Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sistem Pemilu 2024 dengan Proporsional Tertutup Mengarahkan Indonesia ke Masa Orde Baru, Rentan Otoriter dan Oligarki

8 Januari 2023   08:09 Diperbarui: 8 Januari 2023   08:34 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem Pemilu proporsional terbuka sudah dimulai sejak zaman reformasi, Pemilu 2009. Maka sejak itu Pemilu di Indonesia mulai 2014-2019 memakai sistem proporsional terbuka. Diperkirakan tahun ini berbeda, kemungkinan memakai sistem proporsional tertutup.

Sistem ini mengarahkan Indonesia ke masa Orde Baru yang rentan otoritas dan oligarki. Polemik inilah yang sedang berkembang di masyarakat. Banyak partai tetap memilih sistem proporsional terbuka.

Hanya partai PDI-P, selaku partai yang menginginkan dan  mendorong sistem proporsional tertutup itu. Mereka mengatakan saat ini muncul “sistem individual liberal” pada sistem proporsional terbuka sehingga sistem proporsional tertutuplah yang dianggap perlu.

 Sistem proporsional tertutup itu berpotensi diterapkan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 karena sesuatu hal.

Sistem ini menggunakan cara, bahwa pada saat pemungutan suara, pemilih mencoblos gambar partai saja, bukan nama calon anggota legislatif (Caleg) seperti pemilu sistem proporsional terbuka.

Hasyim Asy'ari, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan potensi menggunakan sistem itu cukup besar, mengingat karena hal adanya gugatan judicial review terhadap sistem proporsional terbuka pada Pileg 2024. Gugatan itu masih berjalan di Mahkamah Konsititusi (MK).

Besar potensi MK mengabulkan gugatan itu. Gugatan yang dilayangkan sejumlah politisi lintas partai. "JR (judicial review) yang disoal mengarah pada sistem proporsional tertutup dari pemohon.

Pada sistem itu partai politiklah yang memiliki kewenangan dalam mendelegasikan kandidat anggota legislatif yang hendak dicalonkan. Kampanye  di ruang terbuka dengan menampilkan wajah para bakal caleg (bacaleg) akan tetap menjadi prioritas asalkan diberi penekanan nama partai politiknya. 

Menurut saya, partai tetap relevan memasang gambar di jalan karena gambar akan tetap disertai nama dan lambang parpol dan ini modal massa untuk menentukan bakal calon yang akan dipilih pada saat pemilu meski enggak ada foto calon di kertas suara. Meski yang ada hanya partai politik peserta Pemilu.

Justru itu tantangan bagi partai politik pada saat kampanye. Mereka harus selektif menetapkan kandidatnya. Semakin kandidat yang dipilih sesuai harapan rakyat, maka kemungkinan parpol akan lebih besar peluang untuk meraup suara terbanyak.

Jika MK sudah mengabulkan permohonan sistem proporsional tertutup ini, maka parpol pun harus segera menetapkan siapa para bacaleg yang akan mengantongi restu partai yang akan diloloskan ke parlemen.

Meski partai gerakan cepat menetapkan yang akan  dijadikan bakal calon dan buru-buru bersosialisasi ke masyarakat dan segera pasang baliho berisi bakal calon dan nama partai berikut lambangnya.

Sejatinya parpol dan pemilih sudah siap dengan sistem pemilu apapun. Masyarakat kita sudah cerdas berdemokrasi. Saatnya memberikan kesempatan kepada kader-kader partai untuk lebih giat melakukan sosialisasi, kampanye apabila dilakukan dalam proporsional terbuka atau tertutup.

Toh, pengkaderan sudah berlangsung jauh-jauh hari. Tentu setiap parpol sudah memiliki kiat sosialisasi untuk menyikapi sistem apapun yang diputuskan MK. Partai cerdas harus siap dengan keputusan apa pun yang dikeluarkan oleh MK.

Ya, keputusan itu harus dikuti sesuai ketentuan dari MK apabila sudah diputuskan jika ingin ikut bertarung. Itu hukum dan peraturan yang berlaku. Bila gugatan dikabulkan, kontestasi elektoral mendatang dilakukan dengan proporsional tertutup harus diterima.

Artinya setiap parpol peserta kontetasi harus bisa mencerdaskan pemilih bahwa dalam pemilihan legislatif (pileg) hanya ada logo partai politik (parpol) di surat suara jika sistem tertutup. Sebaliknya sistem proporsional terbuka, selain logo parpol, juga tertera nama dan nomor urut calegnya.

Saya masih ingat dulu-dulu di kampung saya, toh pemilih banyak yang tak bisa baca. Mereka pun hanya didoktrin melihat gambar partai saja. Mereka tak butuh nama balon dan nomor urutnya. Untuk mereka justru memudahkan menurut hemat saya. Praktis tanpa harus detil menilik nama-nama.

Siapa yang rugi dan beruntung dengan kedua sistem ini relatif kalau bagi masyarakat pemilih. Untung-untungan. Jika hasil meloloskan pemimpin dan perwakilan yang pro rakyat, tentu 'kita pemilih' atau rakyat Indonesia akan sejahtera.

Ya seperti pendapat pengamat politik Rocky Gerung, ia menilai bahwa perubahan sistem pemilu 2024 jika tertutup, akan membawa Indonesia kembali pada suasana pemilihan umum di masa Orde Baru.

Seperti saat itu saya bilang, rakyat tidak diarahkan untuk memilih kandidat atau nama. Rakyat hanya diarahkan untuk memilih parpol saja. Praktis. Tapi apakah menguntungkan?

"Itulah salah satu sebabnya Golkar selalu menang di masa itu karena Golkar mengumpulkan semua tokoh kesukaan masyarakat di dalamnya," kata Rocky melalui kanal Youtube-nya.

Memang, kandidat pemimpin dan wakil rakyat ketika berstatus bakal calon, semua oke dan pro rakyat kok menurut saya. Tetapi, setelah masa jabatan berjalanlah yang mengubah haluan setir mereka.

Bukan kepentingan rakyat yang diprioritaskan tetapi lebih kepada kepentingan pribadi dan kelompok dan inipun tetap penilaian relatif.

Nah, jelang Pemilu 2024 ini, di tengah pengajuan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kepada MK, kita harapkan, sistem pemilihan legislatif dipilih yang terbaik.

Perubahan dari menggunakan Proporsional Terbuka menjadi Proporsional Tertutup tak masalah. Masyarakat pemilih sudah cerdas dari zamannya. Partai politik pun siap karena mereka juga bagian dari masyarakat pemilih.

Demikian juga ketika di tengah polemik ini, mucul opsi ketiga: meminta sistem pemilu distrik yang mengutamakan pencalonan satu saja, makin banyak opsi, makin menunjukkan bahwa kita cerdas dan menyambut hangat pesta demokrasi ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun