3. Persiapkan diri dan tetap sabar menghadapi segala masalah.
Seorang sarjana Stoa akan memfokuskan energi pada upaya yang dapat ia kendalikan. Contohnya, ia tidak akan tertekan oleh nilai rendah yang sudah tertera di transkrip, melainkan mengalihkan fokusnya pada peningkatan pemahaman materi untuk ujian berikutnya. Ia tidak akan khawatir berlebihan tentang penilaian dosen yang mungkin tidak objektif, tetapi akan memastikan bahwa ia telah melakukan yang terbaik dalam proses belajar dan penulisan tugasnya. Tindakan ini tidak berarti pasrah, melainkan berfokus pada tindakan rasional yang berada dalam lingkup pengaruhnya.
Menerima hal-hal di luar kendali dengan lapang dada adalah kunci ketenangan. Seorang sarjana yang menerapkan Stoisisme tidak akan membiarkan ketidakadilan, kegagalan proyek, atau komentar negatif dari orang lain merusak kedamaian batinnya. Ia akan melihat peristiwa tersebut sebagai fakta yang tidak dapat diubah dan memilih untuk meresponsnya dengan bijaksana, bukan dengan emosi yang merusak. Dengan demikian, ia memutus rantai penderitaan yang sering kali muncul akibat keterikatan emosional pada hal-hal yang tidak dapat ia kontrol.
Seorang sarjana yang bijaksana akan berpikir kritis, membuat penilaian yang rasional, dan membuat keputusan yang tepat. Ia tidak akan terburu-buru dalam mengerjakan tugas atau membuat kesimpulan berdasarkan asumsi. Kebijaksanaan juga membantunya membedakan antara informasi yang valid dan yang tidak, sebuah keterampilan vital dalam riset dan dunia akademis.
Di dunia akademik, keberanian diperlukan untuk menghadapi tantangan, seperti mempresentasikan hasil penelitian di hadapan audiens yang kritis, membela argumen dalam diskusi, atau memulai topik penelitian yang belum banyak dipelajari. Keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan kemampuan untuk bertindak benar meskipun merasa takut.
Keadilan dalam konteks akademis bisa berarti bersikap jujur dalam penulisan tugas (menghindari plagiarisme), memberikan kredit yang layak kepada rekan sejawat, dan berkolaborasi secara adil. Seorang sarjana yang adil juga mampu melihat setiap orang---termasuk pesaingnya---dengan rasa hormat yang pantas.
Kesederhanaan atau pengendalian diri membantu seorang sarjana mengatur emosi, keinginan, dan tindakannya. Ia tidak akan mudah tergoda untuk menunda-nunda pekerjaan, terlalu terbuai oleh kesenangan sementara, atau membiarkan emosi seperti kemarahan atau kecemburuan menguasai dirinya. Dengan kendali diri, ia dapat memprioritaskan tugas-tugas penting dan menjaga keseimbangan hidup.
Seorang sarjana Stoa tidak akan melihat kegagalan sebagai akhir dari segalanya, melainkan sebagai bahan bakar untuk perbaikan diri. Jika sebuah proposal penelitian ditolak, ia akan menganggapnya sebagai umpan balik untuk mempertajam gagasannya. Jika ia mendapat nilai buruk, ia akan melihatnya sebagai indikasi area mana yang perlu diperkuat. Dengan mengubah persepsi, ia mengubah kekalahan menjadi kesempatan, dan frustrasi menjadi motivasi.
Tekanan tenggat waktu, beratnya beban studi, dan kesulitan finansial adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan sarjana. Alih-alih mengeluh, seorang Stoa akan melihatnya sebagai latihan untuk mengasah kebajikan dan ketahanan mentalnya. Ia akan menyambut tantangan dengan ketabahan, seolah-olah ia sedang berlatih untuk menghadapi kesulitan yang lebih besar di masa depan.
Menggunakan jurnal untuk merefleksikan peristiwa harian membantu seorang sarjana memeriksa pikiran, emosi, dan tindakannya. Dengan menulis, ia dapat mengidentifikasi penilaian irasional yang menyebabkan penderitaan dan melatih dirinya untuk merespons dengan lebih bijaksana.
Hal ini tidak dilakukan untuk menjadi pesimis, melainkan untuk mengurangi dampak emosional jika hal itu benar-benar terjadi, sekaligus membuat ia lebih menghargai keadaan saat ini.