusia yang seutuhnya.

Oleh karena itu, pelajar ilmu sains teknologi mesti dibekali dengan ilmu humaniora, misalnya sastra dan filsafat. Imajinasi bisa dikembangkan dan dilatih melalui buku sastra. 

Nilai-nilai humanis dapat dipelajari lewat karya sastra. Sedangkan filsafat, selain bisa membentuk kemampuan berpikir kritis, akan membekali mereka tentang etika dan moral.

Sebaliknya, pelajar ilmu humaniora mesti dilengkapi dengan materi atau pelajaran sains dan teknologi. Mereka mesti melek dengan perkembangan sains dan teknologi. Misalnya, mereka yang menggeluti seni rupa harus melek kecerdasan buatan. Teknologi tersebut dapat meningkatkan kreativitasnya dalam menghasilkan lukisan yang estetis dan futuristik.

Tantangan meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air tidak mudah. Hasil survei PISA 2018 juga menunjukkan, disparitas kualitas pendidikan dan rendahnya kualitas tenaga pendidik disinyalir menjadi penyebab utama rendahnya literasi pelajar Indonesia.

Untuk itu, usaha perbaikan kualitas dan sistem pendidikan harus adil dan merata. Bukan hanya di Jakarta atau Jawa, tetapi dari Sabang sampai Merauke. Sangat penting memperkecil kesenjangan atau ketimpangan dalam dunia pendidikan, apapun bentuknya. Pendidikan harus inklusif bukan eksklusif.

Pendidikan yang bermutu sangat bergantung pada tenaga pengajar yang berkualitas, tersedianya akses untuk semua orang, sarana dan prasarana yang memadai, dan kualitas kesehatan manusia.

Pemerintah, dengan kapasitas yang dimiliki, harus memanfaatkan 20% anggaran pendidikan dari APBN untuk memperbaiki sistem dan mutu pendidikan di tanah air. Sesuai amanat konstitusi, negara bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan kajian The SMERU Research Institute, bila kita tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan, kemungkinan tercapainya tingkat literasi pelajar Indonesia yang setara dengan rata- rata performa pelajar di negara OECD akan terjadi pada tahun 2090.

Tentu, kita tidak ingin hal itu terjadi, bukan? Karena itu, selain mendorong pemerintah, kita juga harus turut andil dalam memperbaikinya. Ya, pendidikan anak tidak hanya tanggung jawab institusi pendidikan ataupun tenaga pendidik, tetapi juga orang tua.

Orang tua punya andil yang tidak bisa dianggap sepele dalam pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK.

Mendidik anak sesuai zamannya

Anak kecil, termasuk cucu, adalah kunci masa depan bangsa. Mungkin, kita tidak menikmati perayaan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. 

Anak dan cucu kitalah yang akan merasakan dan menjalaninya. Mereka juga yang akan menjalani kehidupan di era kecerdasan buatan.

Anak akan menjalani kehidupan yang berbeda dengan orang tuanya. Mereka (akan) hidup dalam tatanan dunia yang baru. 

Socrates, Filsuf agung asal Yunani, punya nasihat yang bagus untuk orang tua: jangan paksakan anak mengikuti jejakmu, mereka diciptakan untuk kehidupan di zaman mereka, bukan zamanmu.

Orang tua punya peranan yang penting dalam mengakselerasi pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK. Orang tua dituntut mendidik anak sesuai dengan zamannya. Bila tidak, maka itu akan menjadi salah satu kegagalan terbesar orang tua; tidak mendidik anak sesuai zamannya.

Di masa sekarang mendidik anak dengan metode lama tidak lagi relevan. Orang tua perlu mendisrupsi dirinya sendiri, beradaptasi dengan perkembangan zaman. 

Mendidik anak harus sesuai dengan kebutuhannya, bukan keinginan orang tua. Tujuannya, supaya anak kita relevan dengan zaman dan tidak kehilangan esensi sebagai manusia.

Memasuki era kecerdasan buatan, Indonesia dan dunia membutuhkan manusia yang punya kreativitas dan empati. Selain institusi pendidikan, orang tua berperan mendidik anak menjadi kreatif dan punya empati sejak dini. Anak kecil, pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar, suka meniru dan berimajinasi.

Orang tua harus menolong anaknya agar senantiasa melatih dan meningkatkan imajinasi. Mendongeng, bermain bersama anak, membacakan buku adalah beberapa contoh yang bisa orang tua lakukan untuk menumbuhkembangkan imajinasi anak.

