"Oke, sayang." Jawabku dan mematikan telepon.
Aku keluar rumah dengan memakai mukenah. Naik motor dan menuju Ilham. Kulihat Abang sudah duduk di pintu masjid berbincang dengan Katik Abrar. Ternyata kutbah hari itu diisi Katik Abrar.
Melihatku datang, suami langsung berdiri. Ia berjalan perlahan mendapatiku. Ia pegang bahuku dan naik ke atas motor. "Pegangan yang kuat ya, Pak Mus!" Gurauku.
"Ya." Jawab beliau pelan. Sambil berboncengan kami bercerita tentang Katik Abrar yang kembali ke Kota Padang Panjang setelah beberapa waktu lalu pindah ke kota lain.
Sampai di rumah beliau makan. Suami lebih memilih banyak makan buah daripada nasi. Inilah pergeseran selera abang dalam bulan Februari itu terlihat. Ia akan kesal bila makanannya kuberi toping cabai, bawang putih, maupun kuah gulai.
Malam harinya abang dapat kunjungan dari Defrial, Arab, dan Ustadz Zul. Aku langsung mempersilahkan mereka ke kamar Abang sesuai permintaan suami. Mereka pun bercengkrama.
"Apo yang taraso." Tanya mereka. Abangpun bercerita bahwa ia merasa kaki lemas tak bisa dibawa berjalan lama. Mudah letih. Memang itulah yang Abang keluhkan kepadaku setiap hari. Lemas.
"Rasanya sudah di kaki ini sakaratul maut itu, Ma Teguh." Begitu urai beliau. Tak sekalipun suami memanggil namaku. Ia selalu memanggilku dengan "Ma Teguh." Ya anak tertua kami bernama Teguh.
Hari berikut Selasa, 1 Maret 2025, suami tetap berpuasa meski kami telat sahur. Beliau tergolek lemas di atas kasur. Terbangun saat waktu shalat saja. Hari itu ia hanya bertayamum untuk dzuhur dan ashar. Jelang berbuka beliau memanggil.
"Ma Teguh! Sini. Temani. Nggak sanggup menghadapinya sendiri." Keluh Abang.
"Apa yang terasa, sayang?" Tanyaku mendekati beliau.