Mohon tunggu...
Rian Efendi
Rian Efendi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Teknik Perawatan dan Perbaikan Mesin Politeknik Negeri Subang

Seorang insan, yang mencoba belajar menulis melalui website kompas ini.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KUHP Warisan Kolonial Vs RUU KUHP Rasa Pribumi

23 September 2019   22:20 Diperbarui: 24 September 2019   06:15 6398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada anggapan di masyarakat mengenai hukum yang tidak berpihak pada rakyat. Rakyat mempunyai persepsi mengenai hukum di Indonesia yang cenderung berat sebelah.

Hukum di Indonesia ibarat sebilah pisau dengan satu sisi yang tajam, sedangkan sisi yang lainnya tidaklah tajam. Hukum tersebut mempunyai makna tajam untuk menindas rakyat, tetapi lembut kepada penguasa.

Hukum di Indonesia berwajah seperti penjajah, dimana rakyat hanya dianggap sebagai garapan ternak untuk diambil keuntungannya, sedangkan penguasa bertugas sebagai penggembala yang mengambil keuntungan dan menikmatinya.

Tidak heran hukum di Indonesia berwajah penjajah, karena salah satu instrumen hukum yang dijadikan acuan merupakan warisan kolonial Belanda. Sebut saja KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

KUHP merupakan sumber hukum pidana yang dipakai di Indonesia sebagai acuan atas dasar hukum mengenai pemidanaan. KUHP yang dipakai saat ini merupakan warisan dari Wetboek van Strafrecht yang disahkan pada tahun 1915 melalui staatsblad nomor 732, dan diterapkan pada tahun 1918 hingga sekarang.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Wetboek van Strafrecht  tetap diberlakukan sebagai KUHP yang menjadi dasar dari hukum pidana di Indonesia, disertai dengan beberapa penyelarasan berupa pencabutan pasal-pasal yang dinilai tidak relevan dengan kondisi yang ada di lingkungan masyarakat Indonesia.

Kesan yang melekat pada hukum Indonesia yang bersifat menjajah, mengilhami para wakil rakyat untuk mengganti KUHP yang notabene warisan kolonial dengan hukum yang dianggap sebagai produk pribumi itu sendiri, sehingga lahirlah RUU KUHP.

Akan tetapi, nyatanya KUHP yang merupakan warisan kolonial Belanda lebih baik daripada RUU KUHP hasil revisian para anak bangsa yang menamai dirinya wakil rakyat.

Hal tersebut dapat dibuktikan dari banyaknya pasal karet yang terdapat di dalam RUU KUHP yang diusulkan oleh DPR pada periode ini. Tidak ada yang mengetahui motif dikebutnya pengesahan RUU KUHP di akhir periode jabatan mereka.

Hal yang pertama disoroti adalah mengenai asal legalitas yang terdapat di RUU KUHP. Asas legalitas merupakan jaminan mengenai batas kegiatan yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat di dalam hukum.

Pada KUHP yang masih berlaku pada saat ini, Pasal 1 ayat 1 menyebutkan, "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya."

Sedangkan pada Pasal 1 ayat 1 RUU KUHP menyebutkan, "Tidak satu perbuatan pun dapat dikenai sanksi kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan."

Diikuti oleh pasal 2 ayat 1 RUU KUHP yang menyatakan, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan."

Dapat ditarik kesimpulan dari perbandingan pasal-pasal tersebut bahwa KUHP yang berlaku saat ini memuat batasan legalitas hukum yang jelas dibanding batasan legalitas hukum yang dimaksudkan dalam RUU KUHP.

KUHP Warisan penjajah ini menyiratkan selama tidak ada perundang-undangan yang mengaturnya, siapapun berhak melakukan tindakan apa saja. Selama tidak adanya hukum tertulis yang melarang, siapa pun sah untuk melakukan perbuatan tersebut.

Akan tetapi RUU KUHP menyebutkan walaupun tidak ada hukum pidana yang mengatur mengenai perbuatan tertentu, seseorang tersebut dapat diberi hukuman jika seseorang tersebut melanggar hukum masyarakat yang berlaku di wilayah  tertentu.

Padahal tidak semua hukum masyarakat yang berlaku di wilayah tersebut termasuk ke dalam hukum tertulis atau peraturan daerah.

Beragamnya adat istiadat juga menyebabkan hukum masyarakat yang berlaku di setiap daerah bervariatif, sehingga sulit untuk mengetahui indikator mengenai perbuatan yang boleh dilakukan dan yang dilarang di wilayah tertentu.

Selain itu, dapat disoroti pula pasal 598 yang ada pada RUU KUHP dengan bunyi, "Setiap Orang, yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana."

Dapat diambil contoh bagi orang Bali, kerbau adalah hewan yang suci. Kemudian apabila pada saat Idul Adha, seorang muslim berkurban kerbau apakah hal tersebut dapat dipidana?

Karena yang dimaksud dengan "Living Law" atau hukum masyarakat tentu berkaitan dengan norma dan kepercayaan yang dianut di wilayah tertentu. Tentunya hal tersebut dapat mengakibatkan gejolak permasalahan hukum antar wilayah, dikarenakan wilayah yang satu memperbolehkan sedangkan di wilayah yang lainnya melarangnya.

Kemudian dalam pasal 432 RUU KUHP menyatakan, "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I." Gelandangan merupakan segolongan orang yang hidup di bawah angka kemiskinan.

Menjadi gelandangan bukanlah sebuah pilihan hidup, melainkan karena keterpaksaan, dimana tidak adanya kesempatan untuk menyejahterakan dirinya sendiri atau pun keluarganya.

Dalam hal ini gelandangan dapat dimasukkan ke dalam golongan fakir miskin. Lalu pasal tersebut kontras dengan pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara." 

Selain pasal-pasal yang dikemukakan di atas, masih terdapat pasal-pasal lain yang bersifat ambigu. Pada pasal karet tersebut terdapat ketidakjelasan mengenai cakupan ruang lingkup peraturan tersebut serta batasan mengenai tindakan yang dimaksudkan dalam setiap pasal-pasal karet tersebut.

KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial yang berasal dari berbagai pemikiran filsuf-filsuf di era Romawi, sampai pada revolusi Perancis hingga ke Belanda sana, melewati proses berpikir yang rumit atau dialektika yang panjang.

Apabila RUU KUHP disahkan begitu saja dengan pasal karet yang begitu banyaknya, dapat dikatakan peradaban tatacara hukum bangsa ini mundur beberapa abad ke belakang, hanya karena RUU KUHP rasa pribumi yang berusaha mencampuradukkan hukum pidana dengan syariah islam.

Kemandirian produk hukum tentunya diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia mendambakan kitab hukum pidana yang murni produk anak negeri, untuk mendapatkan kesan bahwa hukum pribumi ditujukan demi untuk kemaslahatan pribumi.

Akan tetapi jika hukum yang dibuat oleh pribumi justru tidak lebih baik dari produk hukum yang diwarisi dari penjajah, lebih baik tidak perlu diadakannya revisi terhadap undang-undang pidana yang sudah diterapkan lebih dari 100 tahun ini.

Solusi yang terbaik, jangan terburu-buru dalam merancang dan mengesahkan RUU KUHP, perlu dilakukannya pengkajian lebih untuk memperbaiki pasal-pasal karet yang ambigu dan tidak bersifat keberpihakan yang jelas kepada rakyat. 

Terima kasih kepada wakil rakyat di Senayan sana yang sudah lelah memikirkan dan merancang RUU KUHP rasa pribumi ini, akan tetapi tidak semua perubahan dapat menghasilkan kemajuan. Selama hukum pidana yang ada dirasa masih lebih baik dari RUU KUHP, apa salahnya berpegang teguh pada hukum lama? 

Wassalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun