Mohon tunggu...
Rian Efendi
Rian Efendi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Teknik Perawatan dan Perbaikan Mesin Politeknik Negeri Subang

Seorang insan, yang mencoba belajar menulis melalui website kompas ini.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KUHP Warisan Kolonial Vs RUU KUHP Rasa Pribumi

23 September 2019   22:20 Diperbarui: 24 September 2019   06:15 6398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjadi gelandangan bukanlah sebuah pilihan hidup, melainkan karena keterpaksaan, dimana tidak adanya kesempatan untuk menyejahterakan dirinya sendiri atau pun keluarganya.

Dalam hal ini gelandangan dapat dimasukkan ke dalam golongan fakir miskin. Lalu pasal tersebut kontras dengan pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara." 

Selain pasal-pasal yang dikemukakan di atas, masih terdapat pasal-pasal lain yang bersifat ambigu. Pada pasal karet tersebut terdapat ketidakjelasan mengenai cakupan ruang lingkup peraturan tersebut serta batasan mengenai tindakan yang dimaksudkan dalam setiap pasal-pasal karet tersebut.

KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial yang berasal dari berbagai pemikiran filsuf-filsuf di era Romawi, sampai pada revolusi Perancis hingga ke Belanda sana, melewati proses berpikir yang rumit atau dialektika yang panjang.

Apabila RUU KUHP disahkan begitu saja dengan pasal karet yang begitu banyaknya, dapat dikatakan peradaban tatacara hukum bangsa ini mundur beberapa abad ke belakang, hanya karena RUU KUHP rasa pribumi yang berusaha mencampuradukkan hukum pidana dengan syariah islam.

Kemandirian produk hukum tentunya diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia mendambakan kitab hukum pidana yang murni produk anak negeri, untuk mendapatkan kesan bahwa hukum pribumi ditujukan demi untuk kemaslahatan pribumi.

Akan tetapi jika hukum yang dibuat oleh pribumi justru tidak lebih baik dari produk hukum yang diwarisi dari penjajah, lebih baik tidak perlu diadakannya revisi terhadap undang-undang pidana yang sudah diterapkan lebih dari 100 tahun ini.

Solusi yang terbaik, jangan terburu-buru dalam merancang dan mengesahkan RUU KUHP, perlu dilakukannya pengkajian lebih untuk memperbaiki pasal-pasal karet yang ambigu dan tidak bersifat keberpihakan yang jelas kepada rakyat. 

Terima kasih kepada wakil rakyat di Senayan sana yang sudah lelah memikirkan dan merancang RUU KUHP rasa pribumi ini, akan tetapi tidak semua perubahan dapat menghasilkan kemajuan. Selama hukum pidana yang ada dirasa masih lebih baik dari RUU KUHP, apa salahnya berpegang teguh pada hukum lama? 

Wassalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun