Penglihatan Bukan Sekadar Angka di Kertas
Pernah nggak, kamu bikin kacamata baru tapi pas dipakai malah pusing, atau rasanya "nggak enak di mata"?
Padahal hasil pemeriksaan katanya sudah benar. Nah, di situlah rahasianya --- kadang bukan alat yang salah, tapi karena mata kita belum diajak bicara.
Di dunia optometri, ada dua jenis pemeriksaan untuk menentukan ukuran kacamata: refraksi objektif dan refraksi subyektif.
Kalau pemeriksaan objektif itu kayak "data dari mesin", maka refraksi subyektif adalah seni mendengarkan mata kita sendiri.
Apa Itu Refraksi Subyektif?
Secara sederhana, refraksi subyektif adalah proses mencari lensa terbaik berdasarkan rasa penglihatan pasien.
Pemeriksa bakal nyuruh kita lihat huruf di layar sambil ganti-ganti lensa:
> "Lebih jelas yang ini... atau yang ini?"
Dan di situlah permainan halusnya dimulai. Lensa yang "terasa pas" buat satu orang, belum tentu sama buat orang lain --- meski nilainya mirip.
Itulah sebabnya hasil subjektif sering lebih akurat untuk kenyamanan sehari-hari daripada angka yang keluar dari mesin.
Proses Refraksi Subyektif: Ketika Mata dan Pikiran Bekerja Sama
Tahapan pemeriksaannya nggak sesederhana "pilih lensa paling jelas". Ada urutan dan logika di baliknya:
1. Mulai dari hasil objektif
Pemeriksa pakai hasil dari retinoskopi atau autorefraktor sebagai titik awal.
2. Fogging
Lensa plus diberikan dulu supaya mata nggak terlalu tegang (akomodasi berlebihan). Baru pelan-pelan dikurangi sampai penglihatan paling tajam tercapai.
3. Duchrome Test
Huruf di latar merah dan hijau --- kalau kamu lihat merah lebih jelas, berarti koreksi masih kurang minus. Kalau hijau lebih tajam, bisa jadi kebanyakan minus.
4. Penyempurnaan Cylinder dan Axis
Untuk koreksi astigmatisme, pemeriksa akan memutar arah silinder dan menyesuaikan sampai bayangan tampak sempurna di semua arah.
5. Binocular Balancing
Setelah satu mata selesai, keduanya disamakan supaya bekerja seimbang. Ini penting banget supaya nggak cepat capek waktu membaca lama atau kerja depan layar.
Mengapa Disebut "Subyektif"?
Karena semua bergantung pada respon kita sendiri.
Dua pasien bisa punya hasil berbeda walaupun datanya sama.
Mata manusia itu unik --- ada yang sensitif terhadap cahaya, ada yang cepat lelah, ada juga yang lebih suka penglihatan sedikit lembut daripada super tajam tapi menyilaukan.
Jadi, refraksi subyektif bukan sekadar tes, tapi dialog antara optometris dan penglihatan kita sendiri.
Tujuan dan Manfaatnya
Mendapatkan ketajaman visual maksimal sesuai kenyamanan individu
Mengoreksi kesalahan kecil dari hasil mesin
Menyeimbangkan kerja kedua mata
Mengurangi gejala seperti pusing, pegal mata, atau penglihatan ganda ringan
Buat orang yang tiap hari kerja depan komputer, pemeriksaan ini penting banget. Lensa yang "terlalu kuat" atau "sedikit meleset" bisa bikin mata tegang sepanjang hari.
Kisah Singkat di Balik Meja Pemeriksaan
Ada satu kisah menarik dari seorang pasien (sebut saja namanya Dika).
Dia datang dengan keluhan matanya cepat lelah. Hasil dari mesin menunjukkan --1,75 di kedua mata. Tapi saat diuji subyektif, ternyata Dika lebih nyaman di --1,50.
Saat ditanya kenapa, dia bilang:
> "Yang --1,75 sih lebih tajam, tapi rasanya kayak nyetrum dikit di mata."
Nah, itulah inti refraksi subyektif --- bukan cuma tentang melihat jelas, tapi juga merasakan nyaman.
Alat yang Digunakan
Alat utama yang dipakai adalah phoropter --- bentuknya mirip topeng robot yang penuh dengan roda lensa.
Dengan alat inilah, lensa-lensa diganti cepat saat pemeriksa bertanya "lebih jelas yang ini atau yang itu?"
Kesimpulan: Antara Sains dan Perasaan
Refraksi subyektif adalah gabungan antara sains, pengalaman, dan empati.
Mesin bisa menghitung, tapi hanya mata kita yang tahu mana yang benar-benar nyaman.
Itulah kenapa pemeriksaan ini jadi tahap final dalam menentukan resep kacamata yang benar-benar "pas di mata dan hati".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI