Menyulam Cinta, Menyembuhkan Luka
Alya duduk di beranda rumah kecilnya. Ia menatap langit senja yang berwarna jingga keemasan. Angin sore berhembus lembut, membawa harum tanah basah setelah hujan singkat tadi. Di tangannya, secangkir teh melati mengepulkan asap tipis. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan, seolah ingin melepaskan sisa-sisa luka yang masih mengendap dalam hatinya.
Sejak kecil, Alya terbiasa melihat kemarahan Ayahnya kepada Ibunya. Kata-kata kasar, pintu yang dibanting, isak tangis ibunya yang tertahan—semua itu menjadi bagian dari masa kecilnya. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa pernikahan adalah jerat, bukan kebahagiaan. Cinta, baginya, hanya mitos yang diceritakan dalam buku dongeng dan novel yang ia baca.
Namun, semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Ilham.
Ilham bukan pria yang berusaha menghapus masa lalu Alya dengan kata-kata manis. Ia tidak menjanjikan bahwa semua akan baik-baik saja begitu mereka menikah. Sebaliknya, Ilham berkata dengan jujur, "Aku tidak bisa mengubah masa lalumu, tapi aku ingin kita belajar bersama melupakan masa lalu itu. Aku ingin kita menjadikan pernikahan bukan sebagai pengulangan, tapi sebagai awal yang baru. Mari kita putus mata rantai masa lalu itu."
Alya ragu. Ia takut. Tapi ada sesuatu dalam diri Ilham yang membuatnya ingin percaya. Ia melihat kesabaran, kelembutan, dan tekad untuk membangun sesuatu yang lebih baik. Ilham pun bukan pemuda biasa. Ia rajin ke masjid. 5 waktu shalat ke masjid. Termasuk Isya dan Subuh. Ada setitik harapan di hati Alya.
Akhirnya Alya dan Ilhampun menikah.
Hari-hari setelah menikah bukan tanpa tantangan. Ada saat-saat ketika suara Ilham yang sedikit meninggi membuat Alya kaget dan gemetar, kenangan lama menyeruak tanpa diundang. Ada pula saat ia tanpa sadar menarik diri, takut terluka seperti ibunya. Namun, setiap kali itu terjadi, Ilham tidak marah. Ia menggenggam tangan Alya, menatapnya dengan penuh pengertian, dan berkata, "Aku di sini. Aku tidak akan menyakitimu. Kita bisa membicarakannya."
Perlahan, tembok yang Alya bangun selama bertahun-tahun mulai retak. Ia belajar bahwa tidak semua pernikahan harus berakhir seperti yang ia lihat dulu. Ia belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kata-kata manis, tapi juga kesabaran dan usaha. Ia belajar pula dari sikap ibunya yang sabar dan setia mendampingi Ayahnya. Bahkan mereka tetap langgeng hingga saat ini.
Di malam-malam yang tenang, ketika mereka duduk berdampingan di beranda, Ilham sering menggambar sesuatu di telapak tangan Alya dengan ujung jarinya. "Apa ini?" tanya Alya suatu malam.