Anak yang mampu mengembangkan dan melatih imajinasinya sejak kecil tidak akan kesulitan menjadi pribadi yang kreatif dan berempati. 

Imajinasi adalah proses awal tumbuhnya kreativitas. Selain itu, imajinasi memudahkan anak berempati terhadap orang lain dengan membayangkan pikiran dan perasaan orang lain.

Memiliki empati penting dan bermanfaat bagi anak. Empati dapat meningkatkan kreativitas anak (Helen Demetriou dan Bill Nicholl, 2021). 

Selain itu, anak kecil adalah peniru yang ulung. Karena itu, mendidik anak agar menjadi pribadi yang kreatif dan berempati perlu teladan dari orang tua. Orang tua dituntut untuk mendisrupsi dirinya sendiri dengan senantiasa mengupgrade diri.

Nilai kemanusiaan dan kecerdasan emosional akan lebih efektif bila orang tua tidak hanya mengajarkannya kepada anak tetapi juga memberi contoh yang baik. Seperti yang dikatakan Albert Bandura, sebagian besar perilaku manusia dipelajari dengan mengamati dan meniru perilaku orang lain (orang tua).

Selain itu, peranan dan kehadiran orang tua penting bagi kesehatan mental anak. Menurut Konselor keluarga, Julianto Simanjuntak, anak kecil yang kurang perhatian dan kasih sayang orang tua cenderung lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental. Anak yang punya masa kecil seperti itu lebih mudah mengalami stres dan depresi ketika ia tumbuh menjadi dewasa.

Gangguan kesehatan mental, misalnya stres, bisa menghambat kemampuan berempati. Karena itu, orang tua mesti memberikan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih sayang dan perhatian kepada anak agar kemampuan berempati anak bisa tumbuh dan berkembang.

Agar setiap orang tua memiliki waktu yang cukup bersama anaknya, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan. Misalnya, dengan memberlakukan paternity leave kepada ayah, maternity leave yang adil dan layak bagi ibu yang bekerja, serta meningkatkan pendapatan atau upah bagi orang tua yang bekerja.

Kembali tentang anak. Keingintahuan anak kecil juga merupakan sesuatu yang unik dan berharga. Orang tua mesti menolong anaknya untuk mengembangkan keingintahuannya, khususnya pada sains dan teknologi. Untuk menarik minat anak pada IPTEK dan menjawab rasa ingin tahunya, orang tua juga harus melek sains dan teknologi.

Pentingnya ekosistem riset dan inovasi

Agaknya bangsa Indonesia perlu meningkatkan minat dan seleranya akan sains dan teknologi. Manusia yang memiliki literasi sains dan teknologi adalah langkah awal menguasai sains dan teknologi. Sains dan teknologi adalah simbol dan tulang punggung peradaban dunia modern.

Pada dasarnya, negara maju dan makmur punya kesadaran, komitmen dan konsisten dalam mengembangkan dan menguasai sains dan teknologi. 

Kita menyadari salah satu rahasia menjadi negara maju adalah menguasai sains dan teknologi. Sayangnya, kita masih sebatas sadar, belum komitmen dan konsisten.

Salah satu bukti kita belum komitmen dan konsisten dalam menguasai sains dan teknologi adalah belum berkembangnya ekosistem riset dan inovasi. Tanpa ekosistem riset dan inovasi mustahil bangsa Indonesia menguasai sains dan teknologi. Lagipula, hasil riset dan inovasi dalam bidang sains dan teknologi dapat memberikan nilai tambah ekonomi.

Sofian Effendy dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) mengatakan, selain lembaga perencanaan dan pembiayaan riset yang belum ada, masalah besar ekosistem riset dan inovasi di Indonesia ialah sumber daya manusia dan dana yang minim.

Data Researchers in R&D (per million people) yang dirilis Bank Dunia tahun 2018 yang lalu menunjukkan, Indonesia hanya memiliki 216 peneliti per juta penduduk. Sangat jauh dibanding Singapura, yakni 2.185 peneliti per juta penduduk. Apakah mungkin penelitian dalam sains dan teknologi di Indonesia akan berkembang kalau jumlah penelitinya saja sedikit?

Untuk menumbuhkan gairah dan minat pada riset dan inovasi, pendidikan adalah kuncinya. Pendidikan yang berbasis riset dan inovasi sudah menjadi kebutuhan. 

Pendidikan yang demikian dapat menstimulus anak Indonesia untuk tertarik menjadi peneliti, penemu ataupun inovator. Riset dan inovasi harus menjadi budaya bangsa Indonesia.

Selain itu, alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan sangat penting dan harus menjadi perhatian pemerintah. 

Dari laporan yang dirilis UNESCO dalam UNESCO Science Report 2021, investasi Indonesia di bidang penelitian dan pengembangan tahun 2018 hanya 0.23% dari produk domestik bruto. Jumlah yang sangat kecil bagi negara yang berambisi menguasai sains dan teknologi.

Ekosistem riset dan inovasi yang kurang berkembang bisa menghambat “produksi” dan kualitas paten. Paten merupakan salah satu buah dari riset dan inovasi. Lagipula, ukuran standar inovasi adalah paten (Martin Prosperity Institute, 2015).

Data World Intellectual Property Indicator 2021 yang dirilis WIPO menunjukkan, negara maju relatif memiliki jumlah paten yang banyak per juta penduduknya. Artinya, ekosistem riset dan inovasi di negara maju berkembang dengan baik.

Untuk tahun 2020, Indonesia mampu menghasilkan 1.309 aplikasi paten. Itu berarti, rasio jumlah paten per juta penduduk Indonesia sekitar 4,8. Angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan Singapura, dimana rasio jumlah paten per juta populasinya sebesar 133 (World Intellectual Property Organization, 2021).

Ekosistem riset dan inovasi dibutuhkan oleh ilmuwan dalam berkarya. Peleburan beberapa lembaga riset ke BRIN adalah kemunduran. Birokratisasi bisa menjadi kerikil tajam bagi perkembangan sains dan teknologi. Bangsa Indonesia kurang menghargai karya dan eksistensi ilmuwan atau peneliti. Bila ini terus berlanjut peluang terjadinya brain drain semakin besar.

Ekosistem riset dan inovasi juga harus dibangun tanpa intervensi ataupun praktek politisasi. Sangat penting menjaga dan merawat independensi ilmuwan dalam mengembangkan sains dan teknologi. Diharapkan, hasil kreativitas dan inovasi para ilmuwan, penemu dan inovator untuk kepentingan dan kemajuan bangsa, bukan kepentingan penguasa ataupun politik sesaat.

Meningkatnya intoleransi

Pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK membutuhkan tempat dan iklim yang menghormati keberagaman manusia itu sendiri. Lingkungan yang terbuka tehadap keberagaman yang melekat pada setiap orang akan menjadi tempat yang subur lahirnya penemuan, inovasi, ataupun ide baru (Martin Prosperity Institute, 2015).

Lingkungan yang ramah terhadap keberagaman akan menjadi magnet bagi orang- orang kreatif untuk berinovasi. Bukan itu saja. Keterbukaan terhadap keberagaman bisa memacu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, homogenitas berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi (Quamrul Ashraf dan Oded Galor, 2011).

Tampaknya, sebagai bangsa yang pluralis Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi keberagamannya. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya praktek intoleransi. Survei yang dilakukan oleh Wahid Institute baru-baru ini menunjukkan perilaku intoleransi di Indonesia meningkat menjadi 54% dari 46%.

Data The Legatum Prosperity Index 2021 juga menunjukkan, Indonesia dalam hal personal freedom atau kekebasan sipil, berada pada peringkat 102 dari 167 negara. Hasil itu sejalan dengan meningkatnya perilaku intoleransi di tanah air.

Meningkatnya perilaku intoleransi di tanah air juga menjadi salah satu penyebab menurunnya indeks demokrasi Indonesia. Tahun 2020 yang lalu The Economist Intellegence Unit (EIU) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat. Ironisnya, nilai indeks demokrasi Indonesia tahun itu tercatat sebagai nilai yang terendah dalam dua dekade terakhir.

Tantangan untuk menjadi negara maju dan makmur pada tahun 2045 akan semakin berat bila kualitas demokrasi terus menurun. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Demokrasi, dengan kelebihan dan kekurangannya, memiliki korelasi yang positif dengan pertumbuhan ekonomi (Daren Acemoglu et all, 2019).

Bila kebebasan adalah hakikat dan prinsip dasar demokrasi, maka fondasi demokrasi adalah toleransi. Toleransi, kebebasan, dan demokrasi adalah tiga hal yang tak terpisahkan. Intoleransi meningkat, kebebasan sipil terancam. Ketiadaan kebebasan sipil, maka dengan sendirinya demokrasi juga akan memudar.

Setiap manusia patut diberi kebebasan dalam mengembangkan kreativitas dan inovasi, tanpa dibatasi oleh agama, suku atau perbedaan lainnya. Kebebasan juga sangat penting bagi ekosistem riset dan inovasi di tanah air. Penelitian seorang ilmuwan akan terhambat bila ia mengalami diskriminasi, misalnya seperti yang dialami oleh Abdus Salam, peraih nobel fisika asal Pakistan.

Selain kehilangan ilmuwan hebat, negara juga tidak akan mendapat manfaat dari penelitiannya. Pesawat angkasa Apollo 11 tidak akan mungkin mendarat di bulan pada tahun 1969, jika Katherine Johnson tidak dibebaskan dari segregasi. Tanpa kreativitas matematikawan itu Amerika Serikat tidak akan tercatat sebagai negara pertama yang mampu mendaratkan manusia di bulan.

Tanpa mengormati kebebasan sipil, pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK tidak bermakna sama sekali. Pun, cita- cita menjadi negara maju dan makmur juga akan terhambat. Ya, menurut ekonom India, Amartya Sen, kebebasan dapat menstimulus kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.

Setiap individu sudah sepatutnya bersikap toleran terhadap orang lain, menghormati keberagaman dan kebebasan sipil. Agar kita mampu bersikap toleran, salah satu cara yang bisa kita lakukan ialah mengaktifkan empati. Empati menolong kita untuk menerima orang lain.

Dengan berempati, kita ikut merasakan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain, tanpa mempermasalahkan perbedaan yang ada. Artinya, empati memudahkan kita bersikap toleran. Itu sebabnya, nilai dan sikap empati maupun toleransi mesti ditanamkan lewat pendidikan dan keteladanan.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah negara juga harus komitmen menjamin kebebasan setiap orang agar tidak dirampas oleh pihak manapun.

Merawat harapan

Pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK adalah salah satu pilar dari visi Indonesia 2045. Pilar ini sangat penting dan harus menjadi prioritas utama bila ingin menjadi negara maju dan makmur. Bonus demografi harus menjadi momentum terwujudnya manusia Indonesia yang unggul dan berbudaya serta menguasai sains dan teknologi.

Menguasai sains dan teknologi adalah kebutuhan. Ekonomi dunia sedang bergerak ke arah yang berbeda. Cepat atau lambat, kemajuan dan kemakmuran negara tidak lagi bergantung pada sumber daya alam. Ekonomi yang berbasis pengetahuan dan teknologi akan menjadi tumpuan.

Dunia sedang mengalami disrupsi. Sains dan teknologi mengubah tatanan dunia. Sehingga, pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK di Indonesia harus beradaptasi dengan kondisi dan kebutuhan zaman.

Saat ini dunia sedang bergerak menuju era baru; era kecerdasan buatan. Di era kecerdasan buatan, manusia yang unggul dan berbudaya artinya memiliki kreativitas dan empati. Manusia Indonesia yang kreatif dan berempati serta menguasai sains dan teknologi akan mampu menghadapi tantangan di era kecerdasan buatan.

Membangun manusia Indonesia yang kreatif dan empati serta menguasai sains dan teknologi perlu dilakukan dengan segala usaha, dukungan dan mungkin keajaiban. Butuh waktu dan proses yang tidak instan, karena tantangan yang dihadapi tidak mudah.

Pendidikan yang belum progresif, mandeknya ekosistem riset dan inovasi, serta perilaku intoleransi adalah tantangan yang harus dilalui dan dituntaskan dalam membangun manusia Indonesia yang kreatif dan empati serta menguasai IPTEK. Bila ketiga tantangan itu tidak diselesaikan, bangsa Indonesia tidak akan siap memasuki era kecerdasan buatan.

Selama perbaikan dan peningkatan ketiga aspek tersebut masih menjadi fokus utama dalam pembangunan nasional, harapan menjadi negara maju dan makmur masih ada. Untuk menggapai visi Indonesia 2045, manusia harus menjadi pusat dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang tidak mengutamakan pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK akan menghasilkan involusi.

Akhirnya, masa depan Indonesia harus dibentuk. Jika masa depan Indonesia hanya sebatas angan- angan, perkiraan atau ramalan, sulit membayangkan Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya sebagai negara maju dan makmur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun