Menyusuri Payakumbuh dalam Ceria: Catatan Slow Living Seorang Istri yang Berharga
Ada saatnya hidup terasa begitu bingung---dengan kehilangan, dengan kenangan manis, dengan rasa ceria yang tak terulang lagi selain menelusuri jejak ceria itu kembali. Setelah kepergiannya, dunia menjadi lambat. Tapi justru dalam kelambatan itulah aku mulai kembali melihat.
Bukan untuk melupakan, tapi untuk merawat luka, pelan-pelan. Payakumbuh menjadi tempatku bersandar sejenak, di pangkuan ranah yang indah dan penuh cinta. Aku tidak datang sebagai pelancong, bukan juga sebagai wisatawan dengan agenda penuh.
Aku datang sebagai perempuan yang sedang mencoba mengembalikan makna hidup---dengan satu teguk kopi pahit, satu langkah di bukit Ngalau nan Indah, satu gigitan makanan penuh cerita pada satu tusuk sate Dangung-Dangung.
Menyambut Hari di Kota Batiah
Payakumbuh menyambutku dengan udara paginya yang sejuk lagi ramah. Kota kecil ini selalu slow tidak terburu-buru. Langitnya luas, sawahnya hijau memantul warna-warna langit yang tak bisa kulihat di kota besar. Di sinilah aku mulai belajar slow living---gaya hidup yang mendengar nafas sendiri, yang menikmati waktu berjalan dengan sabar.
Aku tinggal di Kampung Ibuh. Nagari kecil sederhana di kaki perbukitan, dikelilingi lanskap Bukit Barisan yang seakan turut rindu memelukku.
Setiap pagi, ibu pemilik rumah menawarkanku sarapan dengan senyum hangat dan lontong gulai khas Payakumbuh. Ada yang berbeda saat makan disuguhkan oleh hati yang tulus---bukan sekadar kenyang, tapi terasa diterima dan dicintai.
Wisata Alam: Pelipur Lara dari Ibu Pertiwi
Hari pertama, aku memulai perjalanan sunyiku dari Lembah Harau. Dinding-dinding karst yang menjulang seperti benteng raksasa di Cina memeluk sawah hijau di dasarnya. Manis menyejukkan mataku. Suara air terjun yang khas jatuh di kejauhan menjadi musik alam yang membelai luka di hati